Désir de Revenir (1)

912 62 6
                                    

Dua minggu kemudian...

Maximilian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Setelan yang menandakan bahwa ia adalah orang penting sangat terlihat mencolok dari sekian banyak orang di pusat perbelanjaan itu. Elena menggaruk tengkuknya, merasa bosan dan penat. Maximilian melirik gadis itu dengan canggung.

Max menyentuh sikut Elena menggunakan telunjuknya dan terlihat sangat kikuk juga kekanak-kanakan sekali. "Apa kau butuh sesuatu lagi?"

"Mm... entahlah, aku tidak bisa berpikir di tempat ramai seperti ini." Keluh Lena.

"Elena... aku ingin jujur bahwa... selama satu minggu kita menghabiskan waktu bersama, apa kau merasakan sesuatu yang berbeda?"

"Ya... aku rasa, aku sangat membutuhkan waktu untuk sendiri dan jauh dari orang-orang." Balas Lena sarkastik, meskipun ia tahu apa inti pertanyaan Maximilian.

Max tak berkutat lagi, jawaban Elena cukup membuat mulutnya terjahit rapat.

"Max, bisakah kau mengantarku pulang sekarang?"

(...)

"Apa kau sebegitu bencinya padaku?" Max menyilangkan kedua tangannya kesal. Bibir tipisnya sedikit cemberut, alisnya yang lebat menukik tajam.

"Aku tidak, aku tidak mengatakan bahwa aku-"

"Tapi itu sangat tersirat, Elena Wieler. Dari setiap ucapanmu, ku rasa aku yakin bahwa kau tidak menyukaiku." Lirih Max.

"Maximilian, itu sangat tidak benar. Aku sangat mengagumimu, aku melihatmu sebagai pemuda yang sangat mapan dan populer. Tapi, yang membuatku membencimu adalah... kau mengakui semua itu. Kau mengakui ketenaranmu di dunia bisnis mode itu. Kau terkesan sangat arogan untukku, Max. Maaf untuk mengatakan ini. Aku hanya mengingatkan agar kau tidak hancur akibat kesombongan itu."


Wajah Maximilian tampak memerah, "Aku sangat menghargai itu, Elena. Tapi Elena, yang kau bicarakan itu... dia sebenarnya adalah adikku... Killian."

Bola mata dengan iris hijau milik Elena membelalak, mulut Elena terbuka panik, "M-maksudmu... tidak, tidak mung... kin. Maximilian... K-Killian, kau bercanda."

Terdengar tawa Maximilian memenuhi sudut restoran tempat mereka berada saat itu. Elena menggigit bibirnya sembari mengernyitkan alisnya malu. Elena tersenyum dengan perasaan malu yang menimpanya.

"Aku menahan tawaku sebisa mungkin, Elena. Tapi... kau terlalu... astaga, kau sangat lucu!" Maximilian tertawa terpingkal-pingkal.

"Baiklah, maafkan aku. Jangan mengatakannya pada adikmu, ku mohon!" Elena meraba permukaan meja, meraih kedua tangan Max dan meminta permohonan.

"Kau harus memaklumi semuanya, Max. Kau tahu aku tidak bisa melihat. Jadi aku tidak bisa membedakan mana Maximilian dan mana Killian." Elena tersenyum lebar.

"Astaga, Elena," Max mengusap tangan Elena dengan lembut, "tapi aku sangat setuju dengan pandanganmu terhadap Killian. Kau melihat semuanya menggunakan hati dan logikamu. Aku sangat kagum."

"Ya Tuhan... Max, aku sangat malu!"

Maximilian mengusap puncak kepala Elena dengan lembut kemudian mengacak-acak rambut Elena, "Habiskan makananmu, kita akan segera pulang."

DUST IN THE WINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang