Matahari baru saja menampakkan batang hidungnya saat Adit menekan bel pintu kediaman keluarga Salim. Dari kelihatannya, Adit sama sekali belum tidur semalam. Rambutnya berantakan, matanya merah, bajunya masih sama seperti kemarin dan bulan tahu, Adit juga belum sempat pulang ke apartemennya.
Pintu rumah bergaya eropa itu berderit, dibuka oleh seorang wanita paruh baya berdaster ungu dari dalam rumah. "Bi," sapa Adit begitu wanita itu muncul dari celah pintu. Bi Sakinah adalah asisten rumah tangga kepercayaan keluarga Salim sejak zaman kakek buyut Felix. Ia telah mengenal Adit sejak ia dan Felix masih TK, makanya pemandangan Adit di kediaman keluarga Salim sama sekali tidak asing buatnya.
"Mas Adit ? Kok datang pagi sekali?" tanya Bi Sakinah dengan raut wajah heran bercampur khawatir.
"Hehe, Felix udah bangun belum ya, Bi?"
"Oh, Mas Felix masih tidur, Mas Adit, tapi masuk dulu saja, ndak apa-apa Mas."
"Oke deh, Bi, makasih, Bi"
¤•¤•¤•¤
Di tempat lain, tepatnya di kamar bercat putih di dalam rumah dua lantai bereksterior putih yang telah memudar menjadi putih tulang, Dira, anak bungsu keluarga Junadi, terbangun oleh sayup-sayup suara ibunya dari arah beranda. Jam berapa ini? Dira membatin sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, menyapukan pandangannya pada ruang kamar, mencari-cari jam dinding. "Ugh," keluhnya saat menyadari hari masih terlalu gelap untuk bangun.
"DIK DIRA! BANGUN DIK!!!"
Suara ibunya bersahut-sahutan dengan suara tukang sayur yang sedang berkeliling menjajakan barang dagangannya di jalan perumahan. Dira keluar dari kamarnya dengan langkah gontai, menuruni tangga dengan malas dan bersandar pada kusen pintu depan, menyahut panggilan ibunya yang baru saja hendak menyambangi tukang sayur yang berhenti di depan gerbang rumah.
"Ada apa, Buk?" tanya Dira, masih digelayuti kantuk.
"Ada paket buat kamu dari tukang koran, itu di atas kursi." Ibunya memberitahu.
Apakah Dira masih bermimpi? Dia tidak salah dengar, kan? "Paket dari tukang koran?" tanya Dira menekankan nada bicaranya pada kata 'Paket' dan 'Tukang Koran'.
"Kamu dapat hadiah dari majalah, nggak?" tanya ibunya sambil memilah-milih sayuran di gerobak belakang motor tukang sayur.
Dira mengernyitkan keningnya. "Majalah? Mana ada? Orang Dira nggak langganan majalah." Dira semakin bingung.
"Adek mau bubur sum sum nggak?" tanya ibu Dira.
"Boleh deh," kata Dira pada ibunya seraya bergerak mendekati sebuah paket berbalut plester coklat di atas kursi anyaman rotan di beranda.
Siapa pengirimnya? Tidak ada nama pengirimnya.
Untuk siapa? Dirinya, alamatnya benar, namanya pula.
Apa isinya?
Dira duduk di atas kursi dan membuka paket itu penasaran. Di balik bungkus plester coklatnya masih ada pembungkus lagi, dan begitu bungkus itu berhasil ditelanjangi, Dira menemukan sebuah kotak parfum Chanel ukuran tanggung dibarengi oleh surat yang kelihatannya diketik dengan mesin ketik.
it's been such a long time, but i remember you want it so much, sorry for taking sometimes to get one for you.
sincerely, your beloved anon
Mata Dira membulat, ia membolak-balik kotak parfum yang masih baru itu dan mengetes parfum berwarna merah jambu lembut itu dengan menyemprotkannya pada pergelangan tangannya. OH-MY-GOD Chance Eau Tendre. Dira memekik girang dalam hati. Ia menginginkan parfum itu sejak tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Boi || jhj, hhj
FanficAdira (Jeon Heejin) has a blog, a secret admirer, a guy she's in love with, and a lingering prick who makes everything ten times more complicated. -------------------- "Dit, kalau gue ditolak terus gue jatuh, lo bakal nangkep gue kan?" "Gue nggak ak...