Suporter Karbitan

157 7 3
                                    

"Hah...hah...! Akhirnya sampai juga!" Ambon ngos-ngosan. Dia sudah sampai di depan gelanggang olah raga alias GOR Kota Belimbing. Anehnya tidak ada suara teriakan pendukung yang terdengar. "Apa gue telat ya? Jangan-jangan udah abis nih pertandingannya," kata Ambon.

Dengan galon kosong di tangan kanan dan dompet kosong di kantong celananya Ambon masuk. Ada lorong pendek yang harus dilalui sebelum ke lapangan. Di tengah lorong itu ada sebuah warung. Dia melihat tiga orang siswa sedang membeli masing-masing dua botol air mineral besar dan meminumnya sampai habis. Mereka adalah Dimas, Andi, dan Riko.

"Haus bro?" tanya Ambon.

"Eh, si Ambon telat juga! Sama dong!" seru Andi. Andi dan Ambon pun tos. Malah bangga mereka telat.

"Bukan, ini buat dipukul-pukul biar rame. Kita nggak punya yang balon kaya di tipi-tipi soalnya. Tadinya mau galon juga kaya elu, tapi kayanya ga kuat ngabisinnya," jelas Riko.

"Sob, jangan malah ngobrol di sini! Pertandingan udah mau mulai nih! Ayo lah kita ayo! Udah lama nggak ayo," ajak Dimas.

"YOO!" seru keempat siswa itu sambil mengangkat tangan.

Mereka berjalan dengan gagah ke arah cahaya di ujung lorong. Duile, gayanya udah kaya Hanamicin Sakuragi dkk yang mau tanding aja. Padahal aslinya cuma tim hore. Hihihi.

Jadi ceritanya dua hari lalu Imam dari Klub Bulu Tangkis minta bantuan ngumpulin penonton ke Dimas dkk. Walaupun ketuanya dipanggil Imam tapi Klub Bulu Tangkis hanyalah klub biasa, bukan aliran agama baru yang bikin heboh dunia. Imam ini anaknya juga cukup pemalu dan soleh.  Tiap sholat dia bahkan selalu jadi Imam. Nggak pernah sekalipun jadi Nanang, Warto, Edi, apalagi Santi.

Karena dia yang mewakili klubnya akan melawan SMA Nomor Satu yang isinya anak-anak nomor satu di Kota Belimbing, Imam takut kalah sebelum bertanding alias jatuh mental. Dia juga ingin merasakan pertandingan dengan dukungan yang ramai setidaknya sekali semasa SMA. Imam merasa perlu meminta tolong karena ketidakpopuleran klub mereka selama ini membuatnya tidak pernah merasakan dukungan dari penonton tiap bertanding.

Kembali ke GOR, bukan ke Bogor. Dimas, Riko, Andi, dan Ambon mengambil posisi di tribun bersama puluhan siswa lain. Masing-masing membawa alat bantu yang bervariasi, ada yang membawa galon, botol, penggorengan, terompet tahun baru, bahkan ada yang badannya kelilit kabel karena bawa toa bel sekolah. Para anggota tim bulu tangkis berdiri menghadap mereka dan menangis.

"Udah jangan terharu gitu! Kami mendukung kalian!" teriak Ambon dari tribun.

"KITA BUKAN TERHARU! MALU!" teriak Imam dan teman-temannya yang ikut sebagai official. Di seberang, pendukung SMA Nomor Satu tertawa kecil melihat kelakuan suporter tim mereka. Suporter SMA Nomor Satu kompak memakai seragam kaos bertuliskan angka 1 dan membentangkan spanduk besar bertuliskan nama sekolah mereka.

"Ahaha...bener juga ya. Kita kaya korban bencana alam kalo dibandingin mereka," Ambon cuma bisa ketawa sambil garuk-garuk pala Dimas.

Yee, pala sendiri dong!

Dengan muka Imam yang merah, pertandingan pun dimulai. Pertandingan kali ini adalah tunggal putra yang diwakili Imam. Pemenang pertandingan ini akan mendapat piala Wali Kota. Kebetulan Pak Wali Kota juga nonton di sisi lapangan.

Dari jalannya pertandingan, terlihat Imam bisa mengimbangi pemain tunggal putra lawan. Skor mereka kejar-kejaran sampai bikin panitia sibuk. Tapi, ada satu hal yang kurang dari pertandingan itu. Teriakan suporter.

Pertandingan bulu tangkis itu berjalan seperti pertandingan catur. Hening. Hanya suara tepokan raket, decitan sepatu, dan jangkrik yang terdengar.

Dari paruh set pertama permainan Imam terlihat menurun. Beberapa kali dia melakukan kesalahan. Sebaliknya pemain SMA Nomor Satu terlihat makin fokus dan hebat. Sepertinya hening memang strategi sekolah mereka mendukung si pemain. Pemain itu mungkin tipe siswa pintar yang tidak bisa diganggu suara.

Keseharian Siswa SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang