Empat Mata Satu Hati
Angin malam yang semilir, tak lagi menyejukkan hati. Mata malam menjelajahi waktu, hanya menipu diri sendiri. Tak ada lagi kata-kata yang dapat menganjuk hati. Aku hanya menatap kelelahan yang terdedah dalam perjalanan ini.
Dan pada gundukkan tanah itu, tadi siang engkau terbaring untuk tidur selamanya. Sementara aku terbaring di ranjang putih. Banyak orang yang mengantarkanmu dalam tidur panjang, sedangkan aku di ruang kotak, sendiri. Hanya tetes demi tetes darah dalam tranfusi yang menemai. Sesekali perawat datang, memeriksa. Mencatat. Kemudian pergi,
Sungguh.
Mengantarkan ke peristirahatanmu saja, aku tak dapat. Padahal kita sudah berjanji untuk saling berbagi dalam segala hal. Termasuk suka dan duka. Kini hanya terbaring di ranjang, menatap langit-langit, atau menatap cecak yang melintas di dinding. Hanya itu yang ku bisa. Dan doa meluncur berkali-kali dari mulutku.
***
Satu bulan kemudian.
Langit kelabu. Hujan turun lagi. Tetesan air menyapu debu jalanan kota Kembang. Aku yang sedari tadi terdiam di depan nisan itu. Menatap sebuah nama yang tak akan mungkin jauh dari ingatan ku terukir di sana.
Kevan Devorian Abas
21 Maret 1986 – 18 Desember 2004
Aku teringat pertemuan terakhir ku dengannya. Kevan mengendari mobil peraknya dengan perlahan. Sedangkan aku duduk di bangku penumpang tepat di sampingnya. Bandung dalam dingin pagi hari, mentari baru akan menampakkan wajahnya di belahan langit timur. Semuanya baik-baik saja sampai handphone Kevan berdering.
“Sorry ka, sekarang gue lagi nyetir. Nanti gue telepon lagi yah!” Sahut Kevan. Aku diam.
Kevin Devorian Abas namaku. Kevan Devorian Abas namanya. Kami terlahir dari satu rahim, berwajah sama, dan diberi nama serupa. Kevan yang lahir beberapa detik lebih dahulu selalu saja mendapatkan apa yang dia inginkan, tidak seperti ku.
“Barusan telepon dari siapa Van?”
“Biasa dari Malaika Vin” Jawabnya sekenannya.
Termasuk urusan perintaan aku selalu saja iri dengan Kevan. Malaika, salah satu gadis paling manis di sekolah kami. Sejak pertama kali aku melihatnya, aku sudah langsung jatuh hati pada gadis manis itu. Namun keberuntungan tidak memihak padaku, beberapa hari kemudian aku mendengar jika Malaika telah berpacaran dengan Kevan.
“Gue boleh ngomong jujur sama lo nggak Van?” Tanyaku.
“Humm..”
“Sebenernya sejak awal gue lihat Malaika, gue udah suka sama dia”
Tidak ada jawaban darinya. Suasana berubah menjadi sunyi. Tatapan dingin Kevan menatap lurus ke depan. Aku tidak menyangka jika itu saat terakhirku dapat melihatnya.
Kejadian itu terjadi begitu cepat. Truk yang berada di depan kami secara tiba-tiba kehilangan kendali. Nampaknya ban belakang truk itu pecah. Kevan yang terkejut dengan cepat membanting stir. Belum juga Kevan sempat mencoba menghentikan mobil kami…. BRAAKK! Mobil kami menyerempet pohon tua di tepi jalan. Sebelum akhirnya terguling, kemudian hampir seluruhnya masuk jurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Empat Mata Satu Hati
Teen FictionAku tak percaya lagi dengan cinta, karena semua yang kucinta pergi meninggalkanku.