Tak Seindah Balerante

538 46 1
                                    

Begitulah kenyataan
Walau terasa pahit, katakanlah

Arjuna dan Gede sedang asyik bermain UNO bersama Mbak Era dan Aira saat Silva berlari menghampiri mereka.

“Ngapain kamu itu, Sil? Lari-lari kayak habis ngelihat setan aja,” tanya Gede sambil mengeluarkan 3 kartu stop.

“Ada anak Blue Saphire ilang di Merapi,” jawab Silva ngos-ngosan. Napasnya memburu.

Berita semacam ini memang begitu cepat sampai ke sesama anggota Mapala, bahkan yang ada di kota lain sekalipun. Kecepatannya bisa mengalahkan berita gosip terhangat para selebriti papan atas. Jika sudah terjadi insiden seperti ini, anggota Mapala lain akan dengan sigap mengirimkan beberapa anggota yang kompeten untuk membantu pencarian. Itulah kenapa kegiatan di alam bebas bukan kegiatan sembarangan. Karena pada dasarnya orang-orang yang melakukan kegiatan seperti ini telah dibekali dengan ilmu-ilmu yang mendukung kegiatan.

Mbak Era dan Gede sempat saling pandang ketika melihat perubahan ekspresi di wajah Arjuna saat mendengar kata Blue Saphire.

“Berapa orang yang ilang?” tanya Arjuna kemudian.

“Tadinya dua orang, tapi yang satu udah ditemuin dalam kondisi pingsan. Sekarang tinggal yang satunya.”

“Siapa?” Mbak Era ikut bertanya.
Silva bungkam. Tak sanggup menyebutkan nama korban. Matanya terus saja memandang Arjuna.

Melihat gelagat Silva, mereka pun tahu bahwa korbannya adalah Rengganis.

“De, bantu aku packing! Kita harus bantu cari dia,” ujar Arjuna.

Silva menarik tangannya, “Tangan sama kaki kamu kan masih sakit, Juna.”

Arjuna memandang Silva sekilas lalu mengibaskan tangannya. “Lalu menurut kamu, lebih baik aku di sini dan menunggu kabar kalau Rengganis ditemukan sudah nggak bernyawa! Itu yang kamu mau?!” bentaknya.

Sempat shock. Mulut Silva terkunci. Arjuna beranjak. Bergegas menuju gudang untuk menyiapkan beberapa peralatan.

Gede menghampiri Silva. “Kamu kan tahu, Sil, korbannya itu orang yang sangat berarti buat Arjuna. Jadi dia nggak mungkin diem aja. Gimanapun kondisinya pasti dia bakal ikut cari,” katanya mencoba menenangkan.

“Aku kan cuma khawatir sama Arjuna,” pinta Silva lirih. Air matanya mengalir.

Gede menepuk-nepuk punggung Silva. “Udah, sabar ya. Arjuna lagi emosi. Besok waktu balik pasti dia minta maaf sama kamu.”

“Iya. Makasih, De,” Gede tersenyum lalu pergi mengikuti Arjuna.

“Sini, Sil!” panggil Mbak Era.
Silva menghampiri Mbak Era dan Aira.

“Udah nggak usah nangis. Anak Mapala kok cengeng,” ledek Mbak Era.

“Baru kali ini aku dibentak Arjuna, Mbak.”

“Yaela, baru dibentak gitu aja nangis. Kalau Diksar aja bentak orang nggak ada berhentinya,” Aira angkat bicara.

“Beda sikon kali, Ra,” tandas Silva.

“Dibikin sama juga nggak masalah kan,” Aira tertawa.

“Yeee, dasar monyet!!” ejek Silva sambil melempar kulit kacang.

“Apa? Monyet? Dasar Kuda Nil!” balas Aira. Dia tidak membalas dengan kulit kacang melainkan kulit pisang.
Akhirnya terjadilah aksi lempar melempar. Suasana mulai mencair. Giliran Mbak Era yang mengangkat helm rafting tinggi-tinggi.

“Bersihin nggak?!” ancamnya.

“Ampun! Iya, Mbak. Kita bersihin kok,” pinta Aira sambil memunguti kulit kacang yang ada di dekatnya.

Jangan Bermain Cinta dengan MapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang