Aroma 11 : Semoga Kopi Mempertemukan Kembali

34 0 0
                                    

AKU melihat Vendra memainkan tangannya cekatan ketika melakukan penyeduhan. Ia juga tidak pernah melewatkan pertanyaan para pengunjung mengenai kopi-kopi yang kami sediakan, yaitu Bongso dari Wonosobo, Posong dan Tlahap dari Temanggung, serta Owa Jawa dari Pekalongan. Aku sedikit kecewa dengan diriku sendiri karena aku tidak bisa menjelaskan bagaimana karakteristik kopi-kopi itu. Vendra bisa menjelaskan secara detail dan berusaha percaya diri mengenai rasa kopi tersebut.

Grand opening Kopnat berjalan lancar. Aku meminta Vendra untuk melakukan pengguntingan pita. Grey terus memunculkan senyumnya ketika acara pembukaan kedai berlangsung. Para penikmat kopi masih bisa memaklumi dengan menu kopi yang masih tetap. Kami berani menambah kopi Bongso dan Owa Jawa sebagai menu unggulan.

Para undangan, termasuk Pak Surya juga datang bersama istrinya dan mengucapkan selamat pada kami. Kini Kopnat telah hidup kembali meskipun menu kopi masih belum berubah. Kehadiran kopi Owa Jawa menjadi salah satu obrolan penikmat kopi kali ini. Karakteristik aroma herbal yang kuat membuat beberapa penikmat kopi ingin mencoba.

Aku melihat Grey tampak rinci menjelaskan konsep desain yang kami terapkan pada Kopnat. Grey tetap tahu, bahwa desain interior ruangan hanya sebagai pelengkap saja. Sama seperti latte art sebenarnya. Jika latte art ialah pemanis maka jangan perkarakan itu bagus atau tidaknya, tetap perkarakan bagaimana rasa kopinya.

Grey juga sibuk memotret para barista yang sedang beraksi di dapur bar ketika tidak ada lagi pengunjung yang menanyakan mengenai desain ruangan. Kemampuan memainkan kamera diperoleh dari ayahnya yang bekerja sebagai travel fotografer. Hasil fotonya jangan diragukan lagi, terkadang tanpa mengintip ranah kamera, hanya dengan memainkan sutterspeed, ia tetap bisa menghasilkan angel foto yang keren. Adanya dia sebagai fotografer di acara opening Kopnat ini bisa membantu mempublikasikan kedai agar bisa dikenal banyak orang.

Aku harus bergantian memegang kameranya ketika ia meminta izin untuk mengikuti jam kuliah. Ia akan datang lagi nanti malam, katanya. Kami sempat kewalahan karena tidak ada pendokumentasian. Vendra yang juga ahli di bidang fotografi tidak mungkin beralih dari dapur bar dengan keadaan pengunjung yang masih terus berdatangan.

***

"Apa menu kopi unggulannya, Mas?" Tanya salah satu pengunjung yang baru saja datang setelah senja sudah berganti malam dan obrolan mengenai pembukaan Kopnat sudah tidak ada lagi. Aku yang masih ikut berkutik di dapur bar seketika itu menjawab pertanyaannya.

"Bongso dari Wonosobo dan Owa Jawa dari Pekalongan untuk kopi unggulan yang kami sediakan hari ini. Kopi Bongso jenis arabika, sedangkan Owa Jawa jenis robusta," kataku cepat karena aku melihat Vendra tidak menjawab pertanyaan pria itu, beberapa detik ia diam memandangnya dan menghentikan seduhan.

"Kau bisa minum kopi?" Tanya Vendra pada pria itu seperti sudah mengenalnya.

"Ya," kata pria itu singkat.

"Dia Fauzi, adikku," kata Vendra padaku ketika melihat aku masih diam memerhatikannya. Wajahnya tidak jauh berbeda dari Vendra, tetapi jika dilihat lebih detail, Fauzi lebih tampan.

Obrolan kami bertiga kurang lebih berlangsung tiga puluh menit, tetapi sudah merasakan keakraban. Fauzi awalnya sangat membenci aroma kopi yang membuat kepalanya berdenyut. Berawal dari rasa rindunya terhadap Vendra membuatnya mencoba mendekati dapur yang berisi kopi bubuk milik ayahnya. Mencoba untuk menciumnya. Sama seperti kasusku akhir-akhir ini. Kepalanya berdenyut dan langsung menjauhinya.

Rasa rindu begitu membuatnya ingin merasakan kedekatan terhadap abangnya. Tak bisa dipungkiri jika ikatan batin mereka didekatkan kembali dengan kopi. Berkali-kali ia mencoba bersahabat dengan aroma kopi. Melalui tahap demi tahap, menemani ayahnya ketika menyeduh kopi agar terbiasa mencium aromanya.

Monolog KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang