Dua, Kegelapan

1.2K 45 5
                                    

Sejak kejadian kemarin malam, rumah sakit mendadak berubah menjadi panggung gibah. Banyak sekali bisik-bisik terdengar membicarakan tentang Mala atau kasus bunuh diri, atau bahkan kedua-duanya. Tidak sedikit dari mereka melempar tatapan curiga dan penuh selidik pada Mala yang tentu saja dapat mengganggu psikisnya.

Semua itu membuat hati Adam mengkerut. Ia kesal karena penghuni rumah sakit terlalu melebih-lebihkan persoalan itu. Bahkan tepat setengah jam sebelum kakinya melangkah keluar untuk berangkat dinas dari rumah pagi itu, sebuah pesan masuk memberitahukannya akan undangan rapat cito atau darurat dari jajaran pimpinan. Kedua alisnya tertaut seraya nafasnya ia hembuskan kasar. Seakan mengerti maksud undangan tersebut.

Dengan berat hati ia berjalan menembus lorong demi lorong hingga kakinya membawanya tepat menuju gedung rapat. Sudah banyak orang-orang berdasi dan berjas yang berlalu lalang memasuki ruangan dengan obrolan-obrolan yang dibuat serius. Melihat mereka Adam hanya membuang muka jengah. Dirinya sudah mampu menebak alur rapat yang akan diikutinya sebentar lagi. Sebuah agenda membosankan sekaligus mengesalkan karena dirinya harus terlibat dalam pertempuran lisan yang kolot.

Setidaknya itu adalah pengalaman-pengalamannya ketika mengikuti rapat, jauh sebelum hari ini.

Adam kala itu sudah duduk anteng di tempat yang disediakan, lengkap dengan papan nama diatas meja bertuliskan title gelar dan jabatannya. Di hadapannya ada segelas kopi dan makanan ringan jajanan jawa yang siap menemaninya dalam bosan. Meski begitu, dia sebenarnya cukup merasa lapar. Sejak kemarin malam bahkan ia tidak kemasukan makanan apapun karena kondisi moodnya yang kurang bagus. Dan memang karena tidak ada makanan di rumah.

"Bisa kita mulai?" seorang dokter yang duduk di depan-menghadap hadirin-, sejajar dengan para pimpinan berseru memecah keramaian, hingga sunyi sontak hadir menebar auranya memenuhi ruangan tersebut. Seketika tatapan kini terfokus pada dokter itu, begitu juga dengan Adam. Dengan karismanya, dokter itu melanjutkan.

"Ada beberapa agenda penting yang harus segera kita bahas. Mengingat level urgensitas yang dirasa tinggi oleh beberapa diantara kami." Sambungnya. Para hadirin hanya memandang tanpa memberikan kedipan reaksi sedikitpun.

"Seperti yang telah diketahui oleh sebagian besar dari kita disini, bahwa kejadian malam itu sudah menjadi sesuatu yang luar biasa dampaknya bagi rumah sakit kita. Banyak selentingan-selentingan negatif yang datang dari dalam apalagi luar yang membahayakan kredibilitas rumah sakit ini."

Adam mendengarkan dengan tatapan lurus yang dan tidak bergerak sedikitpun.

"Oleh karena itu kita perlu tindakan segera untuk menangani kasus tersebut."

"Dan seperti yang telah kami internal manajemen bahas, fakta bahwa Mala lah satu-satunya orang yang menemukan keberadaan Alex dengan keadaan tergantung untuk pertama kalinya, setelah sekian jam para petugas mendapatkan nihil dari usaha pencariannya, menimbulkan kecurigaan pada kami."

Jantung Adam mulai berdegup kencang, memperhatikan dengan seksama kata demi kata yang akan didengarnya untuk tiap menit kedepan. Ia seperti mengerti ke arah mana konten rapat akan dibawa. Intinya, sesuatu yang benar-benar Adam antisipasi.

"Mala seperti memiliki koneksi tertentu atau motif tersembunyi yang sulit kami jelaskan." Sambung dokter itu menyelesaikan pemikirannya. Tatapannya memperlihatkan keseriusan dari kerutan wajah tuanya yang tampak lelah.

Adam yang merasa bahwa sesuatu mulai terdengar tidak masuk akal, mencoba mengacungkan tangan dan berpendapat memotong pimpinan tersebut. "Lalu apakah selanjutnya bapak akan mengatakan kalau Mala mungkin saja yang menyebabkan matinya pasien tersebut?" tanyanya mengintimidasi. Pertanyaannya itu jelas mengantarkan puluhan pandangan seketika meluncur pada dirinya. Tidak terkecuali para jajaran pimpinan yang kini memandanginya heran.

Psychosis: The Terror Of The Screaming LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang