Jumpa

38 3 0
                                    

Mei POV

Ada sesuatu yang aneh ketika kedua mataku baru saja kubuka, kenapa rasanya aku sangat pusing?
Ku usap kasar wajahku dengan kedua tanganku
"Ayolah aku ini kenapa?"
Terlintas kembali ingatan senja kemarin, dan kenyataan bahwa hari ini aku harus pergi ke jogja.
"Mei.. bangun sarapan dulu nak"
Teriakan ibu setiap pagi dirumah ini, rasanya semakin berat untuk meninggalkan kenangan-kenangan indah masa kecilku dirumah ini.
Dengan langkah lemah aku mulai mengarahkan kakiku yang sangat berat ini untuk mandi.

Setelah rapih aku menatap bayanganku sejenak didepan cermin. "Kenapa sulit bagiku untuk melangkah?" Batinku

***
Setelah sarapan keluargaku mulai menata koper-koper berisi baju-baju ke dalam bagasi, kami tidak membawa benda-benda seperti perabotan dan perlengkapan lainnya karena ibuku tidak setuju bila rumah itu dijual. Toh keluargaku bisa mengunjunginya jika kembali ke Surabaya. Dalam hati aku bertanya, bisakah aku melihatnya untuk merekam setiap sudut wajahnya sekali lagi? Sebelum kita berpisah tanpa tau kapan takdir mempertemukanku dengannya lagi.
"Semoga kau tetap menjadi februariku sampai kapanpun mas".
Lirih terucap harapan terdalamku untuknya.

Setelah mengunci gerbang, ibu dan ayah bersiap menaiki mobil. Aku hanya berdiri dengan ekspresi yang aku tak tau seperti apa sekarang, langkahku berat sekali seolah kakiku merekat dibumi yang kuinjak sekarang. Aku masih ingin melihat mas febri, melihat senyum menawannya juga kata-kata humornya untuk sekedar membuatku tertawa. Ayah ibu sudah tau kedekatan kami berdua, sebagai saudara. Iya, dia saudaraku jauh. Silsilah kita tidak mengatakan dengan jelas aku ini siapanya. Jadi aku berani menyukainya. Tidak, maksudku perasaanku tidak sepenuhnya salah bukan? Dari pelajaran agama di sekolah tentang munakahat, aku tau bahwa Dia tidak termasuk wali nasabku.
Ah tapi sudahlah, Ayah ibuku sudah lama menunggu. Maka aku berusaha menyeret kakiku menuju kotak putih beroda empat itu. Sebelum akhirnya sebuah suara menginterupsi langkahku, suara itu, aku sangat mengenalnya. Tapi aku masih terdiam, aku terlalu bahagia untuk sekedar mendengarnya memanggilku.
"Mey.. tunggu" kini aku berbalik untuk memastikan pemilik suara itu adalah februariku. Dan ya memang benar itu dia. Aku tersenyum, tapi entah mengapa air mataku jatuh satu persatu. Dia berlari dan segera memelukku. Jika aku bisa, akan kuhentikan waktu sekarang juga.
"Mey sudahlah tidak apa-apa, jangan menangis seperti ini. Maafkan mas kemarin tidak bisa memenuhi janji karna sidang skripsi mas dipercepat kemarin. Maafin mas febri ya" sambil mengusap pelan kepalaku. Entahlah, permintaan maafnya itu sungguh tidak menghentikan jatuhnya tetesan bening dari kedua mataku ini. Aku tidak menjawabnya untuk beberapa saat hingga aku berani menatap wajahnya. "Gapapa mas, yang penting sekarang kamu udah disini. Aku pamit untuk ke jogja" aku sadar ayah ibuku sudah lama menunggu jadi kuakhiri saja perjumpaan dengannya ini.
"Iya mey, mas anterin ke mobil yuk." Dia menggandeng tanganku dan mengantarku ke mobil, tidak lupa bersalaman dengan ayah ibuku.
"Yasudah, sekarang kita berangkat dulu ya feb, kamu jaga diri disini." Ucap ayahku.
"Iya om, aku nitip mey ya om. Jagain dia" ayahku tertawa mendengarnya. Kata-kata mas febri memang lucu, tentu saja aku kan anak ayahku sudah pasti akan dijaga.
"Iya, kami berangkat dulu feb assalamualaikum"
"Waalaikumsalam, bye mey" aku hanya tersenyum sambil melihat bayangnya yg semakin mengecil ditempat terakhir ia berdiri. Mobilku semakin menjauh darinya.

Gadis Embun PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang