Istriku

129 3 0
                                    

Sekali lagi kau lemparkan piring itu ke lantai dekat kakiku. Suara pecahan kaca tidak sebanding dengan raungan si bungsu yang baru beberapa bulan lahir, marah tidur siangnya terganggu.

Itu piring ke lima bulan ini. Pecahan piring yang kecil memantul di lantai dan menggores kulitku yang hitam dan dekil. Dan tentu saja dengan banyak luka gores dari pecahan piring yang lalu.

Sekali lagi kau berteriak. Menyalahkan pemerintah yang terus menaikkan harga sembako dan memakiku yang hanya mampu memberimu lima puluh ribu rupiah sehari, hasilku bekerja menjadi kuli bangunan.

"Tak cukup!" Teriakmu sambil mengibaskan mengibaskan kertas biru itu di depan hidungku. "Banyak yang harus di beli, makanan, uang sekolah anak, listrik, air, kontrakkan rumah dan banyak keperluan lain yang harus kami penuhi. Lima puluh ribu tak ada artinya!"

Kuraih si bungsu yang meraung-raung dan kudepan tubuh mungilnya. "Sabarlah Istriku," kataku sambil menimang si bungsu. "Proyek sedang sepi, untung saja pak Rudi butuh orang yang bisa membantu membangun rumahnya, setidaknya kita berlima tidak kelaparan."

Aku tahu kau membenciku. Kau benci padaku yang tidak bisa membelikanmu rumah di perumahan elit seperti yang dilakukan suami dari teman-temanmu. Kau benci padaku yang tidak pernah membelikanmu perhiasan seperti yang dilakukan oleh suami tetangga. Kau membenciku yang tidak pernah memanjakanmu dengan kemewahan.

Oh, Istriku, bukan aku tidak mau, bukan pula aku tidak mencintaimu. Aku mencintaimu dan ketiga buah hati kita. Jika aku bisa akan kuberikan semua keinginanmu. Menghiasimu dengan batu permata.

Namun aku hanya seorang buruh serabutan. Aku tak sehebat suami teman-temanmu yang duduk di kantor ber-AC. Aku hanya buruh serabutan yang bergantung pada teman atau bos-bos yang butuh tenaga tambahan.

Kau hanya terdiam. Seakan-akan kau tersadar akan sesuatu. Siang itu kau pergi dan tak pulang sama sekali.

Si sulung dan si tengah terus menanyakanmu. Si bungsu yang masih terlalu kecil tidak mengingatmu. Hal itu sangatlah wajar mengingat kau sudah meninggalkan kami selama lima tahun.

Ah, Istriku, bagaimana aku bisa mengatakan pada mereka? Bagaimana aku bisa mengatakan pada mereka bahwa ibu mereka tinggal di rumah elit dan memakai banyak perhiasan berkilau namun dengan keluarga yang berbeda?

Ah, Istriku, bagaimana aku bisa mengatakan pada anak-anak kita bahwa ibu mereka merebut posisi temannya? Menjadi istri dan ibu dari temannya sendiri.

IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang