Saat kali pertama bertemu pandang dengannya, adalah ketika mereka berdiri bersisian di tengah sesaknya bus yang membelah jalanan malam di pinggir kota Sanna. Bus terakhir sebelum waktu memasuki seperempat malam.
Jarak kedua bahu mereka hanya sejengkal saja. Sesekali bergesekan ketika bus mengerem atau berkelok tajam di belokan jalan.
Aroma mint dan sisa asap rokok tercium samar dari tubuhnya meski bau badan dan keringat lebih mendominasi.
Dia hafal bagaimana rupanya. Menelisik wajah lewat pantulan cermin jendela yang ada di hadapan mereka. Diam- diam. Mengabaikan eksistensi beberapa penumpang lain yang barangkali saja melihatnya kala mencuri pandang dengan kurang ajar.
Memeta penuh raut dingin yang tercetak di wajah rupawannya. Parasnya yang memikat dan lirikan tajam dari kedua manik kelam ketika membalas tatapannya tiba- tiba tepat pada retina. Membuatnya lantas menunduk kikuk dengan nafas tertahan.
Pemuda itu tinggi, tubuhnya kurus tapi berisi, rambutnya sewarna madu dengan poni sedikit ikal dan panjang, dan kulitnya pucat dengan bibir merah yang berkilat.
Pria tampan tanpa nama. Entah siapa. Karena atribut nama yang biasanya menempel pada kemeja seragam tertutup oleh kain jaket berwarna biru dongker.
Hingga kemudian bus menurunkan pemuda itu pada sebuah halte kosong dengan cahaya remang bersama beberapa penumpang. Menyisakan dirinya dalam kekosongan dan pusaran rasa penasaran yang membumbung dalam benaknya.
Sisa malam itu, dirinya bertanya- tanya tentang nama sang pemuda hingga mimpi merenggut kesadarannya bersama desau nafas lelahnya dalam balutan temaram.
..
..
..
Namanya Zhean. Zhean Francois. Pagi itu Emilia, kawannya, memberi tahu dirinya. Bahkan ia hanya menyebutkan gambaran dari paras si pemuda dan teman sebangkunya langsung menyebutkan sebuah nama. Nama yang terdengar asing karena ia bukan seorang yang selalu ingin tahu urusan orang lain.
"Dia tinggal dua blog dari rumahku. Dan sekolah di SMA khusus laki- laki. Wataknya buruk, sepertinya," terangnya.
Dari penuturan sahabatnya, ia tahu di mana pemuda itu bersekolah, bagaimana tindak tanduknya, dan bagaimana kehidupan si pemuda dari selentingan gosip murahan yang diucapkan Emilia.
Pemuda yatim piatu, bilangnya lagi. Hanya tinggal dengan kakak laki- lakinya yang sibuk bekerja. Dia suka berkelahi karena sering kali terlihat beberapa luka dan lebam di wajahnya. Akibat kurangnya didikan orang tua. Maklum, ayah dan ibunya meninggal ketika pemuda itu baru berusia sebelas tahun.
Tapi dirinya tak ambil pusing. Toh, apa pentingnya, dia hanya ingin tahu saja dan tak butuh mengenal lebih jauh pemuda dengan satu anting di telinganya itu. Meski dalam hati ingin.
"Kau naksir padanya?"
"Apa? Tidak," gelengnya. "Aku cuma kebetulan bertemu dengannya di bus semalam."
"Kalian mengobrol?"
"Mana mungkin. Bahkan kami tidak bertegur sapa."
"Baguslah."
Lantas keduanya mengobrol lebih banyak lagi tentang apapun untuk menghabiskan sisa waktu sebelum dering bel masuk berbunyi.
..
..
..
Lalu di senja ke lima setelah pertemuan pertama, mereka kembali bertemu. Dengan hujan yang mengguyur deras dan suara petir yang bersahutan. Di bawah temaram lampu jalan yang tak mampu menembus atap halte yang didominasi cat warna abu- abu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till You Come
Teen FictionAku tidak mengerti mengapa hati ini berlabuh pada tempat yang salah. Dan tidak mengerti pula mengapa aku tidak bisa berpaling meski hanya untuk sejenak. Jadi biarkan aku menunggu. Hingga kau datang untukku. Bahkan jika itu berarti aku harus melakuka...