"Terima kasih, Profesor. Sungguh."
Benar kalau perkataan Snape sempat membuat Grace kesal setengah mati dan membuatnya ingin menjambak rambut hitamnya sekuat mungkin sampai Snape benar-benar menjadi botak. Tetapi setelah kemarahannya sedikit mereda dan dia sudah bisa berpikir logis, Grace merasa kalau dia seharusnya bersyukur pada Snape. Tanpa Snape, mungkin dia sudah berhenti bernafas sekarang.
Tapi tetap, pernyataan Snape tentangnya harus diluruskan. Dia tak menolong Hermione hanya untuk mengangkat namanya di depan guru-guru. Dia menolongnya hanya karena satu hal yang sederhana—hanya karena Hermione, temannya.
Grace kemudian membuka mulutnya sekali lagi sebelum Snape sempat berkata apa-apa. "Lihat, aku benar-benar menghargai perbuatanmu, Profesor, tetapi, itu tak mengubah kalau pernyataanmu benar-benar—dan benar-benar—membuatku kesal."
Grace kemudian berusaha untuk membalas tatapan Snape yang dingin dengan tatapan setajam mungkin yang ia bisa. Rambut merahnya seakan-akan menunjukkan kemarahannya yang berapi-api.
Snape, masih terlihat dingin seperti biasa, hanya mengernyitkan dahinya sedikit. Juga, kalau tidak salah, sebuah senyuman kecil muncul di bibirnya untuk beberapa saat. "Pernahkah seseorang mengatakan kepadamu, Evans, kalau kau adalah seorang bocah-absurd-yang-benar-benar-absurd?"
Tapi, meskipun begitu, memang ada senyuman tipis di bibir Snape ketika dia membalikkan badannya. "Tapi," Snape kembali memecahkan segala keheningan yag ada, "Aku rasa aku juga sedikit... keterlaluan."
"Kau meminta maaf?" pekik Grace, merasa senang. "Sungguh? Kau, Profesor?"
Snape menggerutu. Disini, dia tak bisa memanggilnya Potter. "Siapa yang meminta maaf, Evans? Perhatikan kata-katamu sendiri—itu tak masuk akal."
"Kalau begitu aku anggap sekarang kita impas?"
"Impas?" Snape mendengus, meremehkan gadis kecil yang menatapnya penuh dengan harapan. "Kau sepertinya lupa akan tugasmu, bocah. Detensimu. Kau tak tahu betapa sulitnya aku kehilangan seorang..."
Kata-kata yang ada di lidah Snape tertahan. Dia tak tahu harus memanggil Grace apa, dan dia benar-benar takut kalau nanti dia akan mengucapkan sesuatu yang dia akan sesali nanti.
Melihat Snape yang tiba-tiba menghentikan ucapannya itu, Grace berusaha untuk menghidupkan kembali suasana. "Budak?"
Itu berhasil membuat Snape hampir tersedak oleh ludahnya sendiri. "Tak sampai serendah itu, tapi ya, mungkin sedikit lebih baik dibanding budak, meski aku rasa kau lebih bangga bila aku memanggilmu budak."
Mendengar itu, Grace terkekeh. Sarkasme Snape entah kenapa selalu berhasil membuatnya semangat. Suasana disana juga mungkin masih damai kalau tidak ada suara dobrakkan pintu yang muncul tiba-tiba, yang membuat Grace lompat dari tempatnya.
Snape langsung mengarahkan kepalanya secepat kilat dan menatap ke entah siapapun itu dengan tajam.
"Untuk apa..." suara Snape terdengar lebih kasar dibanding biasanya. "Kau disini, Wood?"
Wood, berdiri tepat di depan pintu, masih mengenakan seragam Quidditchnya yang dipenuhi bercak lumpur dan sapu di tangan kanannya, dia hanya bisa diam seperti patung. Kaget bercampur senang. Mulutnya masih belum sempat ditutup.
Bahkan sangking senangnya, nampaknya tatapan tajam yang diberikan Snape padanya itu seakan-akan tak memberinya efek apapun.
"Profesor," panggil Wood dengan singkat, walaupun tatapannya tak sedikitpun lepas dari Grace. Wood tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang putih di senyumnya yang manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always.
FanfictionMungkin, bagi Severus Snape, kepergian Lily dari dunia ini sama rasanya dengan kepergian nyawanya sendiri. Kosong. Hampa. Yang tertinggal dari dirinya sekarang hanya tipikal profesor yang dibenci oleh semua orang, kecuali satu, Grace Potter. Ya, tak...