"Cangkir kedua? Kamu yakin?"
Ia mengangguk sambil tersenyum kecil. Lalu seseorang dengan sweter putih di hadapannya menggeleng, menutup buku catatan pelajaran bahasa jermannya sambil menatap lamat-lamat pemilik sepasang mata coklat terang magis yang tak pernah gagal membuatnya jatuh hati. "Segitu sukanya kamu sama kopi?" tanyanya pada penikmat kopi itu.
"Iya, sesuka itu."
"Kasih tahu aku apa lagi hal yang kamu suka."
"Mm, buku?"
"Aku tahu kalau yang itu."
"Sailor Moon?"
"Nah, kalau yang itu trivia baru. Apa lagi?"
"Suara hujan"
"Woo, Indie Folk banget. Terus aku nomor berapa?" tanyanya dengan nada imut yang dibuat-buat.
Penyesap kopi itu tersenyum sembari mengangkat bahunya.
"Bukan nomor satu?"
"Tebak!"
"Gitu ya, selalu main teka-teki."
¤•¤•¤•¤
Adit bertukar pandangan dengan Felix, gugup. Mereka berdua duduk di kursi yang menghadap langsung ke bar, menanti pesanan kopi mereka diliputi perasaan khawatir karena membolos sekaligus tertantang karena mereka tidak pernah membolos untuk pergi sejauh itu. Sambil menunggu, mereka mempelajari tiap inci kafe itu, sudut-sudut kafe yang tampak kuno di sisi barat mengkomplemen sisi timur kafe yang sengaja dibuat tampak futuristik dengan interior kaca dan aksen warna putih. Kursi dan meja di kafe itu tidak konsisten baik jumlah maupun bentuknya, ada kursi kayu untuk berdua, kursi kerajinan rotan atau sofa berempat, lalu sofa dengan bentuk tidak konvensional untuk enam orang. Tempat itu harusnya ramai saat hari mulai gelap, ketika matahari masih terang begitu, hanya ada satu sampai dua orang duduk di kafe itu, sengaja menyepi bersama laptop mereka dari hiruk pikuk Jakarta yang semakin menggila tiap harinya.
Bau aroma kopi yang menguat dari arah bar membuat mereka melarikan pandangan mereka dari interior kafe yang mengagumkan itu pada barista di balik mesin penggerinda kopi.
"Bang Cimeng kok nggak kayak Bang Cimeng sih," bisik Adit pada Felix.
Bisikan itu masih terlalu keras hingga sampai ke telinga orang yang disebut-sebut sebagai Cimeng. Cimeng tidak lain adalah barista gondrong bertubuh atletis yang melayani mereka di pagi menjelang siang itu.
Selesai menyajikan kopi pesanan anak-anak bos itu. Pria gondrong berjambang itu meletakkan dua cangkir espresso di depan Adit dan Felix. "Lo pada ngapain dah?" tanyanya dengan suara bariton.
Pertanyaan itu dijawab senyum takut-takut oleh Adut dan Felix. Sudah hampir 5 tahun lewat, namun ketakutan dalam diri Adit dan Felix selalu muncul ke permukaan tiap kali melihat langsung pentolan geng anak-anak nakal yang sering mengganggu mereka semasa SD itu.
"Pada bolos ya?" tanya Bang Cimeng lagi.
"Iya, Bang," jawab Felix seperti kentut.
Barista itu terkekeh. "Gila, gila, udah pada berani aja lo berdua, ada agenda apa nongkrong sampe sini?" tanyanya. "Tunggu, tunggu, biar gue tebak. Lo berdua pasti udah pada denger soal Neng Cantik."
"Neng Cantik?" tanya Felix penasaran.
"Kafenya berhantu, Bang?" tanya Adit.
Felix dan barista itu menatap Adit miris, mengamini kedangkalan interpretasi Adit, sedangkan Adit yang hanya semakin jatuh ke dalam kebingungannya akhirnya diabaikan oleh kedua laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Boi || jhj, hhj
FanficAdira (Jeon Heejin) has a blog, a secret admirer, a guy she's in love with, and a lingering prick who makes everything ten times more complicated. -------------------- "Dit, kalau gue ditolak terus gue jatuh, lo bakal nangkep gue kan?" "Gue nggak ak...