Inilah

27.1K 1.3K 29
                                    

Peristiwa kecil yang sering luput dari kesadaran kadang berpengaruh besar untuk masa depan
~Dua Cincin~

Kain gorden putih itu melambai-lambai pelan di ambang jendela kamar Ratih. Ia sengaja tidak menutup jendela--membiarkan angin mengisi ruang kamarnya--membuat gorden itu bergerak melambai. Jam sudah menunjukkan pukul dua malam, namun mata Ratih tak mau terpejam.

Ia memandang Raka yang tengah tertidur pulas di sisi kanannya. Dengkurannya pelan, membuat malam tidak diisi dengan keheningan semata. Ratih menatap wajah pulas itu lekat-lekat, berusaha menerka apa yang sedang mengisi mimpi suaminya malam ini. Seutas senyum tersungging di wajah Raka yang masih terpejam lelap.

"Mas sedang bermimpi ya?" tanya Ratih pada dirinya sendiri.

Senyum di wajah Raka pudar sejenak, lalu senyum itu hadir lagi. Kali ini disusul dengan suara Raka yang sedang mengigau.

"Bayi yang lucu." ucap Raka pelan dalam tidurnya.

Ratih terkesiap. Wajah senangnya saat memandangi Raka tadi berubah menjadi muram. Luka kecil dihatinya seolah disiram dengan perasan nipis. Pedih. Ratih segera merebahkan tubuhnya diatas kasur. Membenamkan diri dalam selimut membelakangi Raka.

Air matanya menetes. Ia yakin, akan terjadi perubahan besar atas keluarga ini--tidak, mungkin atas Ratih saja--yang membuat posisi Ratih semakin terpojokkan. Air mata kini membanjiri air mata Ratih. Ia semakin sulit tidur. Kata-kata Fatimah tadi terngiang lagi di telinga Ratih.

"Kenapa harus bertingkah seperti itu? Seharusnya kau senang Ratih, akhirnya Raka memiliki keturunan."

"Bu, ibu tidak mengerti rasanya menjadi diriku. Tolong jangan begini bu."

"Ratih. Kalian sudah berumah tangga selama sepuluh tahun, dan kau tak juga melahirkan keturunan. Ah sudahlah, ini hanya bentuk rasa cemburu. Belajarlah untuk hidup barumu ini."

Ratih membuang nafasnya berat. Benar-benar pelik rasanya. Tiba-tiba hujan deras turun mengguyur kota yang sedang terlelap itu. Ratih buru-buru menutup jendela kamarnya, cipratan-cipratan air ditakutkan akan masuk ke dalam kamarnya.

"Hh, langitpun sepertinya ikut bersedih melihat keadaanku."

Setelah menutup jendela rapat-rapat, Ratih kembali beranjak menuju ranjangnya. Bukan berniat tidur, ia hanya mendaratkan kecupan di kening Raka. Kecupan yang cukup lama. Ia mengusap pipi Raka lembut, seolah mencurahkan kegundahannya lewat kasih sayang.

"Aku akan bertahan mas. Berusaha selalu bertahan."

Ia lalu keluar kamar. Keluar rumah, membawa mobilnya ke rumah makan 24 jam, menghabiskan malam dengan semangkuk mie pedas kesukaannya.

💍💍💍

"Au." ringis Ratih. Sikunya terbentur ke sisi pintu. Ia menatap sebal ke arah lelaki yang beradu badan dengan dia barusan.

"Maaf mbak..." ucap lelaki itu sungkan. Ratih hanya mengangguk.

"Mbak yang tadi malam di cafe itukan?"

Ratih mengangkat alisnya sebelah. Sepertinya wajah lelaki ini tak asing baginya.

"Kebetulan sekali ya mbak. Bisa bertemu dua kali dalam waktu singkat." ucapnya ramah.

"Oh iya, saya baru ingat." balas Ratih.

"Mbak ngapain datang kesini jam tiga subuh begini?"

"Susah tidur. Mungkin lebih baik makan saja."

Lelaki itu hanya ber-oh-ria.

"Saya mau makan mie pedas sebenarnya, mbak sendiri?"

Ratih mendelik kaget. Kenapa bisa sama ya? Batin Ratih.

"Saya juga."

Lelaki itu menggeleng sambil terkekeh pelan. Ia seolah bahagia dengan kebetulan yang mengherankan barusan.

"Kalau be-"

"Bicara jangan disini, menghalangi orang lewat saja." ketus seorang wanita paruh baya.

Ratih dan lelaki itu tersentak, mereka baru sadar kalau sudah berbicara di ambang pintu dari tadi.

"Duduk disana saja, bagaimana?" ajak lelaki itu. Ratih menyetujuinya. Ia langsung mengekor di belakang lelaki itu. Entah karena apa, perasaan Ratih kini lebih tenang. Entah karena suasana rumah makan ini, atau karena hal lain?

💍💍💍

Makanan sudah tersedia diatas meja. Hari ini terhidang lebih banyak makanan dari hari-hari sebelumnya. Bahkan hari ini disajikan buah-buahan. Sejak pukul 5 subuh tadi bi Ranum sudah pergi ke pasar untuk menyiapkan menu sarapan pagi ini. Kenapa hari ini berbeda?

Ratna duduk perlahan tepat di sisi kanan meja, sementara Ratih sudah duduk manis tepat dihadapannya. Raka di sisi ujung meja, tepat diantara Ratih dan Ratna.

"Pagi ini ibu sengaja menghidangkan makanan-makanan sehat. Demi calon cucu ibu." ucap Fatimah ramah dihadapan mereka bertiga.

"Ibu tidak ikut sarapan?" tanya Ratna.

"Ah tidak. Ibu sudah makan duluan. Kalian, ayo dimakan sarapannya." jawab Fatimah seraya berlalu dari hadapan mereka.

Ratih mengabaikan percakapan Ratna dan Fatimah itu. Ini terlalu pagi untuk mendengarkan hal yang memanaskan hati, pikirnya. Tangannya dengan luwes menyendoki nasi ke piring Raka dan piringnya.

"Kak." ucap Ratna sembari menyodorkan piringnya yang masih kosong.

"Kaukan bisa ambil sendiri." ucap Ratih yang membuang pandangannya ke arah lauk diatas meja.

"Ehm." Raka berdeham.

"Sini aku sendokkan." tawar Raka yang kini meraih piring Ratna.

Mata Ratih membulat, rahangnya mengeras. Ia menghela nafasnya kasar.

"Sudah ya. Masih pagi. Aku mau sarapan kita tidak diisi dengan rasa amarah." Raka meletakkan piring yang sudah berisi nasi itu dihadapan Ratna.

"Makasih ya mas." Ratna melemparkan senyumnya.

Raka tersenyum tipis lalu melirik ke arah Ratih. Sudut mata Ratih dapat menangkap lirikan itu. Lirikan yang bermakna seperti memohon. Ratih paham, iapun segera memperbaiki cara duduknya lalu menyantap makanannya.

Tidak baik bermuram hati di pagi hari. Hari harus disambut dengan senyuman, agar berkat datang mengisi waktu di sepanjang hari.

"Apa kujebak saja dia agar keguguran?" niat jahat timbul di hati Ratih. Ia segera menggeleng keras.

"Kenapa?" tanya Raka heran melihat tingkah Ratih barusan.

"Ah, tidak ada apa-apa mas." Ratih tersenyum tipis.

"Tidak. Cara bersih akan lebih memuaskan." gumam Ratih.

💍💍💍

Baca juga:




Dua Cincin (SEBAGIAN PART DIUNPUBLISH) Baca Ceritaku Yang On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang