Prolog

121 6 0
                                    

Makassar, 2 Februari 2018

Aku berdiri mematung mengamati sosok yang berjarak 5 meter itu dariku. Ia duduk di salah satu kursi tamu, meski duduk membelakangiku, aku masih bisa mengenalinya dengan baik. Dia, seseorang yang tak pernah ku temui lagi selama 3 tahun belakangan ini. Seorang pemuda berdarah Asia Timur yang pernah berusaha mengetuk pintu hatiku dengan segala keunikannya. Seketika ingatanku kembali memutar kisah yang selalu ingin aku lupakan, juga perasaan yang pernah aku rasakan padanya. Tetapi kemudian, seseorang mengejutkanku.

"Dia sudah lama menunggumu." Kata Dina, rekan kerjaku di Perpustakaan Daerah kota Makassar.

Aku hanya mengangguk ketika ia memberiku isyarat untuk menemui orang tersebut. Kakiku terasa begitu berat untuk melangkah, namun aku juga tak mungkin menghindarinya. Aku harus menemuinya, mungkin, setidaknya berkata selamat tinggal, aku tak ingin mengulang hari itu, satu hari yang ku sesali selama 3 tahun belakangan ini.

"Permisi?" Aku berbicara ragu-ragu dan berusaha menyembunyikan sikap terkejutku dengan kehadirannya.

Ia mengangkat kepalanya dan melihat kearahku. Wajah itu, aku bebohong jika aku berkata tidak merindukannya. Aku menunduk mendapati hatiku yang kembali berdegup tak karuan setelah sekian lama. Aku tidak pernah berani menatap matanya, hari ini, juga berlaku di hari-hari tiga tahun lalu. Ia menatapku beberapa detik, aku bisa merasakannya.

"Hai, apa kabar, bukan kah itu kalimat yang cocok untuk diucapkan? Kau tidak berubah, selalu bersikap dingin." Ia tersenyum meski sedikit kecewa.

Lupakan tentang ekspresinya, ada yang berbeda. Yah, dia menjawabku dalam bahasa Indonesia. Aku menoleh kearahnya lalu kembali menunduk saat mendapati dia yang masih menatapku. Aku terkejut hingga tak sempat merespon perkataannya sampai akhirnya ia kembali membuka suara.

"Aku senang bertemu lagi denganmu, Rania-shhi. Kau tak perlu terkejut, aku belajar Bahasa Indonesia 6 bulan lalu." Ia kembali berbicara dalam bahasa Korea.

Lagi-lagi aku tidak merespon meski aku mendengar perkataannya dengan jelas. Ia menyebut namaku, sungguh, nyaris saja aku menatapnya dan berkata 'andai kau tahu aku merindukanmu'.

"Ada yang ingin aku katakan, kau mau mendengarku?" Kata nya kemudian.

"T-t-t-entu saja." Aku menjawab, lagi-lagi dengan nada ragu.

"Tapi, kau tidak berniat berdiri di situ kan sampai aku selesai berbicara? Saat berbicara kau tidak pernah menatapku, rasanya sedikit keterlaluan jika kau juga mendengarnya sambil berdiri." Katanya dalam nada getir tapi terdengar seperti lelucon yang mengisyaratkan padaku untuk segera duduk.

Aku mengambil kursi yang berada di depannya. Lalu dia mulai berbicara, ini bukan kali pertama dia berbicara di hadapankuku, tapi tetap saja aku selalu merasa tidak nyaman.

"Kau pernah berkata kan, kita tetap tak akan bisa bersama walau kau menyukaiku? Katamu kita terlalu berbeda dan tak akan pernah bisa bersatu. Bagaimana jika aku berhasil meruntuhkan perbedaan itu? Apa kau akan menyukaiku? Apa kau mau bersamaku?" Katanya tanpa basa-basi.

Meski aku belum mengerti jelas yang diucapkannya, tapi sungguh aku terkejut, sangat terkejut bahkan melebihi ketika kali pertama aku melihatnya lagi. Bukankah ini sebuah pengakuan? Ini bukan kali pertama dia mengatakannya, tapi rasanya ini berbeda dari sebelum-sebelumnya. Sebelum aku sempat menjawab, ia melanjutkan perkataannya.

"Sepertinya kau gemar membuatku berbicara banyak, Rania-sshi. Kau tahu? Aku selalu ingin mengerti dari sudut pandangmu terhadap sesuatu, bukan hanya mengenai perasaanmu padaku, tapi juga bagaimana kau memandang apa-apa yang ada disekitarmu. Lalu suatu hari setelah kau pergi diam-diam, aku mengerti satu hal, di Windy Hill, kau pernah berkata, 'jika kau ingin sesuatu, selain berusaha meraihnya kau juga perlu banyak berdo'a kepada Allah, kekuatan do'a itu hebat, katamu seperti mengayuh sepeda, suatu saat dia akan membawamu ketempat yang kau tuju.' Meski saat itu aku tidak tahu siapa yang kau maksud 'Allah' itu, namun aku terus melakukannya. Dan kau tahu kemudian? Banyak hal yang tak terduga terjadi padaku, luar biasa, kau membuatku percaya bahwa Allah itu benar-benar ada. Bertemu lagi denganmu, adalah salah satu doa yang selalu aku aamiinkan, Rania-sshi." Ceritanya panjang lebar kepadaku.

Ada ranah bahagia saat aku mendengar pernyataannya, tak kusangka ia benar-benar melakukannya. Sebelum aku sempat berkata ia kembali bersuara.

"Rania-shii, jika kukatakan aku sekarang adalah seorang Muslim, apa kau mau menyukaiku? Setidaknya belajar menyukaiku?" Katanya lagi yang membuatku bergeming.

Tanpa berkata aku menyodorkan sesuatu kepadanya. Ia menatapku, sedikit bingung. Kemudian dia kembali membuka suara.

"Kuharap aku..uuu tidak terlambatt..." Katanya lirih memandang pemberianku.

***

#masihbelajarnulis

Jangan lupa vomment yah kalau kalian suka 😊
Kritik dan saran dari pembaca sangat di perlukan.

Terima kasih.
Salam hangat.

Senja di Windy HillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang