FOUR ||

1.4K 99 0
                                    

Bagian Empat

"Rek, yang udah ngisi selebaran ekskul, kumpulin ke aku yaa?!" Seru Nadine dari arah depan. Membuat teman-temannya langsung serempak membuka tasnya masing-masing, untuk mengeluarkan selebaran.

Murid kelas XII ESC berduyun-duyun mengumpulkan selebaran, meskipun ada juga yang mengisinya dengan asal-asalan. Kebanyakan dari mereka yang malas ikut kegiatan apa-apa di sekolah.

"Kemana dek?" ujar Gemma, saat melihat Dhania beranjak dari kursi. Kebetulan kedua temannya tengah berdesakan di depan sana, untuk mengumpulkan selebaran.

"Keluar, mau baca ini." Jawab Dhania, dengan menjunjung buku paketnya.

"Udah ngumpulin selebaran belom?"

Dhania menggeleng, "Nanti aja,"


__________


Meninggalkan antusias murid kelas XII ESC. Dhania memilih untuk keluar dari kelas, duduk di sebuah kursi besi yang posisinya mengitari pohon beringin tertua di SMAN 7. Yang konon juga terkenal angker, jadi membuat tempat duduk disana kerap kali sepi selain tempatnya juga cukup jauh dari gedung-gedung sekolah dan kantin, meskipun saat jam istirahat tiba. Tapi Dhania tak peduli dengan itu, daripada ia harus duduk di kelas, atau di kursi dekat lapangan basket. Mungkin di kelas lebih baik sih, tapi karena sikon kurang mendukung, jadi Dhania memutuskan untuk duduk menyendiri dibawah naungan pohon beringin.

Alih-alih mempelajari materi dari buku paket yang dibawanya, ia malah mengeluarkan smartphone-nya, lalu ditekannya ikon gim infinity loop disana.

Suara gesekan tanah dan sepatu terdengar membuatnya menoleh.

"Halwatuzahra?"

"Hah?"

Tatapan keduanya berserobok cukup lama, angin yang kebetulan besar berhasil membuat rambut sebahu Dhania melambai-lambai indah. Hingga, salah satu dari mereka bersuara. Memecah suara kicauan burung yang beterbangan di udara.

"Ngapain disini?" suara tersebut keluar dari bibir Madani. Berusaha ia menanggalkan kegugupannya, namun itu tidak berhasil.

"Aku? Aku lagi baca ini." Dengan gelagapan Dhania menoleh ke arah buku paket dan mengambilnya, lantas mengangkatnya.

Alis Madani bertaut kemudian mengangguk-angguk skeptis, membuat Dhania juga mengernyitkan alis bingung.

"Kenapa sih?" tanya Dhania, akhirnya.

"Buku kamu kebalik tuh, hmm." Madani menunjuk buku Dhania dengan dagunya.

Kepalang malu, karena ketahuan tidak serius belajar. Ia langsung menaruh buku tersebut di sebelahnya dengan cukup keras.

Madani berjalan melewatinya, lantas duduk diseberangnya, tepatnya di balik pohon beringin. Hingga membuat pandangan mereka terhalang oleh pohon bernama latin Ficus benjamina itu.

"Kamu sering, duduk disini?" buka Madani, kembali.

Dhania mengangguk, namun sadar kalau posisi mereka terhalang pohon beringin dan Madani juga pasti tidak bisa melihat anggukannya, jadi ia mengiyakannya dengan bersuara.

"Oh. Saya juga sering kesini." ucapnya, dari balik pohon. Rasa-rasanya, Dhania seperti mengobrol dengan pohon kalau seperti ini.

"Oooh!" respon Dhania singkat, ia kembali fokus dengan gimnya.

"Kertas selebarannya kurang satu, kamu udah ngumpulin?" tanya Madani, lagi. Kali ini membuat Dhania mem-pause gimnya.

Dhania mendongak, "Belum,"

"Masih bingung, mau pilih ekskul apa?"

"Iy-- iyaa!"

"Oh, kalau gitu, nanti kamu kumpulin ke saya aja ya, kalau udah fix. Soalnya Septyan bilang, mau ngumpulin hari ini ke pak Soenaryo."

"Oke deh,"

Dhania bergerak gelisah ditempatnya, pandangannya tak fokus lagi pada gim. Pikirannya kembali pada saat meminta ijin pada bapak, dan kemudian ibu. Keduanya memberikan pendapat yang berbeda.

"Hei, wakil ketua kelas baru!" panggil Dhania, ngasal.

"Ya? Ada apa?" sahut Madani, tanpa mengalihkan matanya dari buku.

"Menurut kamu, mana sih restu yang paling penting? Bapak atau ibuk?"

"Menurut saya, dua-duanya itu penting."

Dhania mengangguk-angguk, sembari menimang-nimang pertanyaan apa yang selanjutnya akan ia tujukan.

"Hmm, jadi gini, orang tuaku memberi dua pendapat yang beda tentang ekstrakulikuler. Pertama, bapak nggak ngasih ikut, dengan alasan karena katanya nggak wajib, sedangkan ibuk ngasih, asal bisa memberi dampak positif dan nggak nyita waktu belajar aku. Menurut kamu, aku harus gimana?"

Madani tampak berpikir serius, sebelum memutuskan untuk menjawab pertanyaan dari Dhania.

"Gimana?" kata Dhania, tak sabar.

"Tergantung, kegiatan apa yang mau kamu ikuti. Kegiatan itu memberi dampak apa saja sama kamu, kalau memang kegiatan yang kamu ikuti itu banyak dampak positifnya, ya ikut aja. Toh, orang tua kamu juga sudah ngasih ijin, meskipun hanya sepihak. Ibu kamu.

Di dunia ini, nggak ada yang lebih mulia dari seorang ibu. Tetapi, dibalik itu, bapak kamu juga orang tuamu, mungkin lebih baik kamu ngomong lagi sama bapak kamu. Buat beliau percaya dan yakin dengan keputusan kamu. Saya yakin, tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya tidak bahagia."

Dhania mengangguk-angguk paham. Hatinya benar-benar lega, karena sudah menumpahkan kegundahannya. Bebannya kini serasa berkurang.

"Makasih yaa," ucap Dhania dengan tersenyum, meskipun senyuman itu tidak dapat dilihat Madani.

"Untuk?" balas Madani,

Matanya berpendar, sedangkan pikirannya mencari-cari jawaban yang pas.

"Yaaa, pokoknya makasih aja sih," jawab Dhania akhirnya.

Suasana kembali hening, mereka saling sibuk dengan aktivitas masing-masing, ditemani suara uir-uir dari pepohonan dekat bukit belakang SMAN 7.

"Ikut ekstrakulikuler Rohis, mau?" celetuk Madani tiba-tiba.

Dhania mendongak, tatapannya jatuh pada batang beringin, seolah itu wajah Madani.

"Katanya ibu kamu, nyuruh kamu ikut kegiatan yang nggak terlalu menyita waktu belajar kamu? Rohis, ekstrakulikuler yang inshaa Allah nggak bakal nyita waktu belajar kamu. Malahan, di Rohis kita itu belajar. Belajar mendalami ilmu agama dan lain-lain. Dan, inshaa Allah, bapak kamu juga setuju kalau kamu ikut rohis." lanjut Madani, karena tidak mendengar sahutan dari lawan bicaranya.

"Ada banyak manfaat disana, contohnya saja kita bisa belajar sekaligus mencari pahala. Bagaimana?" tambahnya, lagi.

Dhania masih terdiam.

"Kamu pikir-pikir aja dulu, saya nggak maksa kok. Kalau kamu mau ikut, silahkan. Kalau enggak, ya nggakpapa." ucap Madani seraya beranjak dari tempat duduknya.

"Ini buat kamu. Saya ke kelas dulu," Madani menyerahkan brosur bertulisan 'Rohis SMAN 7' pada Dhania, sebelum meninggalkannya sendiri.

Kami anak Rohis

Selalu berpikir optimis

Kami anak Rohis

Bukan teroris

Sederet kalimat yang tertera pada brosur, yang disodorkan Madani padanya.

Bersambung

Dear Ketua RohisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang