Sisi 21

4.8K 430 64
                                    

Tepat seperti dugaan Yunita, Bayu tidak bisa menolak kehendak kedua mertuanya. Acara empat bulanan harus diselenggarakan. Bayu memutuskan mengundang saudara dekat dan tetangga sekitar saja.

"Ya udah nggak apa-apa, itung-itung sebagai syukuran karena akhirnya kita akan dikaruniai anak. Lagian, acaranya nanti kan cuma pengajian dan berdoa. Semakin banyak yang mendoakan calon anak kita, semakin baik."

Begitulah pendapat Bayu. Memang tradisi ngupati hanya berupa selamatan saja, tetapi tetap saja ada makanan tertentu yang harus disajikan. Dari rekomendasi Adisti, diperoleh jasa katering yang bisa memasakkan nasi megono, bubur abang putih, dan ketupat sumpil, sedangkan untuk jajanan pasar toko roti milik keluarga Adisti bisa menyediakannya.

"Kamu nggak mau ngundang teman kantor, Bay?" tanya Ratna saat sedang menghitung jumlah konsumsi yang harus disiapkan.

"Nggak usah. Rumah mereka pada jauh. Nanti kalau Dedek sudah lahir, kita juga pasti bagi nasi aqiqah buat mereka."

"Oh, ya udah. Tapi Mbak Della kayaknya perlu kita undang, ya. Dia berteman akrab sama Gita."

Diingatkan pada Della, otomatis memori Bayu melayang pada wanita bertubuh sintal itu. Pada sepasang buah dada kenyal dengan belahan yang menggoda. Bayu menarik napas panjang. Sial, ia tidak bisa begini terus. Bayu tidak mau memiliki pikiran mesum setiap kali melihat rekan kerjanya tersebut. Di kantor, ia bisa mengendalikan kewarasannya karena Della selalu berpakaian sopan. Namun, bisa saja Della sebenarnya mempunyai preferensi berpakaian seksi. Beberapa wanita memang seperti itu. Tidak ada jaminan Della akan tampil dengan busana tertutup dalam acara syukuran nanti. Lebih baik Della tidak perlu diundang.

"Nggak usahlah. Della pasti ngerti kok, kalau acara ini cuma untuk tetangga," sahut Bayu tak setuju.

Ratna mengangkat bahu, mencoret nama Della dari daftar tamu yang ia buat, lalu menyerahkan buku catatannya pada Bayu. "Ini udah semua belum? Siapa tahu ada yang terlewat."

Bayu memeriksa dan mengangguk setuju. Total tamu yang diundang hanya 40 orang. Bayu pikir semua sudah beres, tapi ternyata ibu mertuanya masih punya ketentuan lain.

"Acara ngupati itu harus dilakukan di hari baik menurut perhitungan Jawa." Yunita lalu mengusulkan satu tanggal.

"Bu, itu kan bukan weekend. Bayu dan Ratna kerja," protes Ratna.

"Halah, kayak nggak bisa cuti aja. Acaranya juga malam kan?" debat Yunita.

"Iya, nggak apa-apa, Bu. Nanti saya ambil cuti. Ratna juga," ujar Bayu.

"Bay, nggak bisa gitu dong. Kemarin kan aku udah ambil cuti waktu harus bed rest." Ratna mengajukan keberatan, lalu beralih memandang ibunya. "Bu, semua hari itu kan hari baik. Ibu jangan terlalu percaya mitos lah. Kalau menurut Ratna nih, hari paling baik justru tanggal satu. Hari gajian."

Bayu melihat ibu mertuanya hendak menyanggah pendapat Ratna lagi, jadi untuk menghindari keributan cepat-cepat Bayu menengahi. "Udah, gampang itu, Na. Nanti aku bilang Bang Gian."

"Nah, ngono lho. Wong perkara gampang kok dibikin ribet," ucap Yunita, terlihat puas.

Ratna mendesah panjang. Memang tidak mungkin menang jika berdebat lawan ibunya.

***

Hari baik menurut perhitungan Yunita itu pun akhirnya tiba. Sejak siang, Ratna dan Bayu sudah sibuk mengatur rumah mereka menjadi tempat selamatan. Dengan bantuan tetangga, sofa ruang tamu dan ruang tengah dipindahkan ke garasi agar kedua ruangan itu menjadi lapang. Lantai kemudian dialasi karpet, para tamu akan duduk lesehan.

Gita datang membantu pada sore hari, sepulang kerja. Ia bersemangat sekali saat menceritakan kehidupan barunya sebagai anak kos pada Ratna.

"Waktu pertama aku nyetrika baju, Mbak. Kok nggak panas-panas setrikanya, eh, ternyata aku belum muter tombol pengaturnya. Masih di bagian minimum." Gita terkikik, mengingat pengalaman konyolnya. "Lama banget aku nungguin, sampai aku tinggal boker masih juga belum panas."

Di Sisimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang