BAB XI CINTA DAN AIR MATA

20 10 0
                                    



Malam ini Sarah masih tak bisa tidur. Bukan karena ia tak mau untuk itu. Melainkan, karena matanya tak kunjung mau tertutup. Sejak bertemu dengan Ian kembali, Ia susah untuk tidur. Tapi malam ini sedikit berbeda. Jika kemarin Ia terus memikirkan masa-masa indah dengan Ian, sekarang Ia terbayang masa kelam bersama Ian.

Sarah terduduk di meja belajarnya. Meja itu langsung menempel ke tembok yang berhiaskan cermin yang besar dan berukir motif Jepara. Sarah menempelkan pipinya yang manis di meja tersebut. Tangannya berada di atas meja hampir menutupi wajahnya namun tetap menampakan wajah manis yang penuh dengan duka.

Jika ada orang yang melihat Sarah dari balik pintu pasti sudah jelas akan terlihat air matanya Sarah. Namun malam itu Sarah menutup kamarnya rapat-rapat dan mengunci setiap sudut pintu masuk yang mengakses ke dalam kamarnya. Walau orang tuanya berkali-kali memanggil Sarah untuk keluar, namun tak sedikitpun respon dari wanita manis tersebut.

Malam itu air mata Sarah terus mengalir menikuti garis senyum pipinya. Batinnya berteriak namun tak sedikitpun suara keluar dari mulutnya. Seakan ada sesuatu yang menahan suaranya. Sarah sudah berulang kali menjerit, namun tak sedikitpun suaranya bisa keluar.

Semuanya tertahan di dadanya. Rasa sakit yang meluap tak bisa untuk meninggalkan hatinya yang kian menyesakan dada. Ia hanya bisa menahas sesak di dadanya dan meraung dalam kesunyian yang kian lama semakin membuat dirinya sakit. Sakit karena menahan tangisan yang menyesakan dadanya.

Malam itu Sarah terus teringat akan kemesraan Ian dan Itha. Hatinya serasa di remas-remas. Bagai kaca yang di banting oleh seseorang. Hancur berkeping-keping. Begitulah hati Sarah yang kini tengah rapuh karena mencintai orang yang sudah dimiliki oleh orang lain.

Jam 9:30 Handphone Sarah berbunyi. Sarah lantas memegang Hpnya. Namun posisinya masih belum berubah. Badan yang membungkuk dengan posisi duduk yang menempelkan pipinya pada meja belajar yang sudah agak banjir oleh air mata. Ia masih belum membuka Hpnya namun kini Hpnya sudah ada di tangannya tersebut.

Sarah lantas menekan tombol Hpnya untuk membuat tampilan hpnya muncul dan melihat siapa yang tengah menelponnya disaat kondisi Sarah yang seperti itu. Layar Hpnya kini telah menyala. Tertulis dengan jelas di smarphonenya "Rian Pratama". Sarah lantas mengelap air matanya dan berusaha menghentikan isak tangisnya. Ia menekan tombol biru tanda menjawab panggilan Ian.

"Halooo..." dengan suara aga berat karana masih dalam kondisi bersedih. Kini Sarah sudah agak menegakkan posisi duduknya dan mulai menyenderkan bahunya yang lemas di kursi yang empuk.

"Kamu gak apa-apa Sar. Kok dari nadanya kamu kaya lagi sedih."

"Nggak kok Ian," Sarah mencoba menutupi kesedihannya.

"Tadi jam istirahan kamu sakit sampe harus pulang gitu."

"Menurutmu?"

"Ia lah gak mungkin kamu pulang tanpa alasan yang jelas. Kenapa? Sakit apa? Kok Gak bilang? Kan bisa ku antar Sar?"

"Kamu nannya atau apa Ian. Aku baik-baik aja kok. Dadaku hanya sedikit sesak." Dengan nada lemas.

"Sesak... Sakit apa emang? Berat gak? Pasti sembuh kan? Udah ke dokter belum?"

"Udah kok aku udah minum obat," Sarah bebohong.

"Gimana masih sakit."

"Aku dah baikan Ian."

"Oh syukur deh. Kamu udah makan, kalau belum nanti aku ke rumah mu deh ya."

"Gak usah udah malem nih. Kamu tau kan gimana bapak ku."

Apa Itu Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang