Aluna melihat jam dinding diatas pintu kamarnya. Jarum panjang menunjuk angka 8 pagi. Ia bergegas keluar dari kamarnya yang terletak di dekat dapur. Aluna melihat ayahnya sedang duduk diam di depan meja makan.
"Ekhem"
Petra yang sedikit terkejut atas dehaman itu lantas melihat kearah suara. Petra melihat putrinya yang sedang menatapnya bingung.
"Sini makanlah lun, ayah tadi membuatkan sarapan kesukaan kamu"
Sambil menarik kursi untuk bergabung sarapan, Aluna bertanya "ada apa yah? Kelihatannya ayah sedang banyak pikiran".
Aluna mulai memasukkan suapan pertama sarapannya itu. Aluna dan Petra hanya tinggal berdua tanpa keluarga dan tanpa adanya sanak saudara.
Banyak yang Aluna ingin ketahui tentang latar belakang keluarga nya ini. Aluna tidak pernah bertanya karena ayahnya selalu mengalihkan pembicaraan. Kali ini Aluna ingin mencoba lagi.
"Ayah"
"Hmm"
"Aku bermimpi hal yg sama"
Petra berhenti mengunyah. Ia menatap gadis semata wayangnya itu.
"Sudah kukatakan berulang kali, tidak usah di pikirkan lun. Itu hanya mimpi biasa"
"Mana mungkin itu mimpi biasa ayah. Sedangkan aku mengalaminya sudah berulang kali" Aluna meninggikan nada suaranya.
Petra hanya diam. Ia menatap mata biru yang ditutupi lensa coklat terang itu. Gadisnya mirip sekali dengan ibunya. Keras kepala dan selalu ingin tahu.
'apakah ini sudah saatnya? Baiklah akan aku perlihatkan nanti padanya' batin Petra.
Petra kembali memakan sarapannya. Ia melihat raut kesal gadisnya yang sudah kembali kedalam kamarnya.
***
Aluna duduk di pinggiran kamarnya. Menatap apa yang ada di luar jendela.
Sepi.
Itulah yang mendeskripsikan lingkungan perumahannya ini. Diluar sana, banyak kendaraan lalu lalang. Para orang tua yang sibuk mengantarkan anak anaknya ke sekolah, atau bahkan mereka yang ingin berangkat kerja.
Rasanya, ingin sekali Aluna bersekolah kembali. Mengingat usianya yang sudah bisa menduduki bangku perkuliahan. Namun keinginan nya itu harus dikubur dalam dalam semenjak ia lulus SMA. Petra melarang Aluna untuk bersekolah lagi dengan alasan insiden itu.
Dulu sewaktu Aluna menginjak semester terakhir nya di SMA, ia hampir saja di celakai oleh orang yang tidak ia kenal. Orang itu berwujud seperti wanita berusia kurang lebih 40 tahun. Wanita itu menutup tubuhnya dengan jubah hitam yang menjuntai panjang. Wajah wanita itu sungguh menyeramkan. Untung saja Petra datang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin Aluna sudah di giling oleh roda roda truk besar yang kebetulan melintas di depan gerbang sekolah Aluna.
Semenjak saat itu, Petra melarang gadis semata wayangnya untuk bersekolah. Petra juga menyuruh Aluna untuk selalu menggunakan kontak lensa berwarna coklat jika Aluna ingin keluar dari rumah.
Entah apa yang salah pada warna mata ini yang menurut Aluna sangat indah.
Aluna berjalan menuju meja riasnya. Ia menatap wajahnya disana. Setelah mencopot lensa kontak itu, Aluna membuka ikatan rambutnya.
Entah sejak kapan, rambut Aluna tumbuh tidak wajar. Kini, panjangnya sudah sepaha. Jika rambut ini dipotong, maka akan tumbuh seperti semula.
Aluna menyisir rambutnya yang panjang itu. Lalu kembali menatap ke arah cermin di depannya.
"Aku semakin penasaran, kenapa anggota tubuhku tidak seperti orang kebanyakan? Mata ayah warnanya coklat, sedangkan aku biru. Rambutku juga semakin lama semakin tidak bisa dikendalikan. Apakah aku punya penyakit kelainan?"
'ssreett'
Aluna yang sedang bertanya pada dirinya sendiri itu dikejutkan dengan suara Deritan pintu kamarnya.Petra masuk kedalam kamar Aluna dan melihat wujud asli gadisnya. Warna mata itu mengingat kannya dengan mata istrinya.
Petra menjadi khawatir setelah melihat pertumbuhan rambut Aluna yang ternyata sudah semakin memanjang.
'apakah ini saatnya?'
____________________________________
Kemungkinan aku bakal update dua hari sekali paling cepat, so jangan kecewa ya teman teman..
Maaf ya kalau ada typo. Kalian bisa kasi kritik dan saran lewat kolom comment. Jangan lupa di vote.
👻
😆Salam dari dunia immortal
KAMU SEDANG MEMBACA
the Last White Witch
FantasyNaluna de Bethe seorang gadis yang mengalami masa pertumbuhan tidak seperti gadis lainnya. Satu persatu memorinya tersusun bagaikan sebuah puzzle. Setiap potongan puzzle itu dapat mempengaruhi kehidupan Aluna. Akankah Aluna membenci ibunya sendiri...