“Bunda, Ayah.” Lea menoleh demi mendapati seorang anak perempuan yang berlari kencang ke arahnya.“Ayah, Bunda.” Anak itu kembali berteriak.
Rambut kepangnya melompat-lompat seirama dengan langkah kakinya. Ditangannya, terselip sebuah karangan bunga sederhana. Mungkin ia kumpulkan saat bermain tadi.
Anak perempuan itu terus berlari ke arahnya, namun pandangannya bukan tertuju pada Lea, melainkan pada seseorang di belakangnya. Dan Lea baru mengetahuinya kala anak itu terus berlari tanpa memperdulikan dirinya.
“Jangan lari-lari, Rin. Nanti jatuh.” Tak peduli dengan nasihat bundanya, Ririn terus berlari, menggoyang-goyangkan karangan bunga buatannya pada bundanya.
“Ini buat Bunda,” ucap Ririn saat ia sampai di hadapan bundanya. Ia langsung duduk di pangkuan bunda, bergelayut manja, layaknya anak kecil pada umumnya.
“Terima kasih, sayang.” bunda menerima karangan bunga itu lantas mencium pipi Ririn lembut.
“Loh, Kok Ayah gak dikasih?” Sontak Ririn menoleh, lantas memamerkan senyum giginya yang keropos.
“Ayah kan laki-laki. Gak bisa dong dikasih bunga.” Dengan polosnya, Ririn menjawab, membuat ayah mengambil Ririn dari pangkuan bundanya lantas mencium dan menggelitiki Ririn tanpa ampun.
“Nih, Rasain.” Bukannya kesal, Ririn malah semakin tertawa. Membuat kedua orang tuanya ikut tertawa senang.
Ditempatnya, Lea masih menatap keluarga kecil itu. Meski kecil namun memiliki kehangatan di dalamnya. Lea berusaha mendekat, mencoba melihat dengan jelas wajah kedua orang tua Ririn.
Lea terus melangkah, menapaki satu demi satu, dan terhenti saat ia menyadari sesuatu.
“Bunda… Ayah…” panggil Lea lirih. Lea berusaha mendekat, mencoba meraih kedua orang tua itu namun urung saat didapatinya bukan lagi perkebunan teh, melainkan sebuah rumah sederhana.
“Jangan pergi, Rin.”
“Jangan, Nak. Bunda gak mau jauh dari kamu.” Lea menoleh dan kembali mendapati seorang gadis dengan tas besarnya mencoba keluar dari rumah. Di kakinya, wanita tua itu bergelayut erat, berusaha agar anak gadisnya akan mengurungkan niatnya.
Lea membekap mulutnya saat sadar bahwa itu adalah dirinya, dan wanita itu adalah bundanya. Orang tua yang amat disayanginya semasa kecil. Sebelum akhirnya kematian ayah membuatnya menjadi gadis kasar dan tak hormat pada bunda.
Mata Lea terus menatap gadis dan wanita tua itu. Perlahan, tetes demi tetes air matanya luruh, menatap betapa kejam dirinya yang melepas tangan bunda dari kakinya kasar. Membiarkan bunda menangis sembari menatap dirinya yang semakin menjauh.
Lea sadar, ia sepenuhnya telah menjadi anak yang durhaka.
“Rin, kembali, Rin. Bunda sayang Ririn.” bunda menangis, membuat Lea semakin merasakan sesak di dadanya. Lea berusaha mendekat, ingin mendekap tubuh tua itu.
Tetap sama, ia tak dapat menggapai bundanya, meski ia kini telah berada di hadapan bunda.
“Bunda,“ panggil Lea yang tentunya tak akan mampu didengar oleh bunda. Tangan Lea terulur hendak menghapus air mata yang terus mengalir membasahi pipi tirus bunda.
“Bunda, maafkan Ririn.” Tepat setelah kalimat itu terucap, suasana kembali berubah. Lea berdiri, berusaha mengenali di mana ia berada.
Angin yang berhembus kencang, nisan-nisan yang sudah lama tak terurus. Lea menyadari bahwa kini ia berada di pemakaman umum. Tapi, siapa yang meninggal?
“Bunda.”
“Bundaaa..” Lea menoleh, mencari sosok yang memanggil-manggil ibunya. Langkah kaki Lea membawanya untuk mendekat pada sosok gadis berbaju dan berkerudung hitam yang memunggunginya, menangis di hadapan kuburan yang masih basah.
“Bunda maafin Ririn. Ririn salah, maaf. Maaf Bunda.” Lea kembali membekap mulutnya rapat.
Gak, Bunda belum meninggal. Ini gak mungkin. Bunda belum meninggal
Bunda masih sehat di kampung. Gak. Ini pasti salah.Lea terduduk lemas. Matanya masih menatap gadis yang persis seperti dirinya. Lea merasa langit seakan runtuh di atas kepalanya, membuatnya harus memegang kepalanya kala potongan kejadian demi kejadian berputar di otaknya. Menghantam dengan keras tempurung kepalanya.
Gak mungkin. Bunda masih hidup.
Lea berusaha mengusir bayangan bunda, namun yang terjadi malah sebaliknya, ucapan bunda, sosok bunda, amarah, kesedihan, kasih sayang bunda menari-nari di otaknya.
“Bunda sayang kamu, Rin.”
“Jangan pergi. Cukup Bunda yang jadi tulang punggung.”
“Bunda akan buatin setiap hari sayur sup asal kamu gak pergi dari kampung.”
“Gak Bun, hidup kita miskin. Ayah udah meninggal. Ririn harus pergi buat cari uang, Bun. Ririn gak mau terus terusan hidup miskin.”
“Jangan pergi, Nak. Bunda mohon, Bunda takut bakal lama gak ketemu kamu.”
“Gak, Bun. Ririn harus pergi.”
Percakapan terakhir dengan bundanya membuat Lea terbangun. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, terutama pelipisnya.
Lea menangis, menyalahkan perilaku kasarnya pada bunda. Sudah 3 tahun ia tak pulang ke kampung. Bukan Lea tak mau, Lea masih kesal dengan sikap bunda yang mungkin tak membolehkannya bekerja ke Bandung lagi saat ia pulang nanti, meskipun pekerjaannya terbilang bagus dengan gaji yang lumayan banyak berkat otak cerdasnya.
Lea sadar, ia bersalah. Mimpinya pada malam ini sudah cukup membuat Lea sadar, bahwa ia harus meminta maaf pada bunda. Lea meraih handphonenya, berusaha menelpon bunda di kampung namun kembali mengurungkan niatnya saat bunda yang menelponnya terlebih dahulu.
“Halo?”
Baru salam yang ia ucapkan, namun seseorang di sebrang teleponnya telah berkata tentang takdir. Lea menjatuhkan handphonenya, harapannya untuk bersimpuh di hadapan bunda pupus sudah.
Lea menangis, menjerit pada keheningan. Mimpinya telah menjadi kenyataan. Malam ini, hanya tangisan penuh sesal yang menghiasi. Takdir tetap tak akan berubah
"Bunda meninggal, Rin. Tabrak lari, besok kamu pulang yah. Pemakamannya jam 9 pagi."
"Yang sabar yah, Bunda titip sesuatu. Katanya, kalau Bunda pergi, kamu jangan menangis."
"Cukup doakan Bunda supaya tenang. Bunda selalu sayang sama Ririn, cinta Bunda sama Ririn akan selalu abadi."
Tegal, 24 Februari 2018
---
Gimana??
Walaupun oneshoot, diri ini tetap berharap kalian bakal suka.
Ambil pelajaran yang positif kalau ada, kalau gak ada yaa gak usah (Plak!)😆
Okelah, semoga kalian suka. 😆
Jangan lupa voment yaa gengs..
Thank you 😍😍
Love,
Ashaalia😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Mother [Oneshoot]
Short StoryKetika sebuah syukur atas keberadaan itu muncul, penyesalan mengikuti. Terus mengikuti meski kesadaran telah sepenuhnya menjadi milikmu. Takdir berkata lain, bahwa tak semuanya akan merasakan kebahagian atau keterpurukan terus menerus.