4

120 11 0
                                    

Setelah kejadian meminum darah, Chava dikurung di sebuah ruangan kosong. Tak ada lampu ataupun jendela untuk mengisi cahaya ke dalam ruangan itu. Chava benar-benar tak habis pikir, bagaimana bisa kemarin dirinya menyetujui ucapan pria itu begitu saja tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan sosok pria tinggi. Dalam keadaan gelap, Chava bisa melihat sinar hijau dari lensa mata Kafeel. Chava sempat berpikir, bagaimana warna lensa manusia bisa berubah-ubah dalam sekejap?

"Lapar tidak? Kalau lapar ikut aku!" ucap Kafeel sedatar mungkin.

Chava tidak munafik, dirinya benar-benar lapar saat ini. Dan alhasil ia mengikuti langkah kafeel yang membawanya ke ruang makan. Saat Chava mendudukkan dirinya di kursi makan, ia langsung dihadapkan dengan daging mentah yang masih berlumuran darah.

"What the hell?! Kamu nyuruh aku makan ini?!" tanya Chava tak percaya.

Kafeel hanya mengangguk lalu dengan santainya ia melahap daging yang sama dengan Chava. Sedetik itu juga Chava merasa mual melihatnya. Pria itu sangat gila batinnya.

"Stop! Jangan dimakan!" teriak Chava.

Sementara Kafeel hanya menatapnya datar dan masih melanjutkan kegiatan makannya, seolah-olah tidak peduli dengan larangan chava. Segera Chava berlari ke arah kafeel dan membuang daging itu dari genggaman kafeel.

Seketika mata kafeel berubah menjadi merah namun tidak disadari oleh Chava. Malahan Chava membalas dengan tatapan nyalang ke arah kafeel.

"Kamu mau penyakitan? Itu daging mentah dan masih ada darahnya, itu nggak steril. Harusnya dimasak dulu baru dimakan. Kamu nggak pernah diajarin sama orangtua ya?!" kesal Chava.

Tatapan Kafeel meredup, warna lensanya kembali hijau. Kafeel kembali menatap piringnya.

"Kamu berisik!" kata Kafeel datar namun menusuk.

Chava makin dibuat kesal. Ia kesal disodori dengan daging mentah dan kesal karena dibilang berisik.

"Aku nggak berisik! Memangnya gak ada makanan lain? Apa setiap hari kamu makan daging mentah? Gila!" cerocos Chava.

Namun kafeel mengabaikannya dan diam-diam berusaha mengambil daging mentah yang ada di piring Chava. Segera Chava berlari dan dengan cepat mengambil piring itu.

"No no no! Ini harus dimasak dulu!" Chava menyembunyikan daging itu dibalik punggungnya.

Dalam sekejap Kafeel menghilang membuat chava terkejut bukan main. Ia melangkah mundur dan menabrak sesuatu. Chava membalikkan badannya dan melihat kafeel sudah ada dihadapannya.

"Mana dagingku!" tatapan tajam dari kafeel membuat chav dengan reflek menyerahkan daging itu.

Namun sedetik kemudian menariknya kembali kebelakang punggung sambil menggeleng.

"Kamu yang ngasih daging ini ke aku, jadi daging ini milikku!" ucap Chava sambil melangkah mundur.

Rahang kafeel mengeras. Ia ingin makan saat ini juga.

"Pilihlah salah satu! Daging itu yang aku makan atau kamu yang aku makan?" tanya kafeel dengan seringai menakutkan.

Chava menelan savilanya kasar. Tubuhnya bergetar namun ia tetap bersih keras menjauhkan daging itu dari kafeel. Mereka berdua benar-benar keras kepala.

"Makan saja aku, kamu kira aku takut?" tantang Chava.

Hal itu membuat kafeel tersenyum miring. Dalam diri chava sangat takut jika dimakan olehnya tapi dimulut chava malah menantangnya, batin Kafeel.

"Oh benarkah? Kamu benar-benar tidak takut padaku? Bahkan saat aku akan merobek perutmu dan mengeluarkan semua isinya, apa kamu masih tidak takut?" Kafeel melangkah maju mendekati chava, sedangkan chava bingung harus berbuat apa? Dirinya sudah kalah mutlak.

Chava menunduk takut, setelah itu menyerahkan daging kepada kafeel.

"Kenapa? Takut?" tanya kafeel yang masih melangkah maju, membuat chava mundur.

"Maaf!" kata chava sambil memejamkan matanya.

Tubuhnya bergetar, menantang pria itu benar-benar kesalahan yang fatal pikirnya.

"Untuk?" tanya kafeel (lagi)

"Karena menantangmu dan melarangmu memakan daging ini." jawab chava takut, tanpa berani menatap mata kafeel.

Kafeel tersenyum menang dan mencekal kedua tangan chava.

"Tapi aku udah nggak selera buat makan daging itu. Aku ingin dagingmu!" bisik kafeel membuat seluruh tubuh chava menegang.

"Aaaaaaaaahhhh!!!" teriak Chava.

Kafeel melepaskan cekalan tangannya dan menutup rapat-rapat telinganya. Ia menatap chava marah.

"Kenapa teriak?!" bentak kafeel.

"Aku takut!" jawab chava tak kalah membentak namun sedetik kemudian menutup mulutnya.

"Maaf, reflek!" sambung chava, suaranya hampir seperti bisikan namun masih bisa didengar oleh kafeel.

Kafeel mencoba meredam amarahnya, jika saja chava bukan istrinya sekarang, maka dengan senang hati kafeel akan memakannya.

Kafeel mencoba pergi dari hadapan chava, namun gadis itu menahannya. Kafeel menatapnya seolah-olah mengatakan 'apalagi sekarang?!'

"Bisa tunjukin dapurnya? Aku mau masak aja." kata Chava dengan wajah terpolos yang pernah ia tunjukan.

"Dapur?" Kafeel menyerngit.

Sedangkan chava mengangguk semangat.

"Nggak ada dapur dirumah ini, karena nggak ada yang perlu dimasak." ucap kafeel dengan santainya.

Chava benar-benar stres dibuatnya. Mana bisa rumah sebesar ini tak ada satupun dapur? Pikir Chava.

"Kamu setiap hari makan daging mentah?" akhirnya pertanyaan itu dilontarkan oleh chava.

Dan kafeel pun mengangguk sebagai jawaban 'iya'

"Perutmu nggak sakit?" tanya chava (lagi)

Kafeel menggeleng membuat chava kesal. Dari setiap pertanyaannya, kafeel tidak menjawab dengan suara.

"Kok bisa?" tanya chava dari sekian pertanyaannya.

Lagi-lagi kafeel membungkam suaranya. Ia hanya mengendikkan bahunya tak tau.

"Kamu mendadak gak bisa ngomong ya?" Chava kesal sendiri.

Sementara kafeel menatapnya datar.

"Kamu berisik!" dua kata dari kafeel namun mampu membuat chava semakin kesal.

"Kamu gak ada kata-kata lain selain ngatain aku berisik?" chava cemberut, melupakan rasa takutnya tadi.

"Kamu cerewet!" ucap kafeel.

Chava melotot, dua kata berbeda tapi bermakna sama.

"Sama aja kamu ngatain aku berisik!" kesal Chava.

Kafeel memutar matanya malas lalu meninggalkan chava keluar rumah, entah kemana. Sedangkan chava ikut berlari mengikuti kafeel keluar rumah, namun saat sudah didepan pintu, pintu itu tidak bisa dibuka. Seperti terkunci dari luar.

"Dasar orang aneh! Orang gila! Gak berperasaan! Jahat!" Chava meluapkan semua umpatan yang ia tahan sejak dari tadi.

Ia memegang perutnya. Berbicara dengan kafeel ternyata membuat tenaganya terkuras.

"Aku lapar!" gumam Chava sambil melirik daging mentah itu.

Entah kenapa didalam diri chava sangat ingin menyantap daging itu namun pikirannya menolak.

"Aku kok ikutan aneh sih?" monolog chava.

My Man is DangerousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang