Satu, Pekikan

1.5K 63 9
                                    

Dimana kisah ini harus ku mulai? Jujur aku bingung bagaimana harus menuliskan ini semua. Mungkin beberapa di antara kalian akan berpikir bahwa ah terlalu dilebih-lebihkan saja.

Hm, Well. Jika kalian berpikiran seperti itu, aku akan maklumi. Karena, memang akan terlihat berlebihan sepertinya. Menceritakan kisah orang lain yang mungkin saja sedikit terdengar aneh.

Bodo amat!

Sembari menulis dengan tangan gemetar, ku mulai saja kisah ini dari suatu malam di tengah-tengah derasnya ratapan langit dengan air matanya. Menghantam setiap lapisan-lapisan isian daratan Jawa penuh luka. Menjadikan segenap tanah berubah basah dan tergenang, dalam kenangan tiap-tiap insan yang menapak dengan angan-angannya. Dinaungi kilatan demi kilatan sorotan sang Petempur Langit yang menggemuruh tanpa tahu titik henti.

Sebutlah ia Adam. Lelaki tegap dengan postur agak tinggi, yang selalu ramah dan senang melempar senyum pada tiap-tiap manusia yang dijumpainya. Contoh sempurna dari sosok idola bagi setiap mereka yang mendambakan perhatiannya. Atau sosok sempurna kedengkian para pria yang iri akan popularitasnya.

Meski demikian, ia tidak terlalu memperdulikan itu. Ia cenderung cuek dan jalan berdasarkan arah yang ia yakini benar. Tidak terlalu mengambil perhatian lebih, pun bersikukuh penuh urat dengan cecunguk-cecunguk sok tau diri yang sering mengganggu.

Hari itu wajahnya memancarkan sinar. Seperti biasa yang selalu ia tampakkan. Berjalan penuh arti dengan langkah mantap menuju ruang peruntungannya dalam menyambung hidup.

Seraya menenteng tas selempang berisikan laptop dan beberapa dokumen penting, ia memasuki ruangan serba putih yang berisikan para pejuang-pejuang kehidupan berjubah putih yang sedang memasang wajah suntuk.

Adam tentu memahami hal itu. Ia lantas menebar lambaian persahabatan seraya melempar senyuman manis kepada setiap rekan yang dijumpainya. Wajah-wajah tak bersahabat itupun menjadi mekar berseri tatkala menyadari kedatangan Adam. Beberapa diantaranya bahkan bergerombol saling berlomba melempar ucapan-ucapan manis sebagai jawaban dari sapaan Adam. Byuh¸sudah benar-benar seperti idola saja dirinya sekarang.

Jika mengingat waktu kuliah dulu, ia tak pernah seperti itu. Seorang mahasiswa biasa yang tidak masuk dalam deretan-deretan mahasiswa penting di kampusnya. Hanyalah seonggok nama yang tersisih di juntaian terakhir dari puluhan deretan nama-nama absen. Tidak terlirik, bahkan tidak dikenal sama sekali.

Entah apa yang membuatnya berubah drastis menjadi seperti sekarang ini. Bagai roda berputar. Kini aku bisa melihat dirinya di puncak roda itu sekarang.

"Ners Adam!" itu Rahmat. Salah satu rekan kerja Adam yang berambut gondrong dan berbadan tambun. Meremas bahu Adam kesal dan dibalas sedikit bogeman mentah yang mendarat di lengan atas si Rahmat.

Tentu saja Rahmat meringis, namun beberapa detik kemudian mereka berdua tertawa bersama.

"Sudah sampai mana penelitianmu?" tanya Intan. Dia adalah dokter jaga di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), ruangan tempat Adam bekerja di rumah sakit itu. Melihat sapaan dokter Intan tiba-tiba, membuat Adam mendelik terkejut.

"Ah stuck hehe." Jawabnya kikuk seraya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Intan hanya mengangguk kecewa tanpa membalas Adam sedikitpun.

Adam yang masih mematung, lantas dirangkul Rahmat dan dibawanya menuju ruang Kepala Ruang IGD. Ya benar sekali, Rahmat adalah seorang ners yang menjabat sebagai kepala ruang disana.

"Coba deh buka, ada kesulitan apa sih sebenernya? Kali aja bisa bantu." Ujarnya pada Adam. Adam mengantuk-antukkan kepalanya. Ia kemudian membuka jaket kulit tebal hitamnya dan menggantungnya pada gantungan baju tak jauh dari tempatnya sekarang. Membiarkan tubuh atletisnya membentuk cetakan pada kemeja kotak-kotak halus yang ia pakai hingga memperlihatkan tubuhnya yang jantan.

Psychosis: The Terror Of The Screaming LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang