utopis

1.1K 311 100
                                    


📜

            Saya membuang dubang sewaktu cikar-cikar pengangkut beras melintasi jalanan berbatu di sini. Banyak debu yang memasuki hidung beserta mulut saya beberapa saat yang lalu, lantas saya mendubang lagi sampai pekerja pribumi itu menghilang. Boerderij Buitenzorg itu besar adanya, salah pemiliknya  seorang mevrow jelita yang terkenal seantero Seorakardja.
         
Ada kecemasan yang mencekik begitu saya lihat sekeliling boerderij yang dibatasi oleh dinding-dinding setinggi tujuh meter. Tak banyak masyarakat yang pernah datang ke sini: mereka takut. Ada banyak rumor tak sedap perihal boerderij ini, apalagi mereka tak pernah jumpai Nyai Rengganis sejak dua tahun yang lalu──si mevrow jelita kepunyaan totok bernama Sjaf van.
           
Saya datang dari Batavia ke sini sebab ingin berbisnis. Saya banyak dengar kalau susu terbaik yang dijadikan bahan produksi di Batavia berasalnya dari boerderij ini. Tetapi, sejak beberapa bulan belakangan tak ada lagi pasokan susu yang melayar ke Sunda Kepala.
         
“Kim, kau holang temui saja Si Nyai Lengganis itu. Aku tahu alamatnya.”
           
Ko Hoe berkata pada saya beberapa waktu lalu dan sebab ia pula saya di sini. Saya menginap beberapa malam di rumah Ko Hoe sejak saya sampai di Soerakardja, dan baru hari ini saya berkesempatan untuk mendatangi boerderij yang terkenal itu.
         
“Mardi, engkau tunggu di sini. Jaga dokar saja, biar aku yang masuk.”
           
“Siap, Tuan.”
           
Mardi adalah pengawal saya, kusir saya yang sengaja saya ajak untuk ikut. Ia adalah orang kepercayaan saya; ia orang Madura dengan kumis tebal yang khas. Saya pun lantas berjalan menuju pagar boerderij yang luar biasa besar.
          
Hening. Tak ada siapa pun.
           
Saya mengetuk-ngetuk kunci besar yang segede pergelangan tangan saya (membenturkannya berulang-ulang di pagar besi). Tak lama, tergopoh-gopoh seseorang berprawakan bandit.
           
“Ada keperluan apa?”
         
“Ingin bertemu Nyai. Keperluan bisnis.”

Bandit──saya tak tahu namanya siapa, sebut saja begitu──membukakan pintu untuk saya. Ia persilakan saya naik ke dokar saya dan menyuruh saya masuk dengan dokar, sebab mahaluas sekali halaman Nyai Rengganis ini. Begitu kami sampai, saya langsung turun dan Mardi memilih untuk menunggu di dalam dokar.
           
“Siapa yang ingin bertemu denganku?”
           
Si Nyai keluar. Kebaya yang ia kenakan dibungkus oleh sesuatu yang tebalnya seperti selimut di area pundak. Luar biasa, wanita mana lagi yang secantik Nyai ini. Surai hitamnya terurai indah, kedua bola matanya hitam legam dengan bibir bagian bawah sedikit tebal. Nafsu laki-laki mana yang tidak tergoda melihat perangai sejelita itu.
           
“Saya Mevrow,” kata saya, mengikutinya duduk di hadapannya. “Datang ke sini untuk urusan bisnis.”
           
Si Nyai mengangguk. Ia menepuk tangannya sekali lantas datanglah pelayan. Berbisik sesuatu, si pelayan pun pergi. “Siapa nama engkau? Mau minum tidak?”
           
“Kim Seok Jin,” jawab saya. “Saya minum sesekali.”
           
“Kim Seok Jin? Nama macam apa itu? Aku tak pernah dengar pedagang Cina bernama serupa engkau.”
           
“Saya bukan dari Cina.”
           
“O, ya? Lantas, dari mana tuan ini?”
           
“Negeri di dekat Cina.”
           
Pelayan pun datang, membawa sebuah gelas dan wine. Saya tahu, sikap keeropaan yang dimiliki oleh Nyai Rengganis pastilah ajaran totok-nya. Siapa pula yang bisa membikin wanita Jawa jadi seelegan ini.
           
Ia menuang gelas tersebut, mempersilakan saya untuk minum.
           
“Bisnis apa yang engkau inginkan dariku?”
     
Saya menaruh gelas kristal yang saya pegang di atas meja. “Pasokan susu ke Batavia terhenti. Sedang saya dengar susu Mevrow sudah terkenal se-Batavia.”
           
“Susuku?” Ia tersenyum nakal, menyentuh buah dadanya lalu menyodorkannya pada saya. “Maksud engkau ini?”
           
O, Demi Tuhan, sudal sekali sikapnya. Saya memalingkan wajah cepat-cepat, meredam suara saya di mana jantung saya sudah kelojotan penuh rendah riuh. Si Nyai itu tersenyum, menggeser posisi duduknya di samping saya. Dengan semena-mena ia susuri permukaan wajah saya, “Engkau belum kawin?”
        
Saya menggeleng.
           
“Mau kawin denganku?” tanyanya pointis. Spontan saya menoleh ke arahnya. Ia sudah mulai menanggalkan pakaiannya, “Saya rindu tak disentuh. Tuan saya tak datang dua tahun belakangan. Mau kau puaskan berahiku? Aku pun akan puaskan engkau, Tuan.”
         
Saya meneguk ludah, merasa lemah syahwat seketika. Tubuh saya pun terdorong di atas sofa dan Si Nyai yang sudah menanggalkan pakaian itu menindih tubuh saya. Ia cumbuilah bibir saya, ia lumat, ia raba, ia sentuh────
           
“TUAN!!!”
           
────sampai Mardi datang, mengejutkan saya dengan napas tersengal-sengal.

“Ada apa, Mardi?
           
“Buat apa Tuan tiduran begitu?” tegur Mardi, merasa ketakutan. “Kita harus keluar dari tempat ini.”
           
“Mengapa?”
           
Mardi tak menjawab. Bibirnya terkatup dan kedua bola mata langsung mengedar.

           
Deg

           
Ada banyak mayat bergelimpangan di bawah dan tepat di bawah kaki saya, Nyai Rengganis yang barusan bertelanjang dan hendak meniduri saya membusuk. Mayatnya tersungkur dengan sangat mengenaskan. Dan di atas meja pula, saya melihat wine yang saya minum itu adalah darah kental. Darah yang kecokelatan.

           
Boerderij ini bekas pembantaian, tuan.”




fin

Utopis ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang