10

98.9K 12K 953
                                    

REFRESH DULU KRN INI REPUBLISH DGN PENAMBAHAN PART... THX U SDH MEMBACA... :)

Alby dan Kania berjalan beriringan memasuki sebuah hotel yang terletak pada wilayah Ancol, Kania tidak berniat bertanya hanya mengikuti saja ke mana Alby menuntunnya. Membiarkan Alby menghampiri petugas receptionis, mengambil kunci, berjalan menuju lift, keluar dari lift saat benda itu sudah berada di lantai 8, menyusuri lorong hotel dan berhenti di depan pintu cokelat tua lalu membuka pintu dengan gerakan sangat cepat.

Semua dilakukan Alby dalam keadaan diam, seakan tahu Kania akan mengikutinya tanpa bantahan.

"Malam ini kita menginap di sini, besok pagi kita akan menyebrang ke Pulau Pantara." Alby baru mengeluarkan suaranya setelah keduanya berhasil masuk ke dalam kamar hotel.

Kania tercengang untuk dua hal; pertama, Alby merencakan liburan ke pulau tanpa mengatakan sesuatu dengannya. Kedua, Alby hanya menyewa satu kamar dengan satu tempat tidur king size.

Alby berjalan semakin masuk ke kamar hotel, memilih segera duduk pada salah satu sofa terletak di sudut jendela kamar. Kania memberanikan diri untuk mendekat ke arah Alby. Tadinya Kania bermaksud untuk mengajukan protes, tapi saat matanya melihat ada luka lebam yang menghiasi buku-buku kedua tangan Alby semua protes menguap begitu saja. Sejak Alby masuk ke dalam apartemen untuk pertama kalinya, Kania sudah merasa terganggu dengan luka-luka itu. Tapi dia tidak berhasil mendapatkan kesempatan untuk bertanya, mungkin ini kesempatan untuk dia bertanya.

Kania duduk di sebelah Alby, menyentuh buku-buku tangan Alby secara hati-hati.

"Bagaimana kamu bisa mendapatkan luka ini? Seingatku tadi pagi belum ada." Ibu jari Kania bergerak ke kanan dan ke kiri, bola matanya memandang tangan dan wajah Alby secara bergantian.

"Aku memukul besi pegangan tangga," jawab Alby datar. Dia masih menyibukkan diri dengan pemandangan di luar jendela, membiarkan jari-jari tangan Kania terus bergerak secara konstan di atas luka-lukanya.

"Kenapa?"

Alby memandang Kania, menggedikkan kedua bahunya. "Mungkin karena aku terlalu marah."

"Marah?"

"Iya, aku marah karena mengetahui sesuatu yang menyebalkan." Kania memiringkan kepalanya, "Sesuatu yang membuatku terlihat sangat brengsek." Keduanya terdiam cukup lama, saling menatap dan mencoba saling menebak apa yang ada dalam pikiran masing-masing.

"Apa tentangku?"

"Hmmm..." Alby menggumam pelan sebagai jawaban.

Tanpa didiuga oleh Alby, Kania membawa kedua tangan Alby menuju ke depan bibirnya. Kania memajukan bibirnya sedikit, lalu meniup lebam yang mengiasi buku tangan Alby. Selama lima menit Alby membiarkan Kania melakukan sesuatu yang mungkin dianggap Kania bisa menyembuhkan luka-luka pada tangannya, Alby hanya memperhatikan lekat-lekat setiap gerakan yang dilakukan oleh Kania tanpa bisa merasakan apa pun.

"Kata Bi Nem, cara ini ampuh buat ngusir sakit." Kania memecahkan keheningan di antara keduanya. "Bi Nem selalu meniup seperti ini kalau aku terluka, waktu kecil aku tuh sembrono banget. Lari sana, lari sini, suka manjat, lompat-lompat. Kayak anak laki-laki banget deh, jadi aku sering jatuh. Setiap kali aku jatuh, Bi Nem akan lari terbirit-birit. Kayak maling dikejar warga, sambil bilang. 'Ya ampun, Non Nia. Kalau luka terus terus kakinya jadi jelek, nanti Mama marah.' Dan seperti yang Bi Nem katakan. Setiap kali aku luka, Mama tidak pernah mencoba untuk mengusir rasa sakitnya, tapi Mama akan bicara panjang lembar tentang bagaimana cara menjaga diri, seberapa penting kulit mulus untuk wanita. Dan berakhir dengan membandingkan aku dengan Kak Kian yang pintar menjaga diri, lemah gemulai..." Kania kembali memandang Alby, senyum samar berusaha diperlihatkan oleh Kania untuk Alby. Kedua tangannya masih memegang tangan Alby, "Apa Mama-mu sering marah?"

perfect illusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang