Bagian 1: BERBURU RAHIM

554 57 5
                                    


Makhluk itu berpostur mungil dengan kuping meruncing bak kurcaci dan ujung ekor menggelembung. Rambut panjang tergerai berwarna hijau tua berkilau memberi aksen menarik pada kulit putih pucatnya. Wajah oval dihiasi bola mata zambrud dan bibir mungil merona nude peach. Tingginya tak lebih dari 150 cm. Bertubuh dan berparas perempuan walaupun tidak diketahui pasti apa jenis kelaminnya. Kostum yang dipakai mirip penari lakon perempuan dalam Tarian Srikandhi Mustakaweni. Bisa jadi Pendamping memang merupakan tiruan Srikandhi, sosok kemayu sekaligus tegas lagi bertanggung jawab atas tugas yang diembankan padanya. Pendamping merupakan sosok penjaga yang sakti mandraguna. Bedanya, Pendamping bukan ditugaskan untuk menjaga Jimat Kalimasada, tetapi Dewa Balakosa.

Hujan telah mengantarkan Pendamping mendarat di salah satu tanah Sumatra, tanah yang kotanya tidak sehiruk pikuk tanah Jawa. Meskipun demikian, dia masih bisa menemukan beberapa kemacetan di jalan raya sempit berkontur mendaki dan menurun. Tanah ini dikisahkan oleh banyak Pendamping yang pernah mengunjungi sebelumnya sebagai tanah Datuk Paduko Berhalo.

Datuk Paduko Berhalo konon adalah seorang keturunan dalam keluarga kerajaan Majapahit di Jawa yang bernama Adityawarman. Dia berpangkat menteri paling tinggi di Majapahit, tetapi memilih lari dari kerajaan Majapahit demi menutupi rasa kecewa atas kegagalannya menjadi raja. Di tanah Melayu ini kemudian dia berhasil menikahi seorang puteri suku Melayu dan menjadi raja.

Pendamping segera keluar dari tumpukan sampah sambil menggerutu. Seorang pemulung bersepeda motor tiba dan mulai memilah-milah sampah. Keranjang besi di belakang motor terpaksa ditumpangi Pendamping. Dia tidak punya pilihan kecuali bergabung dengan botol-botol bekas dan kardus.

"Woi, Bang, jatah aku itu. Main ambil bae!"

Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya datang merampas botol-botol di tangan pemulung lelaki yang tadi datang lebih dulu. Lelaki itu tampak geram. Ia lalu mengambil botol-botol lain yang masih teronggok di tumpukan sampah.

"Lah, masih berani kau ambil. Kupanggil anak aku sama kawan-kawannya baru kau tahu! Mau bibirmu jontor lagi?"

Si lelaki langsung menyodorkan botol-botol bekas dalam gengamannya dengan kasar pada si perempuan, "Nyoh, ambil! Makan! Kunyah ben wareg! Ben wetenge njeblug! Mampus! Modar kowe!" timpal lelaki itu lalu menaiki motornya dengan kesal.

"Ngomong apa barusan? Jangan kira aku ndak ngerti dengan omongan awak, yoh! Kujalin-jalin jadi sumbu kompor awak, tuh!"

Si lelaki langsung menarik gas motornya dan tidak lagi mau melanjutkan adu mulut dengan perempuan itu.

Pendamping mengikuti saja perjalanan si pemulung mengunjungi tempat-tempat pembuangan sampah lain yang tersebar nyaris di banyak tempat umum. Sampah tak beraturan berceceran di jalan. Orang-orang berlalu lalang tampak tidak peduli. Mungkin, mereka sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu. Malah beberapa kali, orang datang melemparkan bungkusan sampah ke tumpukan tersebut.

Menjelang sore, keranjang besi lelaki itu telah penuh. Dia tidak lagi menghampiri tempat pembuangan sampah. Lelaki kurus tersebut langsung melaju kencang hingga memasuki sebuah permukiman. Dia menghentikan motor di depan sebuah rumah besar dan langsung menurunkan karung berisi botol-botol serta lipatan kardus yang telah diikat dari keranjang besi motornya.

"Wak!" Dia memasuki rumah yang tampak lengang, "Wak Timah...," ulangnya lagi memanggil si penghuni.

"Iyo...," terdengar sahutan dari dalam. Seorang nenek muncul tergopoh-gopoh. "Taruh di situ bae. Koko Aliong sudah balek. Besok bae ditimbang Koko sebelum kau berangkat kerja lagi,"

"Wak ndak bisa nimbang?"

"Ndak, Har. Kalau mata tuaku ini salah melihat angka, nanti bisa-bisa dirimu merugi atau Koko yang buntung. Besok bae lah. Kan, sekalian nak ambil duit?"

Lelaki yang dipanggil Har tersebut menggaruk-garuk kepalanya. "Iyalah, Wak. Saya pamit pulang, ya."

"Iyo, Har."

Pendamping tidak berniat mengikuti lelaki itu lagi. Sinyalnya menangkap sosok perempuan hamil di rumah Wak Timah. Pendamping menguntit langkah si nenek dan mendapati seorang perempuan muda tengah hamil tua sedang terbaring di atas dipan tak berkasur di sebuah kamar.

"Sudah makan obatmu, Surti?" tanya Wak Timah menghampiri bufet tua di kamar tersebut dan membuka lacinya satu per satu.

Surti tidak menjawab.

"Aduh, habis ternyata. Mana duit lagi ndak ada. Kambuh pula penyakitmu nanti." Si nenek mengambil rantai besi dari dalam bufet, memasangkan salah satu ujung rantai pada kaki Surti dan ujung lain di kaki dipan, lalu kunci rantai diselipkan Wak Timah di pakaian dalamnya.

"Dengar baik-baik, ya Surti. Jangan kau pikir aku tidak sayang padamu. Kau cucuku. Satu-satunya sanakku. Rantai ini cuma pengaman, biar kau tidak keluar rumah sembarangan, biar kau bisa tunak di dalam rumah. Lihat akibat aku lalai menjagamu! Pulang-pulang perutmu malah jadi seperti ini. Entah siapa jantan yang sudah kurang ajar padamu. Ditanya pun kau tidak menjawab. Aku jadi merasa sia-sia menghabiskan uang membelikanmu obat. Tingkah lakumu tetaplah tidak waras! Eh, jangan pula kau salahkan aku karena tidak sanggup membelikan terus obat warasmu. Aku hanya berharap kegilaanmu ini cukup tahu diri dengan kondisi ekonomi kita, tetapi nyatanya, aku tidak bisa berharap begitu. Kau hanya waras dengan obat yang malah membuatku sableng!"

Surti tidak mau memandang neneknya. Si nenek tampak menghela napas, "Ya sudahlah, Surti. Mungkin, aku terlalu berharap banyak padamu." Lalu dia keluar kamar meninggalkan Surti.

Surti mengangkat kepalanya dari pembaringan. Dia tampak mengintip Wak Timah yang baru saja keluar. Setelah merasa yakin sang nenek tidak akan muncul, perempuan itu turun dari dipan kemudian berjongkok di lantai kamar.

Surti tampak terpaku sejenak, lalu mulai mengejan. Wajahnya jadi memerah.Usaha pertamanya tampak tidak berhasil. Dia kembali mencoba lagi untuk mengejan, masih belum juga berhasil. Surti kembali mengejan untuk ketiga kalinya dengan menahan napas lebih panjang, menyebabkan urat di pelipis dan lehernya bermunculan.

Akhirnya dia menghempas napas yang lama tertahan setelah merasa berhasil. Perempuan itu tampak lega. Senyum terkulum di bibirnya yang menghitam. Dia menyingkap pelan-pelan rok yang dikenakan. Lalu mengintip sesuatu di bawah kakinya sementara tangan kiri diulurkan ke bawah selangkangan.

Pendamping mengernyitkan dahi memperhatikan gelagat perempuan gila tersebut. Sementara si perempuan gila yang tidak pernah mengetahui kehadiran Pendamping, terus fokus pada keasyikannya. Perempuan itu meraih sesuatu yang berhasil dia keluarkan kemudian menjumputnya dengan geram.

"Mati kau! Mampus!" Dengan girang, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan mulai tertawa terbahak-bahak membuat Pendamping bergidik.

Sang nenek kembali muncul di ambang pintu kamar dengan wajah melotot, "Surti!!!" teriak Wak Timah langsung membungkam tawa Surti.

Sang nenek tergopoh-gopoh memasuki kamar dan buru-buru melepas rantai di kaki Surti, "Kenapa kau begitukan kotoranmu?! Sudah kubilang, kan, kalau mau buang hajat pergilah ke kamar mandi!" Sang nenek melayangkan jeweran panjang pada telinga Surti.

"Aaah...," si gila mengerang kesakitan.

"Sakit? Masih ngerti rasanya sakit?" Wak Timah tidak juga melepaskan jeweran. "Mana celana dalammu? Kenapa kau suka sekali melepas celana dalammu? Inilah akibatnya kau gampang dibuntingi orang!"

Surti meringis tanpa berani menjawab si nenek. Tubuh kurus perempuan gila itu tertunduk-tunduk mengikuti tarikan tangan Wak Timah yang menyeretnya ke kamar mandi.

Pendamping menghela napas sambil menatap Dewa Balakosa di dalam gelembung ekornya.

"Tidak perlu berkecil hati, Dewa. Menemukan kegagalan lebih awal membuat kita mempunyai kesempatan mencoba lebih banyak." hibur Pendamping pada Dewa Balakosa sekaligus dirinya sendiri.

Dewa Balakosa tampak menggeliat di dalam gelembung, menanggapi ujaran Pendamping. Mata bayinya mengerjap beberapa kali. Lalu kembali tertidur.

Waktu tersisa masih 64 jam.


Balakosa [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang