"Siang tadi, salah satu teman dari teman dekatku, sekaligus teman bisnis baruku... dia seorang pemilik bank. Dia menawari sebuah kerja sama, padaku. Agar aku bisa membangun properti baru di La Push." Ucap Chase yang kemudian menyeruput wine merahnya perlahan.
"Aku sangat tertarik dengan semua konsep yang Derek miliki. Apalagi, Derek berencana mengenalkan putra pertamanya pada Lena. Lena akan mengenal seorang Maximilian Mayhem."
Chase mengempaskan bokongnya di samping Dawson. Sial. Maximilian Mayhem? Mayhem? Pikir Dawson. "Wah itu hebat," Dawson tertawa kagum, mengatakan suatu hal yang jelas bertolak belakang dari pemikirannya.
"Mayhem. Ya, orang-orang sering membicarakan mereka." Tambah Dawson. Berusaha menutupi kebenciannya terhadap keluarga Mayhem. Semua orang tahu mereka. Gen arogan dan ambisius yang lekat.
(...)
Chase menyesap sebuah cerutu. Asapnya ia tiupkan perlahan, kemudian berlalu bersama angin. Chase berdiri lagi, memasukkan satu tangannya ke dalam saku celananya.
"Max seorang penikmat seni. Derek berkata padaku, jika Lena dan Max bisa akrab, Derek akan membantu membuatkan sebuah studio baru dan jika memungkinkan, Max akan mengirim karya Lena ke setiap museum atau galeri dan studio."
Terdengar seperti rencana masa depan yang indah, pikir Dawson yang mulai curiga dengan arah pembicaraan Chase. Perjodohan? Yang benar saja! Dawson baru akan mengatakan padanya jika dirinya mengencani anak gadisnya.
"Lalu, Tuan sudah memutuskan?" tanya Dawson memancing Chase lebih jauh.
"Aku belum memutuskan, Dawson. Rasanya... aku sudah ingin resign dari setiap kesibukanku. Aku mulai sadar bahwa, seharusnya aku memiliki banyak anak. Aku benar-benar kewalahan." Tawa khas Chase terdengar, mencoba melucuti ketegangan dan kebingungan yang tengah berhasil menguasai Dawson. Melumpuhkan Dawson.
"Aku juga jadi terpikir untuk segera menikahkan putriku, Dawson." Kekeh Chase pelan.
Sial! Dewi fortuna kembali padaku! Batin Dawson sembari terkekeh sumbang. Hatinya mungkin teriris saat itu juga. Apa yang akan terjadi pada seorang pria berhati murni yang hanya mengandalkan cintanya. Apa yang dipikirkannya adalah, Lena mungkin akan sangat membencinya. Karena meninggalkan Lena adalah hal yang menurutnya sangat tepat untuk dilakukan saat ini.
Apa jadinya jika aku mundur untuk mengambil jarak agar aku bisa melompati jurang yang lebar? Batin Dawson.
.
.
.Dawson membukakan pintu mobil untuk Elena. Elena bergerak meraih wajah Dawson dengan manis. Senyum bahagia mengembang di bibir Elena. Binar kebahagiaan menyinari iris hijau matanya. Jemarinya menyusuri bibir Dawson dengan mesra. Ketika Lena hendak menciumnya, Dawson sontak memalingkan wajahnya. Dawson menangis, ia meneteskan airmatanya.
"Ku antar kau tidur." Ucap Dawson dingin seraya menyeka hidungnya. Elena belum sempat menanyakan bagaimana dan apa yang terjadi dalam perbincangan Dawson dengan ayahnya. Elena lama tertidur sejak awal perjalanan pulang mereka.
Senyum Lena perlahan pudar, sampai lenyap tak tersisa. Lena menggeleng heran, seolah bertanya-tanya melalui gesturnya. "Apa ada yang salah?" tanya Lena lirih.
(...)
"Ku pikir... kita hentikan saja." Gumam Dawson.
Elena merengut, "Aku tidak bisa mendengarmu. Kau bergumam, Leigh." Ucap Lena seraya mengerutkan alisnya.
(...)
Bahu Dawson naik turun, bibirnya bergetar. Ia menghela napas dan meniupkannya dengan berat, "Hentikan semuanya, Elena." Dawson mengulum bibirnya menahan tangis. Ketika Dawson mengucapkan kata hentikan itu, sesungguhnya ia hanya ingin berkata, kita cukupkan dulu, aku akan pergi sebentar, menggapai suksesku untuk masa depan kita.
Lena melepaskan tangannya dari kerah Dawson, "Kalimat itu... aku tidak pernah berharap kau mengatakannya. Tidak akan pernah."
(...)
"Aku ingin kau mengerti, Lena. Kita lupa siapa kita. Aku membawamu terlalu jauh, aku tidak tahu, di mana aku harus menapakkan kakiku sendiri. Maka, aku akan pergi untuk sementara."
"Apa maksudmu, Dawson Leigh?"
(...)
"Aku ingin kita berhenti sejenak." Sambung Dawson singkat.
Elena menangis, tak ada suara. Elena mengusap dadanya yang terasa sangat sesak. Bahkan memukulinya pelan karena itu terasa sangat menyiksanya. Tatapan kebencian dari Elena, membuat Dawson diselimuti rasa bersalahnya. Tapi aku tak mau seperti ini! Lena, aku akan kembali. Aku akan kembali dengan sebuah nama tengah, sukses.
Lena mengucurkan airmatanya. Lena mengepalkan tangannya, berusaha memukuli dada Dawson dengan penuh amarah di kepalan tangannya yang lemah. Menampari wajah Dawson, Dawson tak diam, Dawson berusaha membuat Lena berhenti dan ia berusaha mendekap tubuh Elena namun Dawson terlalu pengecut.
"Kita baru saja berjalan dari garis start, Dawson. Kita berjalan! Bukan berlari!"
Dawson mengetatkan rahangnya. Pada akhirnya ia menangis lirih, tak peduli apa pun. Ia hanya menangis dan Elena pun menangis. "Tapi kau meninggalkanku. Kau berlari, di sisi lain aku kepayahan mencari arah, berjalan tertatih-tatih mencari petunjuk!"
.
.
.Lena menidurkan kepalanya, berbaring membelakangi Dawson yang terduduk putus asa di belakangnya. Dawson menarik sebuah selimut, menutupi tubuh Elena. Elena terisak-isak, ia biarkan airmata membasahi bantal tidurnya. "Tidurlah... aku bisa tidur di kamarku." Lirih Dawson.
(...)
"Kalau aku tahu sejak awal, bahwa kau... akan mengakhiri ini, aku akan benar-benar mengusirmu sejak pertama kita bertemu." Isak Elena lirih.
(...)
"Ini sudah hampir pukul sebelas malam. Selamat malam." Dawson perlahan beranjak dari ranjang itu.
"Kau sama saja... kau membuatku berpikir untuk mengakhiri hidupku dengan cara apa saja. Sepertinya... kau hanya ingin... meniduriku, bukan?" Dawson membuang napasnya dengan berat.
Elena terisak dan menghapus airmatanya kasar. "Apa aku semurah itu, Dawson?"
"Elena!" geram Dawson, mulai gusar.
(...)
"Kau bahkan tak berbicara apa pun mengenai keputusanmu itu!" Elena menangis sejadi-jadinya. Ia bahkan berteriak frustasi. Elena menenggelamkan wajahnya di balik selimut. Deraian airmata membasahi seprai dan selimut.
Betapa kuat dorongan untuk merengkuh gadis itu. Dawson hanya mampu berdiri dengan tenggorokan yang terasa sakit dan relung hati yang kosong. Dawson meneteskan airmatanya, menangis dalam hening. Dawson menggertakkan giginya, merasa bodoh dan merasa sangat ingin menghabisi dirinya sendiri saat itu juga.
"Kau meremehkan perasaanku, Dawson. Kau meragukan keyakinanku padamu." Rintih Elena seraya masih menangis pedih.
(...)
"Aku tak ingin ada ruang kosong di antara kita! Aku ingin mendampingimu, berada di sampingmu di setiap momen kehidupanmu!"
Tangan Dawson terkepal dengan sebuah amarah, bahkan urat nadi di tangannya menonjol, menyampaikan sebuah emosi yang terpendam.
"Bicaralah padaku, tiga hari setelah ini. Aku ingin tahu kalau kau memang yakin akan keputusanmu. Maka dari itu, bertahan saja untuk tiga hari depan." Lirih Elena seraya sesegukan, berupaya keras menahan tangisnya.
(...)
"Selamat malam." Gumam Dawson.
Dawson melangkah pergi meninggalkan Elena di kamarnya seorang diri. Pintu sudah tertutup rapat. Elena memukuli dadanya yang meninggalkan sensasi kosong di pusat hatinya. Ia menangis lepas, menangis selantang mungkin seolah Dawson tak akan bisa mendengarnya....
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
DUST IN THE WIND
Romans🐾Completed🐾 Aku pikir, aku hanya perlu menutup mataku ketika aku ingin merasakan hadirmu. Tapi ini berbeda, betapa sulitnya itu dilakukan. Semuanya tak lagi terasa sama.