Chapter 1

19.3K 1.4K 124
                                    

Hanya kilatan.

Ia datang menyambar pohon di ujung jalan. Menggetarkan jalanan bermobil yang terparkir menyala. Cahayanya terlihat cepat. Berakar pendek dan menghilang ketika mencapai tanah. Tergantikan dengan gemuruh dasyat yang menghentak jantung penghuni bumi.

Awan terlihat lara. Berawal dari tiupan angin, yang menerbangkan dedaunan kering ke penjuru kota. Diikuti oleh rintikan kecil. Membasahi jalanan secara acak, lalu ia jatuhkan serbuan air yang turun ke bumi.

Geraknya cepat teratur. Perkotaan dibuat basah dalam waktu beberapa detik.

Di bawah langit gelap, seorang pria berdiri. Ia membawa payung plastik bening yang dibeli di sebelah tempat kerja. Sebuah ponsel pintar didekatkan pada telinga, sekali sebelum menutup panggilan, ia berkata singkat, "Akan kuurus nanti."

Payung dibuka. Teracung pada awan abu penurun hujan.

Kakinya menapak trotoar becek dengan langkah cepat. Mata setajam elang mengawasi jalanan di depan. Jas hitam khas pekerja kantoran membalut otot sekal. Dengan wajah datar bosan setengah mati, seperti ingin pergi tidur karena kantung mata menebal akibat insomnia.

Pusat kota tak pernah sepi pejalan kaki. Walau kemungkinan pakaian mereka basah sangatlah tinggi. Kesibukan pekerjaan dijadikan prioritas paling atas, dengan limpahan harta tertinggi yang hendak dicapai. Pun si pria berambut hitam berpendapat sama. Bekerja untuk mencukupi kehidupan sendiri, dengan kelebihan uang yang dipakainya bersuka ria. Seperti halnya lelaki kebanyakan, yang rela mengeluarkan berapa pun demi hobi mereka. Namun, tak seperti mereka yang gemar mengoleksi perlengkapan otomotif, sepatu, atau mungkin suatu hal berbau seni, bahkan wanita, pria ini lebih suka mengoleksi peralatan kebersihan.

Jika ditanya mengapa, pria itu menjawab enteng: "Kebersihan adalah sebagian dari iman." Walau sesungguhnya ia tak pernah menjadi orang yang alim, pun hanya sekali.

Jarak kantor dan apartementnya tak jauh-jauh amat. Kau hanya perlu menyisihkan waktumu sebanyak 10 menit berjalan kaki jika ingin mampir ke sana. Tapi percayalah, pria itu akan menjadi orang pemilih jika mengajak atau pun mengizinkan seseorang untuk berkunjung ke tempatnya.

Pria ini nampaknya memang hobi menyendiri. Ia berjalan pelan di tengah hujan sambil menikmati suara rintik yang jatuh menabrak jalanan beraspal. Juga sesekali menghirup aroma khas di setiap menitnya.

Di tengah perjalanan, ia mendengar suara kucing mengeong.

Keningnya mengerut. Kaki berhenti melangkah, ia tajamkan pendengaran.

Suara itu muncul kembali. Terdengar lebih jelas kali ini. Seperti hendak memanggil karena mengeong beberapa kali. Pria itu menatap ke sekitar. Mencari-cari sumber suara yang ia dengar. Tak lama kemudian, pandangannya jatuh pada seekor kucing putih di bawah pohon.

Kucing itu menatap ke arahnya. Seperti meminta belas kasihan karena tubuh kecil itu terguyur derasnya hujan. Entah atas dorongan macam apa, si pria pendek berjalan mendekat. Berlutut di hadapan kucing putih bercorak oranye, membalas tatapan dengan mimik datar.

"Kau sebatangkara, hm? Aku juga begitu," ujarnya pada sang kucing. Ia elus rambut putih yang basah. Merasakan sedikit getaran pada tubuhnya yang menggigil. "Well, memelihara seekor kucing mungkin tidak buruk, walau anjing lebih tidak buruk lagi. Aku pernah punya seekor anjing walau ia sudah mati mendahuluiku karena, yah, dia terlalu tua."

Di luar dugaan, kucing itu menjilat jemari yang mengelusnya. Lidah kecil itu berwarna merah muda, menyentuh permukaan kulit yang basah terkena air hujan. Tampak lapar seperti tak makan selama beberapa hari.

Pria itu menarik tangannya. Ia berkata, "Sayangnya aku tak bisa merawatmu. Pria sepertiku terlalu sibuk bahkan untuk merawat seekor kucing buduk. Tapi aku bisa memberi susu dan membersihkan tubuh kotormu."

Dia membawa kucing itu pergi, saat hujan bertambah deras.

Angin kencang membawa payungnya pergi dari genggaman. Terbang berputar-putar di udara lalu tersangkut pada pohon tinggi.

Pria itu mengumpat kesal, "Fuck!" lalu meneruskan perjalanan sambil memeluk seekor kucing di perutnya. "Well, ini akan menjadi hari tersialku. Itu berlaku untukmu juga, Kucing Putih."

Dia Levi Ackerman, pria mapan 34 tahun, lari menerjang hujan.

—————

Ustulation [Levi X Neko!Reader] TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang