Tanda Tanya Besar

877 100 187
                                    

Jakarta ...

"Pokoknya Mama tidak setuju! Di mana pun kamu ingin bekerja Mama dukung, asal jangan di kota yang satu itu."

"Tapi, Ma. Ini kesempatan terbaik buat Aldo."

"Mama bilang tidak, ya tidak!" bentak perempuan paruh baya itu sebelum bangkit dari tempat duduk meninggalkan meja makan.

Suasana yang semula hangat berubah mencekam. Dengan sikap emosi, tanpa mengurai alasan, mamanya menolak rencana Aldo yang ingin mencari kerja di Bandung. Tanda tanya besar melingkar di batin Aldo. "Ada apa dengan Bandung? Kenapa Mama begitu fobia mendengar kota itu?"

Aldo termangu, kemudian menilik ke arah Raka. Seperti dapat membaca isyarat dari sorot mata adiknya, Raka mengangkat bahu. Aldo mengalihkan pandangan kepada laki-laki paruh baya yang duduk di hadapannya, dari wajah penuh karisma itu terlukis senyum kecut.

"Sebenarnya ada apa sih, Pa?" tanya Aldo.

"Biar Papa yang bicara sama Mama kamu," balas laki-laki paruh baya itu sebelum beranjak dari tempat duduk.

Aldo terdiam, tidak sulit baginya untuk menarik kesimpulan, ada rahasia yang disembunyikan orangtuanya.

***

Rena menyeka air mata kala mendengar langkah seseorang di luar kamar. Suara pintu terbuka perlahan, laki-laki paruh baya mengenakan celana training warna hitam dan kaus putih, berjalan pelan mendekatinya.

"Papa dapat memahami perasaan Mama," ucap Diki sesaat setelah duduk di samping istrinya. "Semoga Mama belum lupa janji kita tujuh belas tahun lalu ... cukup semua cerita kelam yang ada menjadi kepahitan kita, tidak usah libatkan anak-anak dalam pusarannya. Tapi sikap Mama tadi ...." Diki terdiam ketika istrinya membentangkan telapak tangan.

"Mama sudah berusaha mengubur semua, tapi luka itu kembali terasa menyakitkan melihat Papa begitu sukacita mendukung Aldo," balas Rena sedu-sedan.

"Tidak seharusnya kita memupus mimpi anak-anak."

"Terserah! Mama tidak akan merestui Aldo bekerja di sana!"

"Mama! Aldo bukan anak kecil lagi. Sebagai orang tua kita bisa membuatkan rumah megah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya, sebab jiwanya penghuni rumah masa depan. Biarkan Aldo mandiri, biarkan Aldo meraih cita-citanya."

Malam berlalu, gumpalan amarah menyenandungkan nada tak beraturan di batin Rena. Ia belum menemukan setitik ikhlas melepas anak bungsunya merengkuh cita-cita di kota Bandung, kota yang pernah memahat kenangan indah di hidupnya, namun langkah waktu merampas kenangan tersebut, hingga kegetiran dan luka mengubah semua cerita menjadi setumpuk benci.

***

Cahaya langit menyeruak pada celah jendela, tidak mampu mengusik pertapaan suci Aldo. Jarum jam tepat berada di angka tujuh, pagi itu ia masih meringkuk di dalam selimut. Walau sudah bangun dan keluar dari bingkai mimpi, ia memilih leyeh-leyeh di tempat tidur. Seutas ingat terpaut pada kejadian semalam, keanehan yang merangkai manik-manik tanya, belum pernah ia melihat mamanya semurka itu. "Ada apa? Kenapa?" Dari luar terdengar langkah seseorang menapak anak tangga, gerak kaki berhenti tepat di depan pintu kamar Aldo yang berada di lantai dua.

"Den, kata bapak sarapan dulu," ucap Mbok Inah.

"Iya, Mbok."

Bungsu dari dua bersaudara itu menyibak selimut, kemudian selonjoran di atas tempat tidur, ia sedikit pun tidak tertarik turun ke bawah untuk sarapan pagi bersama. Tangan kanannya meraih remote audio digital yang tergeletak di atas meja kecil, sekali pijit, mengalun lagu populer milik band asal Britania Raya.

"When you try your best but you don't succeed.

When you get what you want but not what you need."

Aldo menyadari poin kebahagiaan sesungguhnya tidak terletak pada harta benda yang menyertai kekayaan, namun dari terwujudnya sebuah keinginan atas dasar kebutuhan. Bermula saat sahabatnya bernama Randi memberitahu, di Bandung ada surat kabar baru tengah mencari calon pewarta, dari sana Aldo antusias ingin ikut seleksi, namun niat tersebut ditentang oleh mamanya walau Papa dan kakaknya mendukung. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Aldo yang lagi selonjoran di atas tempat tidur. Pemuda jangkung itu beringsut turun, di depan pintu sudah berdiri papanya mengenakan setelan kemeja rapi.

"Hebat anak Papa, jam segini baru bangun," ucap Diki menyindir anaknya melalui sebuah sanjungan. "Jadi ke Bandung besok?"

"Belum tahu, Pa."

"Nah, kok ...."

"Mama bagaimana?"

Diki terdiam. "Pergilah, ini peluang terbaik untuk kamu. Soal Mama, Papa jamin semua akan baik-baik saja," ucapnya sambil menepuk bahu Aldo.

Sebuah jawaban niskala yang sukar dicerna. Deretan pertanyaan lain menjuntai di benak Aldo, namun urung terucap.

"Papa berangkat kerja dulu," tutup Diki.

Aldo termangu, kepada siapa mesti bertanya bila semua pertanyaan tidak mendapat jawaban pasti dan terang. Dua pilihan sulit membentang di depan mata, berangkat tanpa izin sang Mama atau mengubur impian menjadi wartawan dengan membatalkan rencana mencari kerja di Bandung.

***

Usai makan siang Aldo bersantai di beranda kamar, menikmati cerah hari dalam lingkar sunyi. Sambil duduk di atas kursi malas, Aldo menatap bingkai kota dalam barisan gedung-gedung tinggi dengan latar langit biru. Awan putih yang menggantung bergerak perlahan mengikuti arah angin, gambaran sebuah keluwesan alam pada lingkup kebebasan tanpa batas. Kemudian tangan Aldo meraih kubus rubik yang berada di atas meja, lalu memainkannya. Semenjak kecil Aldo sudah gemar bermain rubik, dia juga mengoleksi berbagai jenis rubik. Bagi Aldo, rubik permainan yang menantang, dibutuhkan teknik dan konsentrasi penuh untuk menyusun kubus bergerak itu. Sama halnya seperti kehidupan, penuh warna, kita yang menikmati, kita yang menjalani, kita yang mengatur segala rona dalam perziarahannya sesuai mimpi, sesuai harapan. Takdir memang di tangan Tuhan, tapi nasib ada di tangan kita, begitu prinsip Aldo. Semua itu berbanding lurus dengan pola didik papanya, yang selalu ingin anaknya mandiri, tanpa mengandalkan kesuksesan orang tua. Berbeda dengan mamanya yang terus memanjakan Aldo, betapa Rena sangat ingin Aldo meneruskan estafet kepemimpinan Diki selaku owner di tiga pabrik garmen miliknya yang semuanya berada di Jakarta. Dorongan itu semakin kuat ketika Raka, kakak Aldo lebih memilih bekerja di perusahaan konstruksi, sesuai bidang ilmu yang ia miliki ketimbang menikmati warisan jadi dari orangtuanya. Puas memainkan kubus bergerak, Aldo meraih ponsel, kemudian menghubungi nomor Randi.

"Ran, gue ke Bandung besok pagi pukul sembilan, tunggu di stasiun ya. Sekalian tolong cariin gue tempat kos."

"Oke! Nah, kenapa mesti ngekos, Cuy! Lo kan bisa nginap di rumah gue?"

"Panjang ceritanya."

"Ya sudah, besok gue jemput ke stasiun."

"Terima kasih, Ran!"

Sambungan telepon berakhir.

Tekad Aldo sudah bulat berangkat ke Bandung meski tidak mendapat izin dari mamanya. Bukan hanya sekadar meraih impian menjadi wartawan yang memotivasi Aldo, tapi ada hal lain yang lebih besar di balik keputusan penting itu.

--------------

Syair lagu Fix You band Coldplay

SEKAR MAYANG (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang