Dulu, di samping kali itu ada sebuah bukit batu yang menjulang tinggi. Tempat kami menambatkan kehidupan. Bukit itulah sawah ladang kami. Sepulang sekolah, aku, Tarjo, Bejo, Tarmin, dan Legimin selalu ke sana. Menambang batu yang tersimpan di dalamnya. Batu-batu itu bagaikan emas bagi kami, setidaknya untuk saat itu. Aku dan Bejo berhenti sekolah sebelum sampai kelas enam, untuk menambang batu di situ. Orang tuaku mendukung penuh keputusanku. Jika aku sekolah belum tentu aku bisa sukses, sedangkan biayanya tidaklah sedikit. Padahal menambang batu menghasilkan uang, bahkan tanpa ijazah sekalipun.
Setiap hari ada sejumlah lima sampai tujuh buah truk yang mengambil batu hasil kerja keras kami. Truk-truk tua meraung-raung di jalan becek bekas hujan, lalu membawanya ke kota. Jika uang telah di tangan, rasa lelah setelah seharian memeras keringat di balik dinding batu tebal itu lenyap, berganti dengan perasaan puas. Setelah bayaran, kami beramai-ramai ke warung kopi Mak Doni yang terletak tidak jauh dari tempat kami menambang batu. Sungguh kenangan yang sangat indah. Tapi begitu terjal ketika dulu dijalani.
Waktu terus melesat. Alam telah mengalami banyak perubahan, mengikuti arus pusaran waktu. Dulu ada dua buah bukit cadas di desa kami. Namun sekarang satu di antara dua bukit itu telah rata dengan tanah. Baru-baru ini, seorang konglomerat di desa kami telah menanam sebuah ruko yang megah di sana. Di antara bukit dan ruko itu dipisahkan oleh kali kecil yang airnya masih tetap jernih hingga kini. Sumbernya berasal dari mata air di sela-sela bukit itu. Bukit yang tersisa menjadi sisa-sisa tabungan kehidupanku
Langit hanya berhiaskan beberapa helai kapas. Gemericik air yang mengalir dari celah bebatuan kali kecil itu membuat hatiku merasa tenang. Air, ah aku sering merasa iri padanya. Benda cair itu tak pernah merasa kawatir akan apa yang terjadi padanya. Dengan pasrah ia mengikuti alur kehidupannya. Mengalir begitu saja. Walau onak yang dilewatinya, walau duri yang dilewatinya, ia tak pernah mengeluh, ia tidak pernah protes pada selokan yang tiba-tiba buntu. Lalu mengapa aku yang dianugerahi akal dan pikiran harus risau dengan kehidupan yang telah ditata oleh Dzat yang Maha Menata? Mengapa aku harus resah dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membayar SPP anakku? Mengapa aku harus resah mendapat uang dari mana untuk membelikan tetek bengek kebutuhan anak istriku? Bukankah Tuhan telah menjanjikan kehidupan bagi makhluknya? Bukankah Tuhan itu maha kaya?
***
Kali kecil yang membelah bukit dan ruko itu masih setia memberikan hawa sejuk bagi kami; aku dan Bejo. Tinggal kami berdua-lah yang masih setia dengan pekerjaan berat ini. Mencongkeli batu-batuan keras di tengah lekukan-lekukan tanah yang cadas. Panas. Menghancurkan bongkahan-bongkahan pejal. Lalu menatanya seperti batu bata sembari menunggu para pembeli mau menggantinya dengan uang. Di lekukan yang cadas inilah aku menghabiskan hari-hariku.
Aku menghabiskan hari-hariku di bukit cadas itu dalam diam. Tentu saja aku tak mungkin mengajak bebatuan itu untuk menggunjingkan pemilik ruko sebelah yang tak pernah mau menyapa kami. Orang kaya yang selalu memicingkan mata pada kami. Lidahku menemukan kesempatannya untuk berbicara hanya saat Bejo minta air minumku atau menungguku mencongkeli batu-batu tebal itu. Biasanya Bejo memang sering istirahat daripada aku. Ya…. mungkin karena dia tak punya keluarga yang kehidupannya menggantung pada pundak legamnya, sehingga ia begitu santai dalam bekerja.
Di saat ia menonton bagaimana legam dan kekarnya urat-urat tanganku berayun menghantam batu-batuan itulah ia sering mengenang masa lalu. Saat kami beramai-ramai bekerja dan ngopi bersama teman-teman yang lain. Tapi kini tak ada satu pun di antara mereka yang ingat pada kami. Teman-teman kecil kami itu kini semua telah sibuk dengan hidupnya sendiri. Bejo tak pernah berhenti merasa kecewa terhadap mereka.
Saat siang, ketika cacing-cacing di perutku mulai berteriak-teriak minta makan, biasanya istriku membawakan makanan ke kantor tempat aku bekerja ini. Tapi apabila ia mendapatkan tawaran untuk mencuci di rumah Pak Bos maka anakku yang kedua, Si Darul akan menggantikan peran ibunya itu. Aku sering membagi makanan buatan istriku itu dengan Bejo. Teman seperjuanganku dari kecil yang masih setia bekerja di bukit batu cadas ini. Seringkali Darul tak mau pulang sebelum aku pulang. Padahal di rumah ia harus menjaga adiknya yang belum juga genap berumur empat tahun. Untuk itu, jika ibunya sedang buruh nyuci di rumah Pak Bos aku menyuruhnya untuk membawa Si Kecil Beno. Aku membiarkan mereka bermain di tempat yang tak terlalu jauh dariku.
Suatu saat Darul mendekat ke lekukan tempat aku menyongkeli batu. Dengan wajahnya yang polos ia bertanya padaku, “Mengapa Bapak kerjanya di tempat yang panas seperti ini Pak? Bukankah lebih enak bekerja seperti Lek Tarmin yang menjadi polisi itu Pak?” aku tersenyum kecut membalas pertanyaan anak keduaku itu. Aku hanya menjawab dalam hati, ” karena hanya inilah yang bisa bapak lakukan Nak.”
“Sebenarnya Darul kasihan melihat Bapak bekerja sendirian. Tapi aku belum cukup kuat untuk bisa membantu Bapak.”
“Nggak papa, bekerja itu yang penting halal Nak. Bapak sudah terbiasa dari kecil dulu bekerja seperti ini. Nanti kamu kalau sudah gede harus bekerja yang lebih enak dari yang bapak lakukan ini ya. Jadi guru, polisi, atau bahkan presiden. Sekarang kamu jaga adikmu sana, nanti jatuh kamu dimarahi ibumu.” Darul beringsut meninggalkanku. Telapak kakinya yang tak beralas membuat gunung-gunung rasa bersalah bercokol di benakku. Bahkan aku belum mampu mengganti sandalnya yang rusak semenjak minggu kemarin.
Ketika sang surya mulai kembali ke tempat peraduannya, aku beranjak pulang. Dengan dua buah tomblok di pundakku aku memikul kedua buah hatiku itu. Si Darul di kiri dan Si Beno di sebelah kanan. Sambil melangkah pulang, kedua anakku itu bernyanyi-nyanyi dengan lirik yang tak jelas. Dan rasa pegal-pegal di sekujur tubuhku seolah-olah menghilang begitu saja. Melebur dengan kebahagiaan mereka.
Tiba-tiba Darul berhenti menyanyikan lagu-lagu bahagia itu. Ia mengutarakan sebuah pertanyaan yang menohok tenggorokanku.
“Pak, kapan Darul akan masuk sekolah? Atang yang seumuran denganku kan sudah masuk sekolah?”
“Tahun depan saja Darul masuk sekolah ya?” aku menjawab sekenanya. Kemudian kami diam dalam sunyinya malam. Hanya gemeretak langkah berat kakiku yang tedengar. Seakan jangkrik pun enggan untuk bersuara mendengar pertanyaan anak kecil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dan Sepatu pun Menertawakanku
Short StoryBerisi tentang cerpen-cerpen yang pernah kutulis, kebanyakan pernah dimuat oleh duniasantri.co. "Dan Sepatu pun Menertawakanku" merupakan cerpen yang dipakai sebagai nama buku antologi cerpen yang diterbitkan oleh duniasantri.co. Selamat membaca...