Enam, Sesi Pertama

537 36 8
                                    

Langit begitu bersahabat kali ini. Tampak jelas betapa cerahnya sinar matahari menebar senyumnya, menyiram setiap kehidupan di bumi dengan segala hal baik yang ia bawa.

Namun, semua itu berbanding terbalik dengan Adam. Pria itu terlihat berjalan gontai, wajahnya tampak menekuk menandakan kondisi moodnya yang tidak baik. Matanya menatap kosong jalanan di depan, sedang kakinya melangkah begitu malas. Apa yang didapatkan dari rapat beberapa menit yang lalu membuat dirinya pesimis.

Segalanya tidak berjalan sesuai harapan.

Dengan sangat jelas, Adam masih ingat ketika mayoritas hadirin memberikan vote untuk mengkarantina Mala bersama pihak berwenang. Kejadian semalam terlalu aneh dan mencurigakan untuk sekedar memberikan label 'maklum' pada Mala meski statusnya hanyalah seorang pasien rumah sakit jiwa. Alasan 'Halusinasi' tidak cukup kuat untuk memberikan jawaban atas puluhan pertanyaan tak terjawab dari sekian banyak hadirin saat itu. Bahkan dirinya sekalipun.

Mala perlu untuk diikutkan dalam beberapa tes dan uji coba demi mendukung asumsi dasar pihak berwenang, atau mungkin hanya sekadar ingin melogiskan sesuatu yang dianggap kurang normal.

Apapun alasannya, Adam tak memiliki hak bersuara. Dia hanya sekadar mengutarakan pendapat dan keberatannya tanpa pernah didengar sedikitpun. Bahkan ketika dokter Fajri membelanya atas dasar keilmuan yang ia miliki, tidak ada satupun yang mempertimbangkan hal itu. Semua berjalan begitu cepat tanpa bisa diperlambat. Yang bisa Adam lakukan, hanyalah pasrah.

Sejak itu pula Adam tak mampu menyembunyikan kekecewaannya. Dengan laptop yang ia bawa seperti buku di depan dadanya, Adam meneruskan langkahnya. Saat jarak kian menipis, mendekatkan dirinya dengan ruangan yang ia tuju, seutas senyum simpul perlahan tertoreh. Begitu berbeda dengan dirinya sekian detik yang lalu.

Apa yang dilakukannya ketika itu merupakan suatu hal yang sejatinya tidak begitu Adam sukai

Menyembunyikan perasaannya sendiri.

Matanya kemudian menatap mantap pada papan nama ruangan yang bertuliskan "Ruang Melati" yang menggantung tepat di atas pintu, kemudian memasukinya.

"iya?" Suara lembut khas wanita muda menyambut Adam begitu dirinya berhasil mendarat tepat di dasar ruangan.

Seraya tersenyum manis, Adam menyapa wanita itu, "Sudah siap Mala?"

*

New Notification: New E-mail Received

Seorang wanita berambut ikal dengan garis rahang bulat dan kedua mata nyaris sipit tampak serius memperhatikan layar komputer di depannya. Jari-jemarinya begitu sibuk menari lincah di atas papan ketik. Lidahnya bersilat, menubruk kedua bibir merah mudanya, berusaha mengais sisa coklat dari coklat batang yang baru saja ia makan.

Sesekali kepalanya menengadah, menoleh ke kanan ke kiri, depan dan belakang dengan tatapan menyelidik. Dari gerak-geriknya, siapapun pasti paham bahwa wanita tersebut tengah was was akan sesuatu. Kanan kirinya dibatas sekat-sekat, memisahkan ruang kerjanya dengan ruang kerja orang lain. Siapapun dengan mudah dapat mengintip pekerjaan orang di sampingnya hanya dengan sedikit berjinjit. Hal itu yang membuat Vera sedikit gelisah.

Berusaha mengembalikan konsentrasinya pada layar komputer, Vera lantas membaca kalimat-kalimat yang tersaji disana dengan cekatan.

Semoga kau menemukan apa yang kau cari Vera, berhati-hatilah. Baik diriku dan kau, sama-sama mempertaruhkan karir kita demi melakukan ini. Semoga kau bijak menentukan langkahmu selanjutnya

From: B

Bibir tipis Vera seketika tertarik miring. Kedua matanya sedikit melebar. Merasa lucu dengan apa yang baru saja ia baca.

Psychosis: The Terror Of The Screaming LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang