"Segala sesuatu itu dimulai dari angka nol. Naaah ..., kita yang sudah ada di dunia ini mulanya juga berasal dari angka nol atau tidak ada sama sekali. Hanya dengan izin dari Allah Azza wa jalla kita dapat bangkit dari nol atau tidak ada menjadi ada dan seiring bertambahnya waktu maka bertambahlah usia kita menjadi angka 12, 13, 14 tahun, dan angka seterusnya. Jadi, jangan pernah takut jika umur kamu pernah atau sedang berada dalam keadaan terpuruk dan terbelakang. Sebab, dari sisi nol yang kamu punya, kamu bisa bangkit ke tangga angka berikutnya hingga suatu saat kamu akan berada di posisi tangga angka yang derajatnya lebih afdhal. Insya Allah.
Semua insan di muka bumi ini mendapatkan kesempatan dan perhatian yang sama dari Allah SWT, tergantung bagaimana ia berikhtiar, berusaha, dan beribadah di jalan Allah. Shirathal mustaqim. Tapi ingat! Jika kamu sudah beranjak dari tangga angka nol ke tangga angka yang lebih tinggi maka jangan pernah sekalipun melupakan tangga angka nol. Sebab tanpa menginjaknya, kamu tak akan pernah sampai di tangga afdhal saat ini kamu berdiri dan tak ada seorang manusia pun yang dapat merasakan tangga yang tertinggi di jagat raya ini. Karena makin ia mengejar tangga harapan lain yang ada di pelupuk matanya serta yang menggiurkan hasrat dan hati nuraninya. Kita sebagai seorang muslim selalu memakai senjata ampuh pada saat seperti itu. Apa itu?"
"Syukuuur," sahut kami serentak dengan penuh semangat.
"Pesan Ustadzah, jangan terlalu keras dan memaksakan diri untuk berlari dari tangga itu karena kamu bisa lelah dan tak sanggup berlari lagi. Jangan pula terlalu tergesa-gesa hingga kurang berhati-hati karena jika sudah tersandung dan jatuh maka kamu akan mengulang dari tabgga awal lagi. Hanya mengikuti jalan tangga tersebut sesuai aturan dab rutenya, diiringi kesungguhan, keimanan dan takwa kepada Sang Pencipta. Insya Allah, kamu akan berhasil sampai tujuan."
Kami terdiam mendengarkan Ustadzah handayani memberikan nasihat dan motivasinya kepada kami.
"Ayo ... siapa yang bisa memberikan contoh dari nol menjadi afdhal?" tanya ustadzah yang kami sambut dengan antusias.
"Dari miskin menjadi kaya," teriak Marwa.
"Dari bodoh menjadi pintar," jawabku tak mau kalah.
"Dari penjahat menjadi penolong," sahut Azkia.
"Dari terbelakang menjadi terdepan."
"Dari pesuruh menjadi pemimpin," seluruh santriwati dalam ruangab itu menyuarakan pendapatnya masing-masing. Tatapanku sejenak memperhatikan wali kelas, di saat aku memulai bangku aliyah ini. Dengan pakaian sederhana itu, ia tak pernah terlihat lelah mendayung sepeda bututnya demi mengejar waktu untuk mengajar kami. Ia hampir tidak pernah terlambat.
Bahkan, ia juga adalah salah seorang staf pengajar di pesantren yang paling sering daur di saat jam belajar malam santriwati. Tak pernah bosan ia menjawab pertanyaan-pertanyaan santriwati seputar pelajaran yang dikuasainya.
Selain pelajaran kepesantrenan, seperti muthala'ah, insya, nahwu, sharaf, dan lainnya, ustadzah Handayani juga mahir dalam bidang matematika. Kalau bukan demi mengabdi kepada pondok pesantren ini, mungkin kini ia sudah mendapat gelar sarjana pendidikan matematika. 'Keikhlasan yang sungguh luar biasa' pikirku.
Seluruh Ustadzah yang mengabdi di pesantren dulunya adalah alumnus dalam kategori terbaik di periodenya masing-masing. Hanya yang mendapat nilai mumtaz (nilai istimewa / kategori nilai tertinggi) yang dapat mengajukan dirinya untuk mengabdi di pesantren.
Setiap ustadz atau ustadzah yang dapat kesempatan mengabdikan dirinya di pesantren yang sangat kami cintai ini tidak diperbolehkan kuliah di tahun pertama masa pengabdian demi memusatkan amanah menjalankan tugas sebagai pendidik dan penggerak kemajuan pondok pesantren.
Baru pada tahun kedua sudah dapat melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah dengan syarat tidak mengganggu jadwal kelas mengajar di pagi hari. Oleh karena itu, ustadzah Handayani masih duduk di semester enam bangku kuliahnya. Program studi yang diambilnya adalah bidang studi matematika.
Hal tersebut membuat kami sedikit banyak tahu tentang seluk-beluk matematika beserta sejarahnya. Matematikawan yang sering diceritakan kepada kami adalah sosok tokoh yang bernama lengkap Abu Ja'far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi, seorang intelektual muslim yang banyak menyumbangkan karyanya di bidang geografi, musik, sejarah, dan tentunya matematika, istilah algoritma pun diambil dari namanya.
Kepandaian dan kecerdasannya mengantarkannya masuk ke lingkungan Dar al-Hukama atau Rumah Kebikjasanaan, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang didirikan oleh Ma'mun Ar-Rasyid, seorang khalifah Abbasiyah yang terkenal. Hisab al-jabr wa al-Muqabla (pengetahuan kembali dan pembandingan) dan Al-Jama' wa at-Tafriq bi Hisab al-Hind (menambah dan mengurangi dalam matematika hindu) adalah dua di antara karya-karya al-Khawarizmi dalam bidang matematika yang sangat penting.
Kedua karya tersebut banyak menguraikan tentang persamaan linier dan kuadrat; tanda negatif yang sebelumnya belum dikenal oleh bangsa Arab. Dalam Al-Jama' wa at-Tafriq, al-Khawarizmi menjelaskan tentang seluk-beluk kegunaan angka-angka, termasuk angka nol dalam kegunaan sehari-hari. Karya tersebut juga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Al-Khawarizmi juga diyakini sebagai penemu angka nol. Angka fenomenal yang oleh wali kelas kami selalu dijadikan sebagai angka motivasi untuk mwnjadi yang lebih baik.
keyakinan akan moto, 'Dari nol menjadi afdhal' membuat bulu kudukku berdiri, alangkah dahsyatnya moto tersebut jikat dapat dipedomani.
"Kalian bisa!" tegas Ustadzah Handayani kepada kami, murid-muridnya.
Aku pun percaya itu. Suatu saat aku pasti bisa berdiri menyalami Bapak Direktur sebagai penerima beasiswa. Pada saat itu, ayah dan mamak akan bangga padaku. Itu adalah tangga harapanku saat ini.
❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA CINTA PESANTREN
RomanceMarShila Silalahi yang terlahir sebagai anak yang cerdas, bahkan mendekati kata genius. Namun, ia memiliki sedikit kenakalan yang menurutnya hanya berbeda sangat tipis dengan kreativitas. meski hidup di pesantren tidak mudah, kegigihan dan kecerdasa...