GANA tersenyum kemenangan sembari melambaikan tangan ke arah penonton. Namanya terdengar bergemuruh karena semua orang serentak mengucapkannya. Penampilannya lancar. Bukankah memang selalu begitu?
"Good enough." Suara managernya terdengar lewat headphone kecil yang diselipkan ditelinganya, −saat ia sudah berada di belakang panggung. Ia mendesis kecil kemudian. Good enough? Penampilan spektakulernya itu disebut good enough?
"Hm," ia hanya berdeham membalas pujian managernya itu.
Perasaannya kacau. Rasanya ia ingin menghancurkan sesuatu malam ini. Managernya itu selalu berhasil menyulut amarah yang tertanam dalam dirinya. Good enough...
Apa-apaan itu?!
Ia bahkan yakin jika tadi adalah penampilan terbaik dalam hidupnya, setelah ia menghabiskan waktu setengah tahun untuk merancang musik, mendekor panggung, dan mempromosikan dirinya sendiri. Tapi dengan seenaknya, managernya bilang penampilannya itu cukup bagus? Cukup?! Apa-apaan...?!
Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Yah... jangan terlalu diambil hati.
***
Bunyi lonceng pintu itu terdengar nyaring saat ia memasuki sebuah Coffeshop kecil. Ia terpaksa mengenakan masker untuk menutupi wajahnya dari serangan Paparazzi.
Gana Clarkson, DJ paling populer di Aussie itu kemudian mengedarkan pandangan kesekeliling lalu mengerutkan kening saat menyadari jika kedai ini sangat sepi.
Ia jadi takut telah memasuki kedai yang sedang tutup. Tapi plat didepan berisi tulisan open. Ia tidak salah kan?
Gana baru saja menghempaskan diri dikursi saat seorang gadis berlari tergopoh-gopoh ke arahnya. Antusias gadis itu membuatnya tersenyum tipis, pasti penggemarnya.
"Selamat da-,"
"Mana pulpen dan kertas?" ia menyodorkan tangan. Gadis itu mengerutkan dahi.
"Apa?"
"Pulpen dan kertas." Gana mengulangi, "Kau ingin tanda tanganku kan?"
"Sembarangan!!" Gadis itu memekik, "Dengar ya, aku tidak ingin tanda tanganmu, tidak dalam mimpi burukku sekalipun. Kau pikir kau ini artis, kau pikir kau terkenal, hah?! Sombong sekali!"
Tunggu dulu.
Apa maksud gadis ini? Gana memang orang terkenal dan berbakat. Hampir semua orang di Australia ini adalah penggemarnya, lalu apa kata gadis itu tadi? Tidak berminat dengan tanda tangannya?
Cih, idiot.
Mungkin ia tidak tahu jika satu tanda tangan seorang Gana Clarkson bernilai tiga ratus lima puluh dollar AUS.
"Kau tidak tahu siapa aku?" ia bertanya dengan nada tidak percaya. Meskipun ia memakai masker, penggemarnya biasanya tidak pernah salah mengenalinya. "Benar-benar tidak tahu?"
Gadis itu berdecih sinis sembari bersedekap, "Memangnya sepenting apa dirimu hingga aku harus mengenalmu? Cepat sebutkan pesananmu sebelum aku mengusirmu keluar."
Gana tercengang, gadis tidak sopan ini...
"Kau pelayan?"
"Menurutmu aku orang gila yang asal masuk Coffeshop untuk menanyakan pesanan pelanggan seperti orang bodoh? Tolong gunakan otakmu dengan baik, atau sumbangkan saja pada orang yang perlu."
Tenang. Tenangkan dirimu. Jangan dimasukkan kehati. Orang waras ngalah... orang waras ngalah...
Gana mengucapkan serentetan mantra untuk menenangkan diri sebelum menghembuskan nafas keras.
"Maaf, maaf. Kau hanya tidak terlihat seperti seorang pelayan," ia tersenyum manis. "Kau lebih mirip seorang glandangan."
Gadis itu kemudian melototkan mata sembari menarik ujung jaketnya, lalu mendorongnya keluar.
"Omongan tidak berguna dilarang di kedai ini. Silahkan cari tempat lain yang sudi melayanimu."
Pintu Coffeshop kemudian ditutup kasar.
Gana masih diam ditempat seperti orang bodoh. Angin musim dingin kemudian berhembus, seolah mengembalikan kesadarannya.
Seharusnya ia melawan saat dipermalukan seperti tadi. Tapi kenapa... kenapa ia malah tidak berkutik? Mata hitam gadis itu seolah menghipnotisnya. Jika tadi ia bilang gadis itu mirip glandangan, maka sekarang ia menyadari jika gadis secantik itu tidak pantas menjadi seorang glandangan.
Lebih pantas menjadi... entahlah, yang pasti bukan glandangan. Mungkin lebih pantas menjadi... pacarnya? Gana menggelengkan kepala kuat-kuat.
Apa yang akan dilakukan fansnya jika ia memiliki pacar? Ia bergidig ngeri.
Tapi tetap saja. Gadis itu adalah orang pertama yang tidak tahu mengenai dirinya, ditambah sudah mempermalukannya. Untung saja tidak ada banyak orang.
Ia menatap pintu Coffeshop yang tertutup itu lalu mendesah kecewa.
Ia belum sempat menanyakan nama gadis itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
kita
RomanceAku tidak pernah punya keinginan lebih selain melihat orang yang kusayangi bahagia. Sekalipun aku harus mengorbankan segala yang aku punya. Tapi sekarang, setelah bertemu dengan pengacau satu itu -Gana-ssi−, aku jadi menginginkan banyak hal. Ingin s...