Sahabat atau cinta?

52 1 0
                                    

Sudah hampir seminggu setelah kejadian itu Nabila tak pernah lagi bertemu Chyntia. Terkadang rindu ingin menyapanya lewat  pesan singkat dan sekedar menanyakan kabar. Tapi hatinya tak sekuat itu untuk melakukannya. Bahkan hatinya lebih teriris, dua hal yang tak mungkin menjadi pilihan ; diam saja atau menceritakan yang sesungguhnya. Terkadang telintas untuk memberi penjelasan tentang apa yang didengar Chyntia waktu itu, tapi penjelasan seperti apa yang akan membuat sahabatnya itu mengerti. Pastilah Ia akan marah, terlebih Ia memang benar-benar pergi dengan David waktu itu. Yaa, meskipun tak bermaksud untuk menerima tawaran David jalan berdua, tapi fakta yang ada menyatakan hal yang berbeda.
“Hey, pagi-pagi begini sudah melamun?” Suara Fara membuyarkan seluruh lamunannya.
Ruangan kelas masih agak sepi. Hanya beberapa teman-teman sekelasnya yang sudah memasuki kelas, termasuk juga Fara yang baru saja sampai. Sebagian ada yang belum datang, OTW, bahkan ada juga yang sudah nongkrong dikantin. Begitulah teman-teman sekelasnya, mereka menyesuaikan jadwal yang ada. Mereka sudah sangat paham jika dosen mata kuliah hari itu akan datang terlambat, bahkan tak jarang beliau tidak datang sama sekali.
“Aahh, Ra, mengagetkan saja!”
Hari ini tumben sekali Ia tidak terlambat bahkan lebih dulu dibandingkan semua teman-temannya. Wajar saja, Ia memang pemakalah untuk mata kuliah jam pertama kali ini. Tak ada alasan untuk datang terlambat, apalagi setelah dosen sastra menegurnya kemarin. Entah apa yang Ia kerjakan yang membuatnya selalu terlambat. Padahal Ia sudah bangun bahkan sebelum subuh berkumandang, tapi.. yaa.. mungkin kebiasaannya ketika SMA dulu masih sangat sulit dihapuskan. Bahkan ketika Fara dan Salsa menegurnya jawbannya selalu sama.
“yaa,, maklumlah perempuan. Butuh waktu yang lebih didepan cermin. Hehe”
Terkadang kedua sahabatnya itu hanya dapat melayangkan tlapak tangannya didepan dahi dan menarik nafas dalam. Hhh.
Satu persatu teman-temannya berdatangan. Sampai akhirnya kursi-kursi yang sedari tadi melongo kesepian kini sudah penuh ditempati seluruh warga kelasnya. Hampir satu jam Ia menunggu. Teman-temannya sudah siap menerima mata kuliah, namun sayangnya pak Ramdhan belum juga datang. Sepertinya Ia tidak akan datang. Biasanya jika sudah telat satu jam, dosen pasti tidak akan datang dan hanya memberikan tugas, tapi kali ini tak ada berita apapun dari beliau.
“Bil mulai bae lah pembahasan makalah kelompok kau. Aku yakin pak Ramdhan idak akan datang.” Ucap Anton dengan bahasa Bengkulunya yang masih kental. Komting kelas dengan perawakan tinggi besar bagaikan penduduk Amerika asli, tepatnya suku Aborigin, ya meskipun Ia memang terlahir asli keturunan bengkulu.
“Tapi kamu bisa lihat sendiri kan itu.” Sambil menunjuk kearah teman-temannya yang begitu riuh dan gaduh.
Mahasiswa memang kadang dianggap sebagai pelajar dewasa yang sudah dapat mandiri. Namanya saja maha-siswa, derajatnya lebih tinggi dibanding siswa-siswa yang lainnya, demikian pula seharusnya sikapnya. Namun tak dapat dipungkiri, tak jarang sifat kekanak-kanakan dan kebiasaan sewaktu sekolah dulu belum bisa dihilangkan secara total. Mereka tak juga menyadari untuk segera fokus dan memulai perkuliahan secara mandiri tanpa kehadiran dosen.
“Husshh.. Diam.” Ucap Sandra sambil menempelkan jari telunjuknya didepan bibir. Namun kata-katanya itu tak juga diperhatikan. Suara pasar itu masih terus berlangsung.
“Bil pinjam handphone dong!”
Sandra yang terlihat boring memilih mencari aktivitas lain yang membuatnya tak lagi kesal dengan suasana kelas.
Tanpa fikir panjang Nabila langsung meraih handphone nya dari tas yang ia letakkan disamping kursi tempat ia duduk dan memberikanya pada Sandra. Bagi Nabila, Sandra bukan hanya teman sekelasnya. Sandra adalah satu-satunya teman yang berjuang bersamanya ketika awal semester untuk memasuki organisasi. Meski sekarang tak sedekat dulu, namun baginya wanita yang berbadan kurus tinggi itu menempati tempat istimewa dalam hatinya. Ia tak akan pernah melupakan perjuangan bersama itu. Bahkan setiap kali ia memiliki wewenang untuk merekomendasikan orang untuk mengikuti suatu kegiatan penting atau bahkan untuk menduduki suatu posisi, nama Sandra tak pernah tertinggal.
Sandra berlalu dari tempat Nabila duduk. Ia pindah kebelakang dan terlihat begitu seksama memainkan gadget Nabila. Entah apa yang sedang ia mainkan.
Astagfirullah, BBM dari kak David! Hatinya langsung berubah bergemuruh tak tenang. Akh, mungkin dia sedang browsing. Ia mencoba menenangkan diri. Lagipula dia tak pernah peduli dengan rahasia-rahasia Nabila, tak mungkin Ia membuka chatting-an nya dengan David.
“Mulai bae Bil, mereka pasti diam kelak.” Kali ini tampaknya Anton mulai kesal dengan teman-temannya.
“Oke deh!”
Ia dan teman-teman sekelompoknya sudah siap dengan lembaran kertas makalahnya. Nabila diminta sekaligus menjadi moderator diskusi. Dan benar saja ketika Nabila mulai membuka diskusi dan menerangkan isi makalahnya, suara-suara itu lenyap begitu saja. Semua merubah posisi dan memandang kedepan. Seolah kata-katanya mampu menyihir dan menghipnotis para pendengarnya.
“Lah ngapo jadi  diam galo?” celetuk Rahfa yang tak kalah jago menggunakan bahasa Ibunya itu.
“Iya juga ya. Dan yang menjadi pertanyaan adalah kenapa setiap Nabila berbicara dan menjelaskan tentang suatu materi, semua menjadi diam tanpa isyarat.?” Bisik teman-teman yang lain.
Nabila hanya tersenyum. Cita-citanya menjadi seorang Public Speaker memang sengaja ia salurkan dengan mengikuti beberapa organisasi.  Baik itu didalam maupun diluar kampus. Hingga kini Ia menduduki posisi sebagai sekretaris di organisasi BEM kampusnya. Disana ia belajar banyak hal termasuk cara beretorika dalam berkomunikasi.
Selain itu ia perdalam ilmu bicaranya dengan membaca banyak buku megenai pengalaman orang-orang hebat melalui public speaking. Kebiasaan membacanya pun tak kalah berpengaruh. Hal yang membuatnya mampu berbicara secara sistematis dan mengalir yang tentunya membuat pendengarnya senang dan mudah paham dengan apa yang Ia ucapkan. Dan benar kini usahanya mulai menampakkan hasil. Tak heran Pak Farhan, dekan fakultasnya yang mulai dekat dengannya semenjak Ia aktif organisasi selalu menyebutnya mahasiswa cerdas.
Jam mata kuliah pertama telah berakhir. Kini giliran mom Indri yang akan mengisi mata kuliah lingustics nya. Semua sudah kembali duduk rapi seiring dengan suara sepatu khas beliau yang menandakan kedatangannya. Dengan cepat Sandra mengembalikan gadget yang sedari tadi ia mainkan, yang bahkan membuatnya tak peduli dengan pemaparan makalah yang diberikan Nabila sekalipun. Mungkin hanya sesekali melirik dan terus kembali pada layar gadget ditangannya.
Nabila langsung memasukkan handphone nya kembali kedalam tas tanpa mengecek apapun. Ia percaya Sandra tak mungkin melakukan hal buruk padanya. Ia tegakkan kepalanya dengan pandangan lurus kedepan. Ia begitu seksama mendengar penjelasan Ibu dosen dengan perawakan tinggi langsing dengan gaya glamor dan stylish yang bahkan mengalahkan para mahasiswanya. Parasnya yang sangat cantik dengan suara lembutnya membuat semua mahasiswa terbuai untuk memusatkan seluruh perhatiannya kedepan. Usianya sudah kepala tiga bahkan hampir empat, namun ibu dari empat orang ini tetap telihat jelita bagikan masih gadis.
“Subhanallah. Kapan ya aku bisa secantik mam.” Celetuk Susan tanpa peduli mam Indri mendengar ocehannya sambil tersenyum lembut.
Nabila  mulai merapikan duduknya dan menyiapkan buku yang akan dipelajari dalam mata kuliah lingistics. Tiba-tiba fikirannya resah. Terfikir sesuatu olehnya.
“Astagfirullah, di handphone tadi kan ada semua obrolanku dengan kak David. Ya Allah aku belum sempat menghapusnya, kenapa aku tidak ingat?” matanya masih memandang kedepan, namun fikirannya menerawang.
“Ah, semoga Sandra tak sempat melihatnya.”  Batinnya mencoba menenangkan.
Tak ada masalah jika Sandra membacanya, namun gadis yang super pede itu juga mengenal dekat Chyntia. Bagaimana jika Ia menceritakannya. Ahh, rasanya tak mungkin. Dia tidak akan sejahat itu. Batinnya terus berusaha menenangkan fikirannya sendiri.
Adzan dzuhur telah dikumandangkan yang berarti proses perkuliahan harus segera diakhiri. Sesuai dengan gelarnya sebagai kampus Islam, kegiatan yang dilakukan pun harus bersifat Islami. Bapak rektor telah memberi peraturan baru mulai semester ini. Ia memajukan jadwal masuk kuliah agar ketika Dzuhur semua mahasiswa shalat berjamaah dimasjid yang sudah disediakan. Namun peraturan yang tak menetapkan sanksi itu tak juga di gubris para mahasiswanya. Setelah keluar kelas mereka langsung berhamburan kemana yang mereka inginkan. Sebagian ada yang langsung pulang karena kelelahan, sebagian ada yang justru kekantin karena perut yang keroncongan, dan ada juga yang langsung hang out atau sekedar karauke bersama. Namun ada juga beberapa mahasiswa yang sudah menyadari dengan sendirinya. Mereka langsung mampir kemasjid untuk melaksanakan shalat agar tak kehilangan moment shalat di awal waktu. Sebagaimana Allah sayang kepada hambaNya yang shalat, namun Allah akan lebih cinta kepada hambaNya yang shalat diawal waktu.
“Asholaati waktiha.” Ucap Fatra sambil berlari menuju masjid.
Nabila yang mendengar kalimat itu hanya tersenyum agak tersinggung. Pasalnya Ia selalu melalaikan waktu shalat. Sering sekali Fatra mengingatkannya, apalagi ketika mereka sedang bersama-sama. Dan saat ini buktinya. Agak terpaksa Ia membelokkan stang motornya kearah masjid tadi.
“Mendingan shalat dirumah aja fat!”
“Husshh,” sambil menarik tangan Nabila menuju parkiran.
“Eiittss,, tapi aku nggak bawak mukenah.”
“Alasan! Dimasjid kan sudah disediakan.” Ia langsung nangkring dijok belakang sambil terus mengarahkan Nabila agar berhenti dimasjid.
Fatra yang sesaat menghilang kini sudah muncul sambil tergesa-gesa setelah mengambil wudhu. Namun Nabila masih duduk diteras masjid sambil sibuk melepas sepatu dan kaos kaki panjang berwarna kulit yang ia pakainya hingga mencapai lutut.
“Hei sudah hampir iqamah, nanti tertinggal jamaah. Sayang lo, pahalanya banyak.”
“Iya, iya.” Sambil nyengir dan berlari menuju tempat wudhu.
Meskipun tak semua mahasiswa melaksanakan shalat dimasjid kampus namun Alhamdulillah masjid itu tak pernah sepi. Setiap waktu shalat jamaahnya hampir memenuhi setengah ruangan masjid. Terlihat mereka melakukan semua gerakan shalat dengan khusuk mengikuti gerakan sang imam. Tak sedikit juga mahasiswa yang tertinggal jamaah karena jam mata kuliah yang tak kunjung selesai. Maklumlah terkadang ada tipikal dosen yang sering lupa waktu ketika sibuk menjelaskan. Ya meskipun ada juga dosen yang tak betah berlama-lamaan berhadapan dengan manusia-manusia yang bergelar mahasiswa itu.
Setelah tahiyat akhir dan salam, sesaat Nabila menengadahkan tangannya. Sebenarny ini salah satu yang menjadikannya alasan untuk tidak melaksanakan shalat dimasjid. Iya, ketika shalat dimasjid do’a yang ia panjatkan tak seleluasa ketika ia melaksanakannya dikamar kosannya. Kamar surga menurutnya. Disitulah semua perasaan menyatu, yang akhirnya mampu membuatnya berdo’a lebih khusuk.
“Nah sekarang boleh pulang dan istirahat dirumah. Kalau ginikan jadi lebih tenang kan?” Ucap fatra sambil memasangkan kaos kaki dan sepatunya didepan beranda masjid. Gadis yang mulai mengenakan jilbab besar dan panjang ketika kuliah ini memiliki kecocokan dengan Nabila. Ia mengerti bahkan mungkin temannya itu memahami ilmu agama yang lebih dalam darinya, namun sayangnya terkadang Ia lalai.
“Hhh. Okke-okke. Terimakasih ibu ustadzah.” Candanya sambil merapikan rok nya sebelum akhirnya berdiri dan menuju parkir motor. Dan tiba-tiba..
“braakkk!”
tubuhnya menatap tubuh sesorang dihadapannya dan tak bisa dihidari lagi.
“Maaf-maaf.”
“nggak apa-apa kok.” Dan keduanya langsung saling pandang.
Allah. Jantungnya langsung berdebar. Wanita yang benar-benar tak asing lagi yang bahkan begitu dekat dengan hatinya.
“Chyntia..??”
Rasa rindunya menyerang tanpa bertanya. Ingin sekali ia bercanda ria, namun tingkah lakunya mendadak canggung. Tak mungkin baginya melupakan kejadian sore itu.
“Nabila..??”
Nabila masih menatap dan terdiam beku. Keduanya mulai berdiri dan memandang satu sama lain. Pandangan yang tak seperti biasa. Pandangan persahabatan yang pernah ada dahulu kini seperti mulai membentangkan sebuah hijab pembatas hati.
Namun tiba-tiba Nabila terkejut ketika Chyntia menampakkan senyuman manis dibibirnya. Meskipun kekecewaan itu masih belum hilang dari raut mukanya.
“Hei, gimana persiapan untuk acara kita besok?”
Hah? Tegar sekali wanita ini. bahkan ia masih memiliki kekuatan untuk menyapanya kembali. Nabila mengerti betul rasa cintanya pada David, dan pastilah kejadian itu sangat memukulnya. Tapi kenapa dia tidak marah? Apakah dia menyembunyikan rasa sakitnya itu? Subhanallah, bahkan jika aku menjadi dia, aku tak akan sekuat itu.
“Mmm.. baik chyn. Semuanya sudah siap.”
“Oke, aku kesini memang sengaja cari kamu, mau minta tanda tangan, tadi kak Faris yang menitipkan ini.” sambil menyodorkan sebuah map kertas hijau yang berisi lembaran-lembaran surat undangan. Dalam acara akhir tahun yang diadakan oleh BEMnya itu, semua sepakat menjadikan Nabila sebagai ketua panitianya.
“Oh iya, makasih ya.”
“hmm, nanti langsung kasih sama dia aja ya, aku mau langsung pulang.”
Haris, ketua BEMnya itu memang sering menitipkan berkas untuk Nabila kepada Chyntia, terlebih lagi ketika Nabila sulit ditemui. Sedangkan Chyntia yang hampir semua anggota organisasinya sudah mengetahui kedekatannya dengan Nabila sudah tentu ia akan mengetahui dimana sahabatnya berada.
Nabila hanya mengangguk pelan sambil melemparkan senyuman mengiringi tubuh Chyntia yang segera menjauh dari masjid. Awalnya ia fikir Chyntia tak akan pernah sudi berbicara dengannya lagi dan ternyata dugaannya salah. Namun caranya berbicara pun sudah berbeda. Nadanya datar tanpa canda dan kehangatan.
“kenapa dia tak menyakan masalah kemarin? Apa ia tak percaya dan tak peduli kata-kata perempuan tak dikenal itu? Atau ini hal biasa?” ocehnya sendiri.
Sebenarnya waktu itu bukan pertama kalinya ia pergi dengan David. Bahkan sebelumnya Chyntia pun tahu ketika kekasihnya itu mengajak Nabila pergi. Pasalnya semua itu pastilah urusan organisasi. Hal itu juga yang membuat Nabila tak merasa segan untuk pergi berdua bersama David. Tapi kali ini mereka memang berkencan, meski Nabila tak pernah bermaksud seperti itu. Entahlah, mudah-mudahan ia memang tidak marah.
Setelah beraktivitas penuh seharian, kini saatnya merehatkan badan dan jiwanya. Lelah tubuhnya mulai terasa. Harinya dihabiskan dengan persiapan acara organisasinya. Belum lagi ketika selesai maghrib Ia harus pergi mengajar privat. Untunglah tubuhnya selalu mengerti, hingga daya tahannya tak pernah mengalami gangguan yang serius.
Malam sudah mulai pekat. Tak ada lagi suara-suara lagu dengan pengeras speaker yang saling bersahutan memenuhi ruangan kosan. Teman-temannya sudah memasuki kamar mereka masing-masing untuk beristirahat. Apalagi TV diruang tamu sedang mengalami kerusakan, gambarnya tak lagi terlihat sehingga jam segini semua penghuni kosannya sudah berada dialam mimpi.
Nabila mulai merebahkan tubuhnya diatas kasur kecil yang Ia beli ketika pertama hijrah ke kota Raflesia ini. Wajahnya sudah segar setelah menggososk gigi dan mengambil wudhu, kebiasaan yang selalu ia lakukan sebelum tidur. Namun sebelum memejamkan mata Ia teringat handphone nya. Tangannya meraih tas yang langsung Ia gantung diatas tempat tidurnya ketika pulang mengajar tadi. Seperti biasa, sebelum tidur ia memancing rasa kantuknya dengan membuka-buka medio sosial di gadgetnya. Diceknya perlahan, tak lupa Ia membuka akun BBMnya, tak ada pesan yang penting. Hanya ada beberapa BC dari teman yang memang agak kurang pekerjaan. Ia membuka pembaharuan, memastikan keadaan Chyntia. Boleh dibilang gadis cantik berdagu indah yang sekitar dua tahun telah Ia kenal itu memang sangat aktif di akun BBMnya. Nabila akan mudah sekali mengerti bagaimanapun perasaan sahabatnya itu hanya dengan membuka update-an status di BBMnya.
“Nggak ada yang aneh. Mungkin memang Ia tidak sedang sedih. Apa mereka berdua memang sudah kembali seperti dulu? Syukurlah kalau memang begitu. Kalau kamu sedih, bahkan aku akan lebih sedih Chyn.”
Ia masih berfikir saat pertemuan pertamanya tadi siang dengan Chyntia setelah kejadian seminggu yang lalu. Mungkin saja Chyntia tak mempermasalahkan soal itu. Mungkin saja Ia belum sepenuhnya percaya dengan gadis yang tiba-tiba datang dan keduanya sama sekali tak mengenali. Tapi kenapa tak Ia tanyakan langsung dengan Nabila untuk mengklarifikasi berita itu? Ah, semoga semuanya akan baik-baik saja.
Ia mulai berdo’a dan kemudian menarik selimut sebagaimana kebiasaannya. Seiring dengan sentuhannya terhadap butira-butiran yang Ia bacakan shalawat dalam hati sepanjang bundaran tasbihnya yang mengantar jiwanya dalam penjagaan Allah, kini Ia telah terlelap. Menghilangkan semua permasalahan sejenak, berharap esok pagi akan datang berita-berita gembira yang menyapa. Berharap bumerang yang hampir satu bulan mengguncang hidupnya akan segera membuka tabirnya.

Pelangi Hitam di Langit MarlboroughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang