Kelopak

14 1 0
                                    

Pandangan mata berkabutnya memejam menikmati hujaman demi hujaman di pusat diri masing-masing. Wajahnya tetap menjadi pemandangan favorit dalam hidupku selama ini. Apalagi di tengah keremangan lampu seperti sekarang ini, yang sesekali peluh keringat menetes dari pelipisnya.

Sorot cahaya dari kisi-kisi jendela membuatku semakin jatuh dalam pesonanya. Tapi, sorot cahaya itu juga yang seakan menegaskan bahwa lelaki yang tengah menikmati permainan kami ini bukan lagi milikku.

"Lebih cepat mas, ah aku sebentar lagi, uh uh" ucapku tertahan.

"Jangan dulu, aku juga sebentar lagi" suaranya terdengar parau di selimuti kenikmatan yang mendera dirinya.

"Di dalam saja, tak apa" sedetik tepat setelah kuucapkan kalimatku semburan cairan terasa menghangati rahimku.

Tubuh kekar nan basah itu menindih tubuhku. Terasa berat memang, tapi aku selalu suka posisi seperti ini. Aku bisa memeluknya seerat mungkin, seperti yang aku mau. Sementara peluh keringatnya menyatu dengan keringatku.

Ia mengangkat tubuhnya, tapi tetap posisi diatasku. Barangkali ia ingin memberiku ruang untuk bernafas.

"Kenapa kamu lakukan ini ? " tanyanya, matanya menembus jauh ke dalam iris mataku.

Aku tak berani balas menatapnya, aku takut. Karena nyatanya bola mata itu bukan lagi milikku. Aku hanya memejam, mencoba menahan gejolak panas yang mencoba mendobrak dari pelupuk mata.

Tangannya membelai pipi tirusku lembut, lalu beralih ke mataku yang masih juga terpejam sebelum akhirnya kurasakan kecupan lembut di kelopak mataku.

Suara deritan tempat tidur mengiringi pergerakannya melepaskan tubuhnya dari tubuhku. Lalu, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Kubuka mataku yang semula terpejam. Silau mengusik indra penglihatanku ketika sorot rembulan mencoba menelisik masuk dari kisi gorden kamar ini. Cairan panas perlahan menjatuhkan dirinya dipipiku. Menari-nari di setiap sudut pipi yang tak lagi tembam seperti dulu.

"Tubuhmu tak lagi gemuk seperti dulu. Kamu harus menjaga pola makan dan istirahatmu" satu suara bariton cukup mengagetkanku. Dia disana, dengan keadaan badan setengah telanjang yang terlihat segar.

"Ah ya, aku sedikit sibuk belakangan ini mas" ucapku berbohong.

"Kesibukan apa hingga membuatmu sekurus seperti sekarang ? "

Kesibukanku menangisimu mas, meratapi kepergianmu. Ucapku kecut dalam hati.

"Tidurlah mas, kamu terlihat lelah. Besok kan harus berangkat pagi untuk bekerja" ia patuh, melangkahkan kakinya menuju ranjang dan berbaring di sebelahku.

Tak butuh waktu lama untuk membuatnya terlelap. Dan aku menoleh mendengar dengkuran halus nan teratur darinya. Mendapati wajahnya tepat berada di depanku, bahkan hidung kami hampir bersentuhan jika saja aku tidak segera menarik kepalaku sedikit kebelakang.

Perlahan kuusap dahinya, menyibak anak-anak rambut yang jatuh di sekitaran wajahnya. Mencoba menelisik lebih dalam, mencoba mencari ekspresi kesedihan di setiap gurat wajahnya. Tapi nihil, yang kutemukan hanya wajah teduh yang terlihat nyaman dalam tidurnya. Benar, dia bahagia saat ini. Tentu saja bahagia. Lalu bagaimana denganku ?

Hatiku ngilu, jika saja bisa aku ingin waktu berhenti berputar detik ini juga. Detik dimana seseorang yang sangat ku cintai berada tepat di depanku. Detik dimana seseorang yang sangat ku cintai benar-benar tergapai oleh tanganku. Jika saja bisa, aku ingin tak lagi ada hari esok, jika pada akhirnya dia kembali kepada bahagianya.

Dering handphone miliknya mengganggu waktuku menikmati lekuk wajahnya. Dengan perlahan aku mencoba menggapai benda kotak yang tengah menyala itu di atas nakas.

Mendapati satu pesan masuk setelah kubuka pola kunci dari handphone yang pemiliknya tengah tertidur pulas di ranjang.

From : Tari

Selamat malam bang, selamat tidur. Mimpiin aku ya, jangan yang lain.

Aku mendengus, muak membaca pesan singkat dari seseorang di handphone yang saat ini ku genggam.

Dasar perebut milik orang lain, umpatku dalam hati sebelum akhirnya meletakkan kembali handphone berwarna hitam itu ke tempatnya semula.

Kembali berbaring disamping lelaki yang kucintai. Kupandang lekat wajah damainya ketika tertidur.

"kenapa mas ?  Kenapa kamu lakukan ini padaku ? " ucapku pilu. Hatiku sakit, terremas, lalu seperti dihempaskan dari tempatnya.

"aku kurang apa mas ?  Apa pengorbananku selama ini kurang untukmu ?  Bahkan aku tidak pernah meninggalkanmu barang sekalipun ketika seluruh dunia menjauhimu"

"aku selalu ada, menemanimu dari titik nol, dari titik terendah dalam hidupmu. Aku selalu ada di saat tidak ada satu wajahpun yang sudi menoleh ke arahmu" air mata tengah menganak sungai di pipiku. Tapi wajah di depanku tetap damai terbuai mimpi indahnya.

Kuusap pelan wajahnya, sakit, kecewa, perih merongrong setiap senti dalam tubuhku.

"tapi, ketika kamu dapati lagi duniamu, ketika kamu berada di atas, kenapa kamu pergi mas ?  Kenapa kamu meninggalkanku ?  Kenapa kamu lebih memilih wanita murahan itu mas, kenapa ? " bibirku bergetar.

Perlahan aku berdiri, memakai kembali pakaianku yang telah tercecer di lantai. Memakainya dan mematut diri di depan cermin. Mendapati sesosok wanita kurus dengan wajah kuyu terlihat menyedihkan dari sisi cermin satunya.

Aku melangkah kembali menuju ranjang, mengambil secarik kertas bersama pena hitam, lalu menulis sesuatu di atas putih kertas yang sedikit kusam. Dari balik jendela aku mendapati bunga mawar yang indah diterpa sorot rembulan. Deritan yang terdengar dari gesekan antara jendela dengan tembok terdengar sedikit memengakkan telinga. Aku menoleh, melihat apakah lelaki yang tengah terlelap diranjang itu terbangun.

Rasa perih menjalar di ujung jariku. Mendapati darah yang sedikit menetes karena tertusuk duri dari bunga mawar yang baru saja kuraih. Bunga mawar merah, lambang cinta. Kucabuti satu persatu kelopak berwarna merah darah itu. Hingga menyisakan satu kelopak terakhir.

Darah yang masih tertinggal di ujung jari kuusap pada kelopak satu yang tersisa. Terlihat menyedihkan, bunga mawar yang semula indah terlihat buruk setelah kehilangan kelopaknya, sekalipun masih menyisakan satu kelopak terakhir. Menyedihkan, tepat seperti diriku.

Kuletakkan mawar buruk itu di atas kertas yang tadi telah kutulisi tadi. Noda darah tercetak di atas putih kertas ketika kelopak mawar tadi bersentuhan dengan kertas.

Dengan pilu, kupandang lagi wajah lelap di atas ranjang.

"Mas, sampai kapanpun aku tetap mencintaimu. Semoga bahagia selalu mas. Aku mohon undur diri, aku ijin pergi. Ya, malam ini persembahan terakhirku mas. Maaf, jangan rindu bila kita tidak bertemu lagi. Terimakasih mas, terimakasih untuk waktu-waktu membahagiakan yang kamu beri untukku, juga terimakasih untuk luka perih yang kamu tancapkan dalam hatiku. Aku mencimtaimu mas, aku mencintaimu"

Kelopak TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang