Part 1

1.3K 37 6
                                    

Angin berhembus begitu kecang disore hari ini. Daun-daun berhamburan, melayang-layang diudara. Capung terbang bergerombol didepan sebuah rumah kecil yang dihuni oleh seorang Ibu dan anak gadisnya. Disebelah rumah itu ada sebuah ladang yang tak begitu luas namun cukup untuk menghidupi Ibu dan anak gadisnya. Awalnya mereka hidup bertiga namun setelah anak laki-lakinya berkeluarga. Anak lelakinya lebih memilih untuk membangun rumahnya sendiri bersama istri dan anaknya. Sebenarnya jarak rumah mereka tidak begitu jauh hanya sekitar kurang lebih duapuluh meter.

Langit mulai menggelap, mungkin hujan akan turun tak lama lagi. Dan benar, titik-titik hujan mulai turun kebumi, lama kelamaan hujan semakin deras, anginpun berhembus makin kencang. Air hujan sudah sepenuhnya membasahi dedaunan, debu yang behamburan kini tersiram air hujan hingga menciptakan aroma yang sangat khas. Capung yang berterbangan itu sudan pergi entah kemana. Hanya pemandangan hujan yang nampak.

Hujan tak mampu menyamarkan raut kekhawatiran seorang Ibu yang berdiri didepan rumah kecilnya. Berjalan bolak-balik seperti setrika. Zainab, tengah menunggu putrinya yang belum pulang, hari sudah mulai senja dan hujan turun semakin deras namun tidak ada tanda-tanda bahwa putrinya akan pulang. Ia semakin gelisah karena suara petir yang bergemuruh, sedang anaknya entah kemana iya tidak tahu?

Kekhawatiran seorang ibu yang sering kali kita abaikan. Hatinya yang was-was memikirkan anaknya yang kadang kita sepelekan. Semuanya berlalu begitu saja tanpa sadar. Kecemasan yang tergambar tidak mampu menutupi semua kemungkinan.

Karena cuaca diluar sangat dingin Zainab memutuskan menunggu anaknya didalam, badan tuanya sudah tak memungkinkan untuk terus menunggu diluar. Zainab membuka pintu, lalu masuk kedalam rumahnya dan duduk dikursi tua yang berada tak jauh dari pintu. Kursi itu adalah kursi yang sering digunakan suaminya saat masih hidup dulu.

"Ibu! Ibu!!!"

Dari arah luar terdengar suara, Zainab sudah hafal suara siapa itu. Ia bergegas dari duduknya dan membukakan pintu.

Setelah pintu dibuka nampaklah anaknya yang basah kuyup. Ia menghela nafas, kekahawatiran yang mencekiknya kini telah perlahan melepaskannya.

"Rabi'ah dari mana saja kamu nak?"

Suara Zainab sarat akan kekhawatiran. Sedang, yang dikhawatirkan nampak biasa saja. Malah terkesan tidak peduli.

"Bu, dingin."

Bibir Rabi'ah membiru dan tubuhnya pun nampak bergetar-getar. Ucapan lirih itu dan keadaan Rabi'ah membuat hati sang ibu meringis.

Zainab bejalan masuk dan mengambilkan sebuah handuk untuk putrinya. Lalu kembali dan  memberikan handuk itu kepada Rabi'ah yang kedinginan.

"Kamu mandi dan ganti baju kamu."

Rabi'ah menerima handuk dari ibunya lalu berjalan masuk dengan tubuh yang gemetar mungkin terlalu lama kehujanan.

Perasaan khawatir Zainab sekarang telah hilang setelah melihat putrinya sudah kembali kerumah meski dengan keadaan basah kuyup. Zainab mengambil alat-alat rajutnya yang berada dilaci lemari tua disebelah kiri kursi yang didudukinya.

Merajut setiap benang dengan kesabaran, mengkombinasikan setiap warna agar terlihat indah, mengaitkan benang-benang itu dengan teliti. Terlihat begitu rumit, namun sangat mengasikan bagi yang memiliki hobi merajut. Dengan merajut, mampu mengisi waktu luangan dengan kegiatan yang bermanfaat dan menghasilkan uang. Siapa sangka? Hasil dari merajut mampu menambah penghasilannya tiap hari walaupun tidak begitu besar namun terbilang cukup. Dizaman sekarang ini banyak yang melupakan kegiatan itu

"Ibu!!" Panggilnya.

Rabi'ah berjalan mendekat pada Ibunya. Zainab mengangkat wajahnya, menatap putrinya yang  sudah mengganti pakaian basahnya yang tadi ia kenakan dengan sweeter rajut berwarna merah yang dipadukan dengan warna hijau pupus sebagai motifnya, yang nampak seperti bunga tulip. Kombinasi yang sangat pas.

Mahabbah (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang