Sedih

28.9K 1.3K 28
                                    

Hidup tidak selurus itu
Bahkan rencana yang sudah disusun dapat berubah sedetik kemudian
~Dua Cincin~

Malam yang dingin tanpa satu bintangpun menghias sang langit. Angin malam begitu menusuk ke pori-pori kulit. Raka mengusap lengannya, mencoba menghangatkan diri di teras rumah nan sepi ini. Ia teringat peristiwa tadi sore. Peristiwa rumit namun sebenarnya membuat hatinya bahagia.

Ia bingung harus berpihak kepada siapa. Apa harus menyusul Ratih dengan kerapuhan hatinya saat ini? Atau harus menjaga wanita lemah yang menjadi tanggung jawabnya saat ini. Apalagi Ratna hamil.

"Apa ini sungguhan?" gumam Raka sambil menghela nafasnya. Ia menatap hiasan bambu yang tergantung diatas tiang rumah yg tak jauh dari tempatnya duduk. Sang angin membuat bambu-bambu itu beradu, bunyinya menenangkan hati.

"Aku akan memiliki anak." terukir senyuman di bibir Raka. Sebuah impian yang lama terpendam akan menjadi kenyataan.

Raka beranjak masuk ke dalam rumah. Ia melangkahkan kakinya ke sebuah kamar. Bukan kamar Ratih, tapi kamar Ratna--wanita yang ia tahu sedang mengandung calon bayinya.

Tok tok.

"Siapa?" tanya wanita yang dibalik pintu itu.

"Aku." jawab Raka lembut.

Ceklek. Pintu segera terbuka. Ratna menatap Raka bingung, namun Raka malah menunjukkan wajah berseri-serinya.

"Belum tidur?" tanya Raka lembut sembari mengusap rambut Ratna. Ratna masih bingung.

"Aku sedang susah tidur mas."

Raka menarik Ratna ke dalam pelukannya. Pelukan hangat yang tidak pernah lagi Ratna rasakan sejak Rizal pergi.

"Apa bayi kita yang membuatmu susah tidur?" Raka menangkup kedua pipi Ratna. Ratna menggeleng pelan.

"Bukan mas. Aku hanya kepikiran kak Ratih." jawabnya datar.

Raka melepaskan pelukannya. Ia menundukkan kepalanya lalu membuang nafasnya berat.

"Jangan banyak pikiran, kau sedang hamil. Teruslah tersenyum. Jangan lupa bahagia."  Raka mengusap-usap pipi Ratna dengan jempolnya. Ia menatap wanita itu lekat, lalu mengecup keningnya.

"Tidurlah, selamat malam." ucap Raka lalu segera pergi meninggalkan Ratna yang masih mematung.

"Mas Raka mencintaiku?" gumam Ratna sambil tersenyum tipis.

💍💍💍

Ratih menyatukan kedua telapak tangannya. Menggosokkan kedua telapak itu agar menimbulkan kehangatan. Terasa begitu dingin. Entah suasana malam ini memang dingin, atau memang suhu AC yang terlalu rendah. Atau... Hatinya yang sedang direngkuh kedinginan.

Ia menyesap teh hangat yang sengaja ia pesan beberapa menit yang lalu. Bukan cangkir yang pertama, ia sudah memesan 4 cangkir teh hangat sejak 2 jam terakhir.

Pikiran Ratih berputar pada kejadian tadi sore. Wanita sialan itu sudah merenggut hampir seluruh kebahagiaan dalam rumah tangganya. Wanita itu menyuguhkan hal yang belum juga bisa ia wujudkan hingga saat ini, keturunan.

"Aku harus apa?" lirihnya dalam lamunan pilunya.

Ehm.

Sebuah suara lelaki membuyarkan lamunannya. Lelaki itu melempar senyumnya. Orang asing yang belum pernah ia lihat.

"Sendirian aja mbak?" tanyanya yang dengan sigap telah duduk di hadapan Ratih. Entah sejak kapan lelaki itu sudah memperhatikan Ratih.

"Iya." jawab Ratih singkat.

Lelaki itu mengangguk pelan lalu tersenyum lagi.

"Saya duduk disini ya, soalnya semua tempat sudah penuh." ucapnya sungkan.

"Penuh?" Ratih mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Ternyata benar, hanya kursi di depannya yang masih kosong.

"Nama mbak siapa?" lelaki itu bertanya sambil menatap mata Ratih. Ratih membuang pandangannya, memutuskan pandangan itu.

"Ratih." jawab Ratih singkat yang dibalas senyuman dari lelaki itu. Sering sekali dia tersenyum, batin Ratih.

Tidak ada percakapan selanjutnya. Lelaki itu sekarang sibuk dengan ponselnya. Entah sedang bermain game atau berkomunikasi, Ratih tidak tahu.

Ratih kembali hanyut dengan lamunannya. Membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tiba-tiba lamunannya dibuyarkan oleh suara ponselnya.

"Ibu?" Ratih menatap ponselnya.

"Sedang dimana kamu?" suara diujung telepon terdengar sedang kuatir.

"Di cafe, bu."

"Pulanglah nak. Ibu ingin bicara."

"Tapi-"

"Tidak baik begini terus. Bukannya kamu sudah berjanji untuk tetap bertahan?" wanita itu mengingatkan. Ratih tidak menjawab.

"Ibu tunggu."

Tut tut. Fatimah menutup sambungan teleponnya. Mau tidak mau Ratih harus pulang.

Pulang dan mengikuti segala sesuatu yang pahit, dan itu pasti akan terjadi.

💍💍💍

Baca juga:

Dua Cincin (SEBAGIAN PART DIUNPUBLISH) Baca Ceritaku Yang On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang