Setelah seminggu berlalu, Radit belum pernah menghubungiku sama sekali. Never! Kualihkan saja pikiranku pada rencana awal. Aku sudah berada di tempat ini dari sejam yang lalu tapi Rein tak kunjung datang. Ya, aku berada di gedung yang telah kubeli.
Sebuah mobil berwarna gelap berhenti di parkiran depan gedung. Aku melihatnya dari lantai dua dan tepat sekali, itu adalah mobil Rein. Wait... kenapa dia duduk di samping kursi pengemudi? Dia tak pernah bersama sopir setiap kali jalan.
"Oh, no... Dia bersama Radit." Dasar Rein gila dan Kakak laki-lakinya juga sama... menyebalkan.
Pikiranku belum teralihkan dari lantai bawah dan lihat saja. Radit mendapatiku sedang melihatnya dari cendela. Sayangnya kondisi ini terlalu terburu-buru, baru saja Kent pergi... sudah hadir pula laki-laki ini mengganggu pikiranku.
"Hai, nona..." Sapa Rein menggoda.
"Oke, aku sudah menunggumu dari sejam yang lalu. Kea dan Aryo sedang mengurus properti untuk tempat ini." Aku mencoba protes.
"Maaf, aku membuatmu menunggu..." Jawab Radit. Kenapa jadi dia yang minta maaf...
Radit duduk dengan tenang, aku dan Rein sudah memulai pembicaraan. Kami menata konsep yang sudah kami pilih sebelumnya. Mengatur promosi terbaik dan mengupayakan mencari guru terbaik untuk program kami. Ya... kami membuka lembaga kursus Bahasa Inggris untuk anak-anak. Hanya anak Sekolah Dasar, sementara waktu kami memfokuskan program ini untuk kalangan usia mereka. Pengalaman saat kuliah tak bisa mengalihkanku dari dunia ini; anak-anak, dan berupaya untuk mengajar bahasa Asing untuk mereka. Kuharap ini akan berjalan sesuai rencana.
Dua jam kemudian, rupanya aku tertidur.
Kugosok-gosok mataku, menyadari jika aku meletakkan kepalaku dibahu Radit membuatku seketika berdiri. Sedangkan laki-laki itu mengangkat kedua bahunya, menarik kedua tangannya ke atas. Mungkin dia merasa pegal, tapi tetap saja aku tak akan berterima kasih untuk sekarang.
"Dimana Rein?" Tanyaku setelah melihat sekeliling dan tak kudapati siapapun di gedung ini kecuali kami.
"Dia sudah pulang bersama Aryo dan Kea." Jawab Radit sambil memijat-mijat bahu kirinya.
"Lalu Kak Radit ngapain masih di sini?" Tanyaku jengah.
"Kamu pulas sekali tidurnya, kami tak tega membangunkanmu. Biar aku yang mengantarmu pulang." Jawabnya. Seenak dengkulnya saja dia ini.
"Aku lapar, kita makan dulu ya." Mataku lebih memilih untuk memelototinya namun dia memilih untuk tenang-tenang saja dan adem ayem.
"Wah, parah sekali teman kecil Kak Langga ini." Rutukku dalam hati. Padahal beberapa hari yang lalu dia tak pernah menghubungiku atau bahkan mengucapkan salam perkenalan. Dasar, Radit!
***
Lima belas menit kemudian, kami sampai di sebuah tempat makan Ayam Bawang Cak Abit. Aku dan Kent sering ke sini. Jadi, aku berharap Kent tak ada di sini sekarang.
"Kamu pesan apa, De?" Tanya Radit sambil membolak-balik menu makanan.
"Ayam panggang." Jawabku singkat, sepertinya aku harus mencuci mukaku agar kantukku pergi.
"Minumnya?" Tanyanya lagi. "Es jeruk saja... Jadi, ayam panggangnya utuh satu porsi, nasinya dua, ... minumnya es jeruk dua." Tutur Radit pada pelayan.
"Baik, mas.... Ditunggu ya." Jawab pelayan pada Radit.
"Lalu, kenapa kamu bertanya aku mau minum apa? Toh kamu juga yang memesannya." Jawabku kesal.
"Rein bilang, itu minuman yang kamu suka." Ucapnya menjelaskan.
"Yayaya... kamu sepertinya mendapat banyak informasi dari Rein atas diriku. Sedangkan Kak Langga tidak mau menjelaskan dirimu sama sekali." Kesal, sungguh pikiranku kesal terhadap Radit.
"Aku ke toilet dulu, ya." Ucapku setelahnya.
Kakiku hafal dimana letak toilet di tempat ini. Langsung saja kakiku meluncur tanpa basa-basi. But,... sayang sekali. Aku belum mendapat kemenangan dimanapun. Ku dapati Kent dan... sepertinya itu Dinar. Semoga aku salah.
Ternyata, mata Kent mendapatiku sebelumnya. Kakiku melangkah tergesa menuju toilet. Ku basuh mukaku dan berpikir bersih di dalam, menyadarkan diriku bahwa aku dan Kent telah berakhir. Sepuluh menit kemudian aku keluar.
"De,... " Suara tak asing memanggilku. Ah ya, Kent benar-benar menghampiriku.
"Iya, syukurlah... Aku melihatmu bahagia, Kent." Aku berusaha menampilkan senyum bahagia di hadapannya.
"Dengan Rein?" Tanyanya terlihat mengintrogasi.
"Dengan Kakak-nya Rein." Jawabku jujur.
"Radit...?" Bego sekali kau De, Rein dan Radit adalah saudara sepupu. Pasti Kent tau siapa Kakaknya Rein.
"Eh, iya... " Cengiran kebodohanku pasti terlihat jelas di mata Kent.
"Selamat menikmati makan siang dengan Dinar ya, aku harus segera kembali." Ucapku terburu-buru meninggalkan tempat itu. Pastilah, Kent tak akan mengejarku.
Pesanan kami ternyata sudah ada di meja makan. Radit masih menungguku sebelum menyantapnya. Kami berdua terdiam, kunikmati saja makanan ini. Tidak menghabiskan waktu satu jam untuk menyelesaikannya. Kami akan beranjak pergi.
Oh, tidak... bersamaan dengan keluarnya Kent dan Dinar dari tempat ini.
"Kapan kau pulang, Bang?" Ucap Kent dengan menepuk punggung Radit, mereka terlihat akrab.
"Hai, Kent... sudah seminggu. Mainlah ke rumah." Jawab Radit.
"Ayo, De... Mama memintamu untuk mampir dulu ke rumah." Tambah Radit dengan menggandeng tangan kananku.
Aku mengikuti Radit, sedang Kent terlihat menaruh kesal padaku. Eh, bukan... Dia pasti kesal pada Radit. Sekilas aku melihat Dinar, gadis itu memang cantik bak Dinar berkilauan. Jelas saja orang tua Kent lebih memilihnya.
"Sudah puas, De?" Tanya Radit. Mobil yang kami tumpangi-pun berjalan. Tapi aku belum mnejawab apapun.
"Aku cukup mengenalmu, tak sekedar itu... aku mengetahui semua tentangmu." Jelas Radit.
"Tak perlu bercerita bagaimana hubunganmu dengan sepupuku itu, aku sudah mengetahuinya sejak bertahun-tahun lamanya." Penjelasannya membuatku lebih melongo.
"Apa? Jadi maksudmu kau tau banyak tentangku, dan aku tak tau apa-apa tentangmu, Kak?" Mengerikan sekali laki-laki ini.
Dia hanya meninggalkan senyum. Oke, aku kalah banyak di sini. Dia mengetahuiku banyak, dan kau tidak. Awas kau, Radit! Aku akan mencari tau tentangmu hingga ke ujung jari kelingkingmu sekalipun.
***
Selamat membaca, ya
Sorry, masih amatiran :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Sweet Proposal
SpiritualDesember, bulan itu bukan akhir dari cerita ini. Itu bulan di mana skenario pertemuanku dengan laki-laki itu. Aku suka semua hal darinya, apalagi suaranya. Entahlah, kudengar itu menenangkan. Bahkan sebelum pertemuan. Aku berusaha menjaga perasaan i...