Kadang hal yang paling ditakutkan malah menjadi kenyataan
~Dua Cincin~Bi Ranum berjalan tergesa-gesa menuju kamar Ratih. Tangannya menggenggam sebuah benda pipih kecil.
"Ada apa bi?" tanya Ratih heran.
"Bibi nemu ini mbak." bi Ranum menyodorkan benda pipih itu.
"Testpack?" bisik Ratih.
Matanya tiba-tiba membulat menatap benda itu, ada garis dua yang terpampang disitu.
"Punya siapa ini bi?" Ratih mengernyitkan dahinya.
"A-anu mbak. Bibi ketemu ini di bawah ranjangnya mbak Ratna." ucap bi Ranum terbata-bata.
"Ratna hamil?" lirih Ratih sambil meremas benda itu.
Ratih langsung beranjak dari tempatnya. Ia melangkah gusar kearah kamar Ratna. Sesekali ia mengusap air matanya yang meluap dari pelupuk mata. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi--Ratih membatin.
DOR DOR DOR
"Keluar kau Ratna!" teriak Ratih sambil menggedor pintu kamar Ratna.
Ratih terus menggedor pintu, tapi hasilnya nihil.
"Heh kubilang keluar!"
"Mbak disini rupanya." ujar bi Ranum tiba-tiba.
"Daritadi bibi cariin."
Ratih menoleh sebentar lalu melanjutkan aksinya.
"Mbak Ratna sudah pergi dari setengah jam yang lalu mbak. Pintunya itu tidak di kunci. Makanya bibi bisa masuk untuk beres-beres. Karna dari kemaren-kemaren pintunya di kunci terus, bibi tidak bisa masuk."
Ratih memukul pintu kamar itu. Seolah melampiaskan kegusarannya pada pintu itu.
"Yasudah. Bibi lanjut masak saja." perintah Ratih yang dibalas anggukan dari bi Ranum.
Ratih membuang nafasnya berat. Ia kembali menangis. Diremasnya benda pipih itu erat-erat. Ia menggeram, menggigit bibir bawahnya.
"Awas kau Ratna!"
💍💍💍
Ratna kembali duduk, tepat dihadapan dokter itu.
"Jadi, usia kandungan ibu sudah empat minggu. Ibu ha-"
"Empat minggu dok?" tanya Ratna memotong kalimat dokter.
"Iya, empat minggu. Sudah genap sebulanlah." balasnya.
Ratna mengetuk-ketukkan jarinya diatas meja. Menerawang ke segala arah mencoba mengingat segala sesuatunya. Tiba-tiba alisnya bertaut, lalu ia menggigig bibir bawahnya.
"Empat minggu? Berarti ini..." lirih Ratna.
"Kalau saya boleh tau ibu masih mengonsumsi obat-obat itu 'kan?"
"Iya dok. Saya harus terus mengonsumsinya."
"Ibu harus memilih, terus melanjutkan kehamilan beresiko ini atau-"
"Saya mau mempertahankan janin ini dok. Umur di tangan Tuhan. Dan tidak mungkin saya mengatur umur janin saya." ujar Ratna mantap.
Dokter menghela nafasnya.
"Baiklah kalau begitu bu. Oke, bulan depan ibu bisa datang lagi untuk cek kembali." ucapnya sambil menyerahkan sebuah buku kehamilan.
"Baik dok."
Ratna keluar dari ruangan itu. Ia melangkah pelan. Pikirannya masih campur aduk. Aku hamil? Sudah empat minggu? Batinnya.
Sekeluar dari rumah sakit, Ratna segera memesan taksi lalu bertolak kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, Ratih sudah menunggunya di depan pintu.
"Darimana kau?"
"Dari rumah sakit."
"Ini milikmu?" tanya Ratih sambil menyodorkan benda pipih tersebut.
"Testpack?" tanya Ratna balik.
Ratih mengangguk singkat, rahangnya mengeras. Ia menatap Ratna tajam.
"Iya punyaku. Dan aku positif hamil." jawabnya datar.
Ratih meremas benda pipih itu.
"... Anak mas Raka."
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ratna. Ratih sudah tidak dapat menahan emosinya.
"Kenapa harus seperti ini jadinya!" teriak Ratih.
"Perempuan ular!" bentak Ratih kemudian sambil mengangkat tangannya hendak menampar Ratna lagi. Tapi ia mengurungkan niatnya tatkala Raka tiba-tiba muncul dihadapan mereka berdua.
"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Raka heran. Ratna langsung berlindung dibalik punggung Raka.
"Ada apa Ratih?" tanya Raka lagi.
Ratih tak bergeming. Ia bingung harus menjawab apa.
"Aku hamil mas. Dan kakak marah." ucap Ratna hati-hati.
Raka segera membalikkan badannya dan melihat Ratna.
"Kau hamil?" tanya Raka tak percaya. Ratna hanya mengangguk pelan.
"Itu testpack-nya di pegang kak Ratih."
Raka mengambil benda itu, lalu menatapnya dalam. Tatapan yang sulit untuk dijelaskan. Tidak ada tergambar ekspresi apapun di wajahnya, namun tangannya memegang benda itu dengan erat.
"Simpanlah." ucap Raka datar sembari memberikannya pada Ratna.
"Aku lelah. Aku ingin istirahat." Raka berlalu dari hadapan Ratna dan Ratih.
Ratna menyimpan benda pipih itu kedalam tasnya--ia melirik ke Ratih dengan tatapan sinisnya.
"Kau sudah menamparku karna ini kak."
"Kau pantas mendapatkannya."
"Sejujurnya dari awal aku hanya ingin merasakan bagaimana memiliki lelaki yang selalu ada untukku. Yang mau selalu melindungiku. Hanya itu kak."
"Omong kosong." Ratih membuang pandangannya dari Ratna.
"Tapi takdir berkata lain. Semuanya sudah terlanjur. Aku sudah terlanjur melangkah sejauh ini. Aku harus terus melanjutkannya..."
"... Tapi kakak sudah menamparku tadi."
"Kan sudah kukatakan, kau pantas menerimanya!"
"Baik kalau begitu kak. Menjadi musuhmupun aku tak keberatan." ucap Ratna dingin lalu pergi dari hadapan Ratih.
"Musuh?" desis Ratih seraya menatap punggunh Ratna yang semakin menjauh.
💍💍💍
Baca juga:
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Cincin (SEBAGIAN PART DIUNPUBLISH) Baca Ceritaku Yang On Going
RomanceFollow dulu baru baca ya, sobat gemas🧡 Ketika cinta harus diuji. Dengan apakah harus menaklukkannya? Ratih harus berbagi suami dengan Ratna, si wanita yang mengidap kanker stadium 3. Ditambah lagi dengan kehamilan Ratna yang membuat keluarga Raka a...