Dua belas : Ada rasa?

4.1K 618 282
                                    

Naruto sudah tahu sejak lama kalau Sasuke itu ibarat buah stroberi yang belum masak. Bentuknya manis tapi rasanya asem luar biasa.

Intinya, Sasuke itu asem.

Kecut.

Boleh ditambah kopi supaya pahit. Sedikit.

Karena begitu mereka sampai di tempat parkir dan melepas helm, Sasuke membiarkan dirinya diseret paksa oleh beberapa gadis yang menanyakan kebenaran tentang hubungan mereka berdua.

Dan meninggalkan Naruto membeo di sisi Arianna seperti orang bodoh.

"Hei, Arianna, pacarmu selingkuh tuh, minta maaf padaku juga belum," gumamnya pada sepeda motor Sasuke.

Memutuskan untuk tidak lagi peduli, gadis itu menyusul langkah mereka di belakang. Mendengus samar kala mendengar seruan Shuukaku yang mendekat untuk berjalan bersama.

"Guy- sensei tidak masuk kan?" tanya pria itu.

"Iya, melahirkan," balas Naruto kalem setengah malas.

"Mulutmu."

"Utakata yang bilang."

Kekeh geli terdengar sekilas. "Sembarangan bicaranya."

"Memang," jawab Naruto. Melirik sejenak pada Sasuke yang menoleh padanya dengan wajah masam. Mengibaskan tangan untuk mengusir jemari nakal yang menggandeng lengannya. Meminta gadis- gadis di sekitarnya untuk membiarkan dia pergi lalu menghampiri Naruto.

"Apa? Kenapa kesini?" tanya si gadis Namikaze. Melirik sekilas pada teman- teman perempuannya yang melempar delikan dan makian kesal untuknya.

Tsk. Belum jelas jadian saja sudah begini cobaannya.

"Mau menjaga Ratuku dari godaan preman," jawaban Sasuke terdengar.

Naruto mendecih. Shuukaku mendelik. "Siapa yang kau sebut preman?"

Tak mengindahkan kalimat tanya dari Shuukaku, Sasuke memilih untuk memindai keadaan sekitar. Memastikan kutu loncat bernama 'Sai' tidak sedang mengintai calon istrinya dan kembali menyatakan perasaan.

Sementara Shuukaku menatap keduanya bergantian. Sibuk dengan berbagai spekulasi mengenai hubungan keduanya dalam pikiran. Bertanya- tanya bagaimana mungkin dua manusa beda ras dan spesies ini bisa menjalin sebuah hubungan. Yang satu spesies rubah betina dan satunya lagi makhluk kegelapan yang gemar ganti pacar.

Mau- maunya Naruto sama lelaki begini. Mending juga Sai. Lebih mending lagi dirinya. Sudah ganteng, rajin menabung, rajin mencontek, sayangnya sudah nyaris tujuh belas tahun menjomblo.

Shuukaku menggeleng secara imajiner. Mengusir pikiran konyol dari otak berkaratnya yang cuma diisi rencana jangka panjang untuk menggapai cita- cita menjadi pemilik bengkel besar di Konoha. Membatin bangga dengan kelebihannya, meski malas belajar, dia tetap memiliki cita- cita mulia.

Meh.

Pemuda itu menarik nafas panjang.

"Kalian betulan pacaran?" tanyanya.

Sasuke dan Naruto menoleh bersamaan.

"Tidak/ Iya."

Shuukaku mendengus. "Serius. Aku tanya kalian ini pacar tidak? Aku dengar kalian membuat heboh taman depan sekolah istirahat kemarin. Aku sedang di toilet, main game, jadi aku tidak tahu."

Naruto menghela nafas panjang. Enggan membalas dan berlalu begitu saja menaiki tangga menuju lantai dua di mana kelas mereka berada.

"Wah? Ngambek?"

"Bukan." Sahutan dari belakang terdengar. Utakata menyusul langkah dua pemuda di depannya. "Dia sedang merah, bukan sedang ngambek," lanjutnya. "Dan Naruto ngambeknya tidak begitu. Dia itu cewek lemah lembut. Kalau rambutmu dijambak, kakimu ditendang, itu baru namanya dia ngambek."

Lemah lembut dari mana?

"Merah?" Sasuke mengernyit. Berpikir sejenak. Lantas bergumam o begitu paham maksudnya. "Pantas saja kemarin marah- marah," simpul Sasuke.

"Kau juga marah- marah kan? PMS juga?" tanya Utakata pada Sasuke. Kikikan geli terdengar dari arah Shuukaku.

"Aku bercanda. Jangan marah," lanjut Utakata begitu mandapati si Uchiha melempar tatapan tajam untuknya. Setelahnya, Sasuke berjalan lebih dulu untuk menyusul Naruto.

"Galaknya. Sudah seperti macan bunting," Shuukaku mendecih. Menatap punggung Uchiha yang menjauh.

Utakata terkekeh singkat. "Dia macan bunting. Lalu Naruto apa? Badak lepas?" sahutnya.

Lantas keduanya tergelak heboh. Menuai lirikan aneh dari beberapa siswa.

"Mau seperti apapun, Naruto tetap sahabatku. Jadi jangan menghinanya, ya?" lanjutnya dan menepuk bahu temannya singkat, menuai kernyitan aneh dari Shuukaku.

Yang bilang Naruto seperti badak lepas tadi memangnya siapa?

"Sebenarnya aku malas masuk sekolah. Aku ingin minta ijin dan pulang saja," ujar Utakata lagi. "Tapi aku bingung mau ijin apa," tambahnya.

"Bilang saja kau sedang nyeri datang bulan."

"Tapi aku laki- laki."

"Yang benar? Coba sini kulihat-"

"Wah, kurang ajar. Lama menjomblo membuatmu putus asa mencari wanita ya, Shuu?"



"Sialan."

..
..
..

Mengabaikan tatapan dari banyak pasang mata dan decihan lirih yang terdengar samar dari Sakura, Naruto tetap melangkah tidak peduli menuju kelasnya yang bersebelahan dengan kelas Sasuke.

Sementara di sebelahnya, pemuda Uchiha memalingkan wajah malas kala melihat lirikan Sakura dan Ino padanya, mencari perhatian. Memilih untuk menjajari langkah si calon istri yang kelihatannya sedang tidak sehat.

Hoo, sudah tobat?

Barangkali saja.

Naruto mendengus. Melihat Konan, bendahara di kelasnya yang berdiri di depan pintu kelas menoleh padanya.

"Sasuke, kau mengabaikan pesanku semalam? Kau bilang kemarin, kita akan pulang bersama hari ini," ujar Konan. Menghampiri Sasuke.

Sasuke meringis samar. Naruto memutar bola mata bosan.

Tobat apanya? 'Tobat my ass,' batinnya. Jemu.

Berniat melanjutkan langkah sebelum akhirnya Konan memanggilnya juga. "Naruto."

"Apa? Mau bilang jangan dekat- dekat si Teme!? Jangan mau diajak kencan Teme!?-"

Loh. Nge gas.

"Bukan," balas Konan kalem.

"Lantas?"

"Hutang iuran kas mu selama tiga minggu cepat di bayar sebelum berbunga."


Shit.

Dan Sasuke tergelak.


"Ngomong- ngomong, Konan. Aku akan pulang dengan Naruto nanti," balas pemuda itu kemudian seraya merangkul bahu si gadis Namikaze.

Aih, hari ini kok Sasuke bahagia sekali, ya ...

. . .

Enemy, oh, my enemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang