1. Wawancara

224 29 22
                                    

Bagi sembilan puluh persen murid upacara adalah hal yang paling menyebalkan di hari Senin. Bukan maksud untuk tidak menghargai jasa pahlawan, tapi karena panas matahari yang menyengat.

Bagi sepuluh persennya lagi, upacara bendera adalah hal yang biasa saja karena mereka mengalami keberuntungan untuk terhindar dari panas matahari.

Gue? Termasuk sepuluh persen murid yang beruntung. Nih, gue sebutin sepuluh persen murid yang beruntung. Pertama, murid yang tergabung di ekstrakurikuler PMR beruntungnya karena berdirinya di pinggir lapang yang teduh atau di UKS.

Kedua, murid yang tergabung di ekstrakurikuler paduan suara karena berdirinya di panggung yang teduh.

Ketiga, murid yang berhasil meraih prestasi.

Keempat, murid dari ekstrakurikuler jurnalistik yang ditugaskan untuk mewawancara murid berprestasi.

Kenapa gue beruntung? Karena gue ada di point ke empat. Wawancara murid berprestasi itu tujuannya buat merealisasikan program ekstrakurikuler jurnalistik di hari Senin, namanya Senin Prestasi.

Mungkin yang paling beruntung adalah point ketiga dan keempat, karena tidak berada di luar melainkan di ruangan.

“Woy, Vin! Revi di mana sih?” tanya Angga—sahabat gue—yang ditugaskan untuk mendokumentasikan wawancara.

“Nggak tau, Ga. Bentar lagi dateng kali,” jawab gue mengalihkan pandangan dari teks pertanyaan untuk wawancara, melihat ke sekitar ruang piala.

Di sini ini ada tiga murid yang berprestasi, yang di ruang piala hanya yang meraih prestasi perorangan. Sedangkan yang kelompok biasanya wawancaranya di sekretariat ekstrakurikuler sesuai lomba yang dimenangkan.

Gue dan Rangga ditugasin buat wawancara Audyra Revita biasanya dipanggil Revi. Dia murid yang sering menorehkan prestasi untuk SMA Garuda. Bahkan ini yang ketiga kali gue wawancarain Revi.

Dua murid lainnya sudah mulai diwawancarai sama temen – temen gue dari ekstrakulikuler jurnalistik. Ya, Revi memang sedikit terlambat. Ehm, gak sedikit juga sih, lebih sekitar 20 menit.

Beberapa menit kemudian orang yang ditunggu dateng juga. Penampilan seperti biasanya, seragam standar sekolah, rambut model pony taill, dan kacamata bertengger di hidungnya. Ditambah dengan segudang prestasi sangat cocok diberi predikat ‘Good Girl’.

“Maaf, aku terlambat. Tadi menunggu teman-teman kelasku mengerjakan tugas. Pagi ini harus ada di meja bu Tina,” ucap Revi dengan ramah.

Revi emang termasuk siswi yang deket sama guru, bukan hal aneh kalau dia dikasih perintah buat selalu ngumpulin tugas-tugas murid di kelas.

“Lha, udah jam tujuh lebih baru ke lapangan? Emang upacara belum mulai?” Angga bertanya yang mungkin hanya sekedar basa – basi karena hanya fokus pada kameranya.

“Belum, memang kelasku terakhir ada di lapangan tapi belum terlambat kok. Tadi masih merapihkan barisan,” jelas Revi dan Angga pun mengangguk.

Revi itu ramah, bicaranya pun bahasa Indonesia yang baik dan benar. Meskipun sama temen deketnya, Dini. Kadang gue sedikit canggung buat ngobrol sama Revi.

“Oh, ya udah nggak apa-apa,” kata gue memaklumi, “siap untuk di wawancara?”

“Selalu siap,” jawabnya disertai anggukan mantap.

Gue udah siap di posisi berdiri di depan kamera. Rangga pun memberikan kode dengan acungan jempol menandakan bahwa kamera sudah siap.

Let’s begin

“Selamat pagi semuanya, dalam rangka Senin Prestasi kali ini saya akan mewawancarai salah satu murid yang lagi-lagi berhasil menorehkan prestasi yaitu Audyra Revita.” gue berbalik ke arah kanan menjadi berhadapan dengan Revi yang sejak tadi ada disamping kanan gue.

“Audyra Revita, selamat atas keberhasilannya menjadi juara tiga solo gitar dalam acara Nusantara Prestasi di Universitas Nusantara,” ucap gue dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

“Terima kasih,” jawabnya menerima uluran tangan gue dan tersenyum manis.

“Biasanya Anda selalu mengikuti lomba akademik atau non akademik tapi hanya yang termasuk seni sastra. Lalu mengapa Anda mengikuti lomba solo gitar? Padahal ini pertama kalinya Anda mengikuti lomba non akademik dalam bidang seni musik.”

“Karena ... saya ingin mencoba sesuatu hal yang baru. Meskipun hanya mendapat juara tiga, tapi setidaknya sudah mencoba untuk keluar dari zona nyaman Saya.”

“Memangnya sejak kapan Anda bisa memainkan gitar?”

“Sekitar kelas 8 Saya sudah bisa memainkan beberapa kuncinya.”

“Mengapa tidak pada saat kelas 10  ikut solo gitar?”

“Waktu kelas 10 sebenarnya sudah lancar, tidak kaku seperti awal memainkan gitar. Namun, belum terlalu percaya diri. Karena biasanya Saya hanya ikut lomba yang tidak langsung tampil di depan umum.”

“Bagaimana perasaan Anda ketika akan tampil di depan peserta dan juri?”

“Jujur saya gugup, bahkan tangan saya pun berkeringat dingin dan bergetar. Tapi ketika di depan saya sudah tidak gugup dan mulai memainkan gitar dengan santai.”

“Kapan mulai tertarik untuk bisa memainkan gitar?”

“Awalnya saya tertarik untuk bisa memainkan gitar itu sekitar kelas tujuh ketika melihat acara pencarian bakat. Saya pun meminta kepada kakak sepupu untuk mengajarkan cara memainkan gitar. Pada saat pertama kali memang sulit dan kaku. Pernah suatu hari jari tangan lecet karena terus dipaksa seharian untuk memainkan gitar. Setelah lama berusaha akhirnya bisa.”

“Bagaimana proses Anda berhasil meraih juara?”

“Awalnya saya ragu untuk ikut lomba ini. Namun, saya punya tekad bahwa harus belajar untuk bisa mencoba hal lain. Akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar. Lalu, diseleksi antar siswa SMA Garuda yang sudah mendaftar untuk mengikuti solo gitar. Alhamdulillah lolos seleksi. Seminggu sebelum lomba, Saya latihan setiap hari sebelum pulang sekolah bersama Pak Gilar atau Bu Rika. Selain itu saya berdoa untuk diberi kelancaran dalam mengikuti lomba ini.”

“Intinya berusaha dan berdoa untuk mencapai keberhasilan, benar?” Dia pun mengangguk, “Lalu, bagaimana perasaan anda ketika berhasil menjadi juara?”

“Saya bersyukur dan bangga atas keberhasilan ini.”

“Bagaimana pesan motivasi untuk siswa atau siswi lainnya?”

“Untuk kalian semua, jika ingin mencapai sesuatu harus terus berusaha. Kegagalan bukanlah suatu akhir dari perjuangan tapi sebuah awal untuk memulai kembali apa yang diperjuangkan. Jadikanlah kegagalan itu untuk pelajaran kedepannya.”

“OK, mungkin cukup sekian wawancara dari saya. Terima kasih telah berkenan untuk diwawancarai.”

“Sama-sama,” jawabnya.

Aku langsung menghadap ke kamera lagi.

“Itulah wawancara dengan Audyra Revita. Semoga dengan wawancara tadi kalian bisa menjadikannya sebagai motivasi. Saya Alvin Chandra Dirgantara dan Angga Putra pamit undur diri. Sekian dan terima kasih.”

Setelah wawancara, Revi pamit untuk ke lapangan upacara. Biasanya siswa berprestasi harus berada di sekitar lapangan untuk diumumkan kepada murid yang sedang upacara. Sedangkan gue sama Angga harus segera ke studio GJC (Garuda Journalistic Club) untuk melaporkan hasil wawancara tadi. Jika terlambat pasti kami akan dimarahi.

Beginilah kegiatan gue di ekstrakurikuler jurnalistik. Senin itu jadwal terpadat paginya wawancara dan sorenya siaran radio, tapi itu gak masalah. Gue udah cukup seneng dengan rutinitas gue di sekolah yang ya, bisa dibilang datar. Sekolah, belajar, dan aktif di ekstrakurikuler. Sampai program baru Garuda Journalistic Club yang bikin kehidupan gue di sekolah gak cuma datar, tapi penuh akan lika – liku.

Journalist #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang