#3 - Yang Tertukar...

59 4 0
                                    

Meskipun ayah Tania agak terlambat menjemput dikarenakan motor lama ayah yang tiba-tiba mogok, mereka sampai di Pengadilan sebelum nomor Tania dipanggil. Disana sudah banyak puluhan atau mungkin lebih dari seratus orang yang menunggu nomornya dipanggil. Tak sedikit laki-laki maupun perempuan yang masih berseragam seperti Tania saat ini. Dan beberapa diantaranya Tania kenal sebagai teman satu sekolahnya dari seragam yang mereka pakai.

Ayah menyerahkan selembar kecil busa hati berwarna merah dengan nomor diatasnya yang ayah ambil setelah mengantar Tania ke sekolah. "Itu nomor kamu. Tunggu sampai nomor kamu dipanggil," ucap ayah sedikit berteriak karena harus bersaing dengan speaker yang menggaungkan nomor demi nomor.

Tania mendapat nomor antrian 408 dan sekarang sudah mencapai angka 370 sampai 390. Sebelumnya hanya sepuluh angka, namun kini dua puluh angka dipanggil bersamaan, demi mempersingkat waktu.
Tania menajamkan telinganya di ambang pintu ruang sidang yang terbuka lebar. Namun keramaian diluar terasa mendominasi pendengarannya.

"Masuk, gih. Ayah tunggi disini."

"Tapi, Yah—“

"Kamu takut?"

Tania mengangguk dengan enggan. Malu, sebenarnya. "Gimana kalau Tania ditanyain kenapa enggak pake helm? Terus kalo Tania jawab demi dapet voucher diskon dari toko kue Mamanya Kanya, apa hakimnya bakal percaya? Gimana kalo pak hakim malah memburu dan mojokin Tania? Tania nggak bisa—“

"Jangan ngekhayal yang macem-macem, Tania. Hadapi dan jalani tanpa pikiran-pikiran buruk itu hingga kamu bisa melewatinya tanpa perasaan takut."

Ucapan menenangkan dari ayahnya mampu melenyapkan perasaan melilit di perutnya. Untuk sekejap. Begitu Tania mengiyakan dan duduk di antara jejeran bangku di dalam ruang sidang, telapak tangan Tania lembab. Beberapa kali Tania menoleh ke belakang, sekedar meyakinkan diri bahwa ayahnya selalu berada disana dan melambaikan tangannya. Dan juga menunggunya, bukan meninggalkannya. Dan kekehan geli dari ayah sudah cukup untuk membuatnya menemukan keberanian untuk menghadapi sidang pertamanya.

Seorang laki-laki dengan seragam sekolah mendekatkan mic ke arah mulutnya, sejenak suara lengkingan khas mic terdengar memekakkan telinga, namun saat nomor kloter Tania dipanggil, jantungnya berdegup cepat. Ia meminta maaf pada ayahnya di dalam hati, karena tak bisa ia pungkiri, ketakutan itu kembali muncul.

Tania menoleh, untuk terakhir kali seakan sedang melempar permintaan tolong pada ayahnya untuk menyelamatkannya dari ketakutan ini. Tapi yang ia lihat, ayahnya terkekeh kembali. Mungkin tanpa diketahui Tania, ayahnya menertawakan kepengecutan Tania yang berbanding terbalik dengan segala keberanian ayah Tania.

Tapi tentu saja itu hanya khayalan lain Tania saat dilanda takut, gelisah dan cemas.
Hakim mempersilahkan keduapuluh pelanggar lalu lintas untuk duduk di jejeran kursi yang sudah disediakan di hadapan hakim. Tania mendapat kursi tengah yang membuatnya seperti seorang ketua pelanggar lalu lintas.

"Nomor tiga ratus sembilan puluh satu," panggil hakim. Seorang pria dengan jenggot dipilin berdiri dan menunjukkan busa hati merah bernomor miliknya. Hakim memgangguk sekilas, mengiyakan kebenaran nomor milik pria itu dengan nomor yang hakim panggil, "tidak mempunyai SIM dan tidak menyalakan lampu di siang hari, denda seratus tiga puluh lima ribu," kemudian palu diketuk dua kali pertanda keputusan hakim yang sudah tak bisa diganggu gugat.

Tania menganga. Ia menoleh ke belakang, menatap ayahnya dengan arti pandangan kurang lebih seperti, 'hanya seperti itu?' lalu disusul dengan anggukan singkat ayahnya yang lengkap dengan senyuman.

Kini perutnya tak semelilit sebelumnya.

Cos-Ple

"Lah kok bisa?"

Setidaknya sudah tiga kali Tania mendengarkan kalimat itu saat ia mengatakan bahwa STNK yang ada ditangannya bukan atas nama ayahnya.

Tania hanya menghela napas dan menjawab pertanyaan dari tiga anggota keluarganya dengan gedikkan bahunya.

Memang, Tania tak mengecek ulang STNK yang ia terima setelah membayar uang denda karena tak ingin berlama-lama dikerubungi banyak orang yang enggan berbaris rapi. Tania juga tak melakukannya saat sudah kembali ke hadapan ayahnya karena ingin dengan segera meninggalkan teman mengobrol ayahnya yang sebelumnya sudah seenaknya menghembuskan asap rokoknya ada Tania. Ia juga tak mengeceknya saat ayahnya mengeluarkan motornya dari parkiran dan bahkan tak memikirkan apapun tentang kemungkinan tertukarnya STNK, karena dengan jelas ia melihat surat tilang dengan namanya di depan STNK yang kini ia terima.

Hingga akhirnya saat Je akan melakukan kebiasaan lainnya; nongkrong di warung kopi milik temannya untuk mendownload anime-anime lainnya. Tania yang sedang seru menonton sebuah talkshow bersama ibunya dan Madha, terpaksa menghentakkan kaki dengan sebal begitu Je menagih STNK.

Tania mengeluarkan STNK itu dari saku seragamnya lalu memandangi bekas staples yang masih menempel disana. Begitu ia membalikkan STNK untuk mencopot staples-staples itu, barulah ia sadar bukan nama ayahnya yang menjadi pemilik STNK tersebut. Bahkan motornya juga berganti tipe.

Lalu secara bergantian, Je, Madha dan ibunya melontarkan pertanyaan yang sama.

"Lah kok bisa?"

Empat! Dan itu dari adik laki-lakinya yang baru saja keluar dari kamar sambil terkekeh.

"Geble, lo," tambahan dari Mirdash yang berhasil mendapatkan lirikan tajam ibunya.

"Ya mana gue tau, Ble," balas Tania. "Terus ini gimana dong, Yah?"

Ayah Tania yang sedang bermain ponsel di hp symbian itu mendongak, "biar ayah yang ngatasin."

"Gimana caranya?"

"Ya, ke kantor polisi, mungkin," ucap Ayah yang sepertinya masih ragu dan tak tau apa yang harus dilakukan. "Siniin, deh."

Tania menatap tangan ayahnya yang menengadah ke arahnya. Lalu samar-samar terdengar ucapan Je kemarin, 'lo yang berbuat, lo yang bertanggung jawab' yang berulang.

Plak!

"Aduh, sakit, Setan!" teriak Je sambil mengelus pipinya.

Tania mendengus, "lagian siapa suruh bisik-bisik di telinga gue setelah elo makan pete, HAH?"

"Anjir, bau ee luwak!" pekik Je.

"Ini Luwak White Koffie, Kampret!"

"Kopi nikmat, nyaman diminum," saut Mirdash.

Lalu Madha ikut-ikutan, "yak, satu juta rupiah dipotong pajaaaaaaaak!"

Cosplay CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang