00:29 WIBRose Avalene
"Kak Tere, Oca izin ngga bisa jadi PJ lomba voli lanjutan besok ya ka, badan Oca ngga enak banget malem ini. Oca udah bilang ke Cindy sama Abba juga untuk back up jobdesknya Oca. Maaf ya Kak Teeeer..."Sent! Aku memutuskan untuk berbohong pada Kak Tere atas keinginan bolosku. Papi sedang di rumah dan aku sedang ingin bersama Papi setidaknya lebih lama lagi sebelum Papi lanjutin proyeknya.
Lagipula, menurutku aku tidak sepenuhnya bohong. Badanku sering berkeringat dingin jika mengingat kejadian class meeting hari pertama tadi. Pikiranku penuh. Dan aku sedang tidak ingin melakukan banyak perbincangan dengan Raka, walau aku ingin.
***
6.40 WIB
Kuhirup aroma kopi yang tercium sampai kamarku, nampaknya sedang di seduh. Aku suka kopi, tapi yang dengan susu tentunya. Karena kopi hitam seperti kesukaan Papi terlalu pekat untukku dan Papi juga melarangnya. So, i always love Cappuccino.
Aku beranjak dari kamarku, mendekati papi.
"udah jam segini lho Ca, nggak siap-siap kesekolah?"
"aku pengen seharian sama Papi hari ini hehe..." ucapku menggelendoti Papi yang sedang bersantai di sofa tuanya, dengan celana kolor selutut dan kaus lengan panjang sambil membaca artikel-artikel di tabnya.
"yasudah, Papi izinin kamu bolos! hahaha..." tawa papi renyah, "oiya, tadi pagi Papi nemuin cup kopi di depan pintu, tulisannya sih untuk Oca tuh Papi taruh di meja makan." ucap Papi dengan dagunya menunjuk ke arah meja makan.
"kopi? untuk Oca??" aku langsung berlari mendekati meja makan dan meraih gelas kertas kopi yang benar terdapat tulisan untuk Oca disana.
Siapa yang kasih ini? Raka? Batinku mengerjap. Apakah Raka kesini tadi malam? Kenapa tidak mengetuk atau menghubungiku dulu? Setidaknya hal itu selalu ia lakukan. Tapi ini... Cappuccino. Hanya Raka yang tau kalau aku akan membutuhkan kopi ketika bersedih atau sedang kurang enak badan. Apakah Raka masih akan terus mengkhawatirkan aku? Jika aku terud menghindar seperti ini, bukankah dia akan bersama Kak Dania? Lebih mudah bukan?
"Jadi dari siapa Ca?" tanya Papi memecahkan batin dan pikiran runyamku.
"Nggg... nggak ada tulisannya sih Pi dari siapa. Mungkin Raka..." jawabku ragu.
"Oh iya, apa kabar dia? Sudah lama juga Papi tidak bertemu Raka dan Emily. Sehat kan mereka?" Papi masih berkutat dengan tabnya, agak mempercepat jarinya mengetik lalu menatapku untuk pertanyaan-pertanyaan itu.
"Nggg... tante Emil baik kok Pi, malah mau menikah" jawabku membuat Papi terlihat kaget dan menaikkan alisnya sebelah.
"Menikah?? Emily mau menikah? Wah, sungguh kabar yang baik dan mengejutkan ya hahaha" tawa Papi terdengar agak kaku.
"Iya Pi hehehe," aku berpindah ke kursi meja makan dan mengambil roti kupas dengan telur mata sapi di atasnya dan menciduk mashed potato di mangkuk lain.
Papi memang rajin membuat sarapan. Ia selalu membuatkan aku sarapan, dan aku selalu menyukai segala masakan yang dibuat Papi. Ketika Mami masih tinggal bersama kami, Mami selalu sibuk dengan pekerjaannya dan Papi yang selalu memasak dirumah. Sehingga masakan Papi yang selalu aku tunggu.
Selama ini Papi sibuk dengan proyek, masakan Tante Emil menyelamatkan kerinduanku dengan masakan Papi. Untuk itu Papi sering bercakap dengan Tante Emil ataupun Raka untuk membantunya menjagaku di Jakarta.
Terkadang ketika mengingat Tante Emil akan menikah lagi, aku juga memikirkan Papi. Akankah Papi ingin menikah lagi juga? Atau setidaknya memiliki kekasih mungkin? Pikiranku terlintas rumit dalam prosesku menyendok beberapa kali mashed potato ke piring milikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Times
Teen FictionBaru saja menyandarkan badan di kursi ruang lukis, dengan keringat mengucur dan napas agak sengal karena hampir terlambat masuk kelas, tiba-tiba Kak Dania berlari menghampiriku dengan tatapan secemas seperti sebelumnya pernah kulihat. "dek... ke UKS...