Don't Punch His Face

1.4K 307 85
                                    

Vio suka duduk di atas salah satu pohon paling rindang di barat Mayapada. Cabangnya yang besar-besar bikin gampang buat manjat dan posisinya sekarang membuat lapangan basket kelihatan jelas banget. Kalau lagi bolos kelas Pak Danu, guru bahasa Indonesia yang udah tua dan nggak pernah sadar kalau murid di kelasnya tinggal setengah, Vio suka duduk di sini buat ngeliatin anak-anak kelas 11 IIS-2 olah raga.

Anak kelas 11 IIS-2 kebanyakan jago olah raga. Kapten tim basket, kapten tim sepak bola, dan beberapa anggota klub lari berasal dari kelas itu. Buat Vio yang lumayan suka nonton acara olah raga di internet, kelas olah raga 11 IIS-2 merupakan tontonan menarik.

Yang membuat Vio sebal hanya satu: kapten tim basket itu bernama Gamaliel Rio Setiawan, kakak tirinya.

Dalam permainan basket, cowok itu lihai banget. Sering berperan sebagai point guard dan selalu efektif dalam menjalankan perannya melawan sekolah lain dalam pertandingan persahabatan. Rio juga berhasil mendapatkan gelar cowok paling dipuja oleh sebagian besar cewek Mayapada, mengalahkan kebekenan Billy si Ketua OSIS dan Raka si Komandan KVLR. Tapi, semenjak bergabung dengan KVLR, dia sering membolos kelas dan latihan basket hanya untuk merokok di belakang sekolah. Banyak warna merah dalam bukunya, sama seperti Vio.

Kenapa juga sih, Papa harus menikahi ibu Rio? Kayak nggak ada wanita lain gitu, seperti Mama.

Rio sudah hafal kelakuan Vio yang sering membolos kelas di saat kelasnya olah raga, jadi, seperti hari-hari biasanya, dia melemparkan bola basket ke arah pohon yang dinaiki Vio. Cewek itu hanya mendengus. Apes banget sih dia, bisa ketemu sama cowok kayak Rio.

"Hei, bocah gila, ngapain lo di sana?" teriak Rio.

Vio mendengus, males membalas. Ngapain juga sih cowok itu di sini? Kayak nggak ada kerjaan aja. Guru olah raganya kan, masih di lapangan, lagi bagi-bagi kelompok buat main voli. Kenapa dia malah di sini sambil mainin bola basket?

"Lo nge-stalk gue ya? Suka ya sama gue?" Rio terdengar pongah. "Kita saudara tiri, inget itu."

Vio melempar ranting kering ke muka Rio. "Suka-suka gue dong di sini. Elo kali, yang suka sama gue. Tiap kali gue di sini pasti diapelin. Dan anyway, siapa juga yang mau sama elo?"

Rio tertawa sumbang. "Jangan berharap deh lo."

"Berarti lo ya, yang berharap kalau gue suka sama lo? Kan yang nanya duluan elo."

"Gue lebih baik kelindes truk deh daripada suka sama elo."

"Amin."

"Hei!" Rio langsung berseru kesal. "Kok lo aminin sih?"

"Lo yang minta juga." Vio mendengus. "Gue kan cuma bantu ngedoain."

"Cewek kurang ajar."

Sebelum Vio bisa membalas, sesuatu mengguncang dahan tempatnya duduk. Karena tidak berjaga-jaga, Vio terjungkal dan jatuh kira-kira tiga meter ke tanah, nyaris bersamaan dengan bola basket yang dimainkan Rio sedari tadi. Tangan kirinya langsung berdenyut dan kepalanya pusing. Dia bahkan tidak sempat memedulikan ucapan Rio, apa pun yang cowok sialan itu katakan.

Di saat kayak gini, Vio cuma pengin satu: Cello ada di Indonesia dan bisa ngebantuin dia. Karena kalau ada Cello, nggak akan ada yang bikin Vio takut. Nggak akan ada yang bakal ngegangguin Vio, karena Cello pasti bakal ngelawan siapa pun yang berani ngelukain Vio.

Tapi Cello nggak ada, dan Vio harus belajar melindungi diri sendiri. Semua orang, bahkan yang paling dekat dengannya sekalipun, akan pergi meninggalkan dia. Vio harus belajar bergantung pada diri sendiri.

"Eh, lo nggak apa-apa kan?"

Rio menyentuhnya. Vio dapat mendengar kepanikan dalam suara Rio. Dia benci banget denger suara itu, jadi dia cuma tiduran di sana, nggak mau bales sama sekali.

"Vi? Lo nggak apa-apa kan? Ada yang patah ya?" Rio lalu merendahkan suaranya, "Awas aja kalau lo pura-pura."

Hih, Rio bisa pergi aja nggak sih? Vio makin senewen dengerin suara Rio. Dia mengangkat tubuhnya—tangan kirinya masih nyut-nyutan, tapi Vio bisa menggerakkannya. Semoga beneran nggak ada yang patah. Dia harus bilang apa ke orang tuanya, juga sama Cello, kalau misal tangannya patah beneran?

Tangan Rio mencengkeram lengan Vio kuat-kuat dan membantunya berdiri. Tumben banget cowok itu baik. Tapi ternyata, Rio baik cuma gara-gara temen-temen sekelasnya lagi ngeliatin mereka dari lapangan bola. Cih, pencitraan. Vio pengin banget ngeludahin Rio, tapi dia diam aja.

"Lepasin," Vio menepis tangan Rio yang masih memeganginya.

"Udah gue bantuin juga," Rio mendengus. "Tapi lo beneran nggak apa-apa kan?"

Muka Rio melas banget, dan sejujurnya, Vio suka ngelihat muka melas Rio. Akhirnya, cowok sengak itu bisa menunjukkan kelemahannya barang sebentar aja. Tapi bukan waktunya mengasihani Rio. Cowok kurang ajar itu sudah melukainya, dan Vio nggak akan pernah melupakannya.

Tangan kanan Vio bergerak dan langsung meninju wajah Rio. Masa bodo semua orang ngeliatin dia. Vio jatuh gara-gara Rio. Cowok itu pantas mendapatkan tinju itu.

"Yep, masih oke," jawab Vio. "Makasih bantuannya, tapi siapa sih, yang bikin gue jatuh? Oh iya, bola lo. Hati-hati deh lain kali kalau mau main bola. Di atas sana nggak ada ring basket."

Rio keliatan marah, tapi dia nggak bisa bales. Vio langsung meninggalkan cowok itu dan pergi ke UKS. Biar bagaimanapun, tangannya sakit banget, dan Vio harus yakin dia nggak patah tulang.

Vio: Don't Mess Up [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang