9. Dua Sisi yang Berbeda

51 5 3
                                    

Gak ada suara lagi yang terdengar dan gue yakin mereka udah pergi dari saung itu. Gue lihat keadaan taman belakang rumah Revi sepi. Gue lihat ke seberang kolam berenang kaca yang seolah menjadi pengganti tembok itu udah tertutup gorden.

Gue langsung ambil kamera yang di pot. Lalu, keluar dari rumah Revi dengan santai. Gue gak akan terciduk.

Akhirnya gue sampai mobil juga. Untungnya gue parkir bukan di depan gerbang rumah seberang Revi. Kalau gue parkir di sana pasti mobil ini jadi masalah karena menghalangi jalan.

Berhubung udah magrib gue langsung pergi ke mesjid terdekat dan meninggalkan mobil di sini. Dari magrib sampai isya gue diem di mesjid. Kebetulan ada pengajian sekalian aja gue ikutan. Lumayan nambah ilmu terus nambah pahala juga.

Beres salat isya gue masuk ke mobil. Lalu, melihat hasil rekaman tadi dan hasilnya lumayan lah suaranya juga terdengar tinggal gue edit dikit.

Hoaaaaaaamm

Gila gue ngantuk banget pasti ini gara-gara gue bergadang semalem buat nonton film Pengabdi Setan dan gue baru sadar kemaren itu malam Jum'at. Gue gak yakin bisa mengendarai mobil dengan keadaan ngantuk gini. Masih pukul delapan malam. Ah, gue tidur dulu deh satu jam daripada nanti malah terjadi hal yang gak diinginkan. Gue pindah ke kursi belakang mobil, turunin kaca jendela sedikit supaya ada udara masuk, dan langsung tidur.

-----Journalist-----


Bangun dari tidur gue ngerasa kaki pegel banget. Pantes sih, gue tidur dan kaki ditekuk. Mata gue mengerjap. Lalu, mengangkat tangan untuk melihat jam. Gue kaget rencana mau tidur satu jam nyatanya malah tidur empat jam. Sekarang udah jam dua belas malem. Aduh harus cepet pulang ini pasti bunda marah.

Gue pulang melewati gerbang samping rumah Revi dengan harapan bisa cepet keluar komplek perumahan ini. Namun, gue lihat ada mobil di depan gerbang itu. Gue tahu itu mobil Porsche Panamera Turbo! Lalu, Revi masuk ke mobil yang berwarna hitam itu. Gue penasaran Revi mau ke mana padahal udah tengah malem.

Penampilan Revi yang gue lihat tadi menggunakan celana jeans hitam ketat lalu cardigan berwarna hitam dengan rambut tergerai bergelombang. Memakai topi silver dengan tas kecil berwarna silver juga.

Gue ikutin mobil yang membawa Revi itu. Agar tidak mencolok gue jaga jarak. Mengikuti beberapa saat sampai di sebuah klub malam. Revi ke klub malam? Sulit dipercaya.

Langsung aja gue keluar mobil dan membawa kamera. Gue ikutin Revi dan dua teman cewek. Gue inget dua cewek itu. Mereka yang waktu itu ada di restoran dan salah satunya bernama Nara.

Gue sempet beberapa kali mengambil kegiatan mereka yang sedang tertawa dan masuk klub. Gue mau ikut masuk juga, tapi malah dihadang dua penjaga klub tersebut.

“Kamu dilarang masuk,” ucap salah satu penjaga dengan rambut cepak ada bekas luka segaris dimukanya.

“Lha? Emang kenapa, Pak?” tanya gue.

“Kamu masih anak sekolah juga mau sok masuk klub. Bawa kamera segala. Udah sana pulang,” usir penjaga klub yang satunya lagi dengan badan lebih kekar dan rambut agak gondrong.

“Tadi temen saya bisa masuk sini. Dia seangkatan sama saya masa saya gak boleh masuk.” Gue protes lah masa Revi boleh, tapi gue nggak.

“Kamu pulang sana.” mereka dorong gue ke tempat parkiran.

Mungkin karena gue masih pakai baju muslim hitam putih dengan label nama sekolah di sebelah kanan. Jadilah mereka ngusir gue, tapi tetep gue gak terima diusir gini.

Ya udahlah gue pulang aja. Gue langsung lihat jam tangan. Mati gue! Udah hampir pukul setengah dua pasti bunda ngambek ini. Gue nggak masalah bunda ngambek. Namun, bunda sering khawatir kalau gue atau Alvira–adik perempuan gue—pulang telat. Terus sering nungguin sampai pulang, gue gak tega bunda tidur kemaleman.

Gue masuk mobil dan mengendarai dengan secepat mungkin. Jalanan yang sepi memudahkan gue untuk mengendarai cepat tanpa halangan. Sampai rumah gerbang masih terbuka lebar. Gue masukin mobil dan melihat bunda lagi bolak-balik di teras.

"Bunda!" panggil gue. Lalu, langsung memeluk bunda tersayang yang gue duga belum tidur dari tadi. Karena terlihat jelas kantung mata di sana.

Gue peluk bunda supaya rasa khawatirnya hilang dan satu lagi supaya ngambeknya hilang.

Bunda melepas pelukan gue. "Kamu ke mana aja, sih? Bunda khawatir nungguin kamu dari tadi. Lihat jam berapa sekarang?"

Gue lihat jam tangan sambil nyengir berkata pelan. "Jam dua kurang sepuluh menit, Bun."

"Bagus ya kamu pulang jam segini. Udah gak inget rumah, hah?" Bunda ngambek dan sekarang lagi jewer kuping gue.

"Aduh, Bun. Sakit kuping Apin. Berhenti jewer ya, Bun. Apin jelasin dulu." jeweran bunda sakit banget.

Apin itu nama panggilan kecil gue. Kebawa sampai sekarang. Termasuk Alvira yang biasa dipanggil Avi. Di rumah panggilan itu masih berlaku. Kalau di luar rumah malu gue dipanggil gitu. Alvira pun sama di luar sekolah dia lebih biasa dipanggil Vira.

Bunda lepasin jewerannya dikuping gue. "Jelasin lima menit. Kalau gak masuk akal bunda hukum kamu tidur di luar."

"Jadi gini, Bun. Tadi Apin ke rumah temen pulangnya magrib jadi salat dulu di mesjid sekitar rumah dia. Kebetulan di mesjid itu ada pengajian jadi Apin ikut sampai isya. Pas mau pulang Apin ngantuk ya udah tidur dulu di mobil. Niatnya mau sampe jam sembilan, tapi malah kebablasan sampe jam satu. Maaf ya, Bun udah bikin khawatir." Gue gak bohong hanya penjelasannya kurang komplit.

Kelihatannya bunda udah gak sekesal tadi. "Ya, udah bunda maafin. Lain kali bilang dulu, jadi bunda gak khawatir. Bunda takut kamu kenapa-napa. Sekarang kamu makan dulu. Bunda udah siapin di meja makan. Terus kamu ganti baju, sikat gigi, cuci muka, lanjut tidur. Jangan mandi jam segini nanti kamu sakit. Besok aja mandinya sekalian."

"Iya, Bun." gue langsung masuk rumah menuruti semua kata bunda. Bunda emang terdabes. Perhatian banget sama gue. Gue sayang bunda.

----------📷----------

Journalist #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang