Pendamping mengalami de javu. Lantunan gending Majapahit membahana di kamar Dewa Balakosa. Dia jadi merasa kembali berkelana di masa itu, ketika kejayaan Wilwatikta berada. Tidak terkira dewa-dewa yang berhasil dia titiskan di masa itu. Nama para titisan dewa tersebut menguar ke seantero jagat sebagai pendekar atau bahkan raja digdaya. Mereka berlaga memenangkan perang. Mempertahankan tanah milik leluhur dan mendorong musuh untuk menjauh dari wilayah kekuasaan.
Makhluk metafisik itu berusaha memahami kondisi terkini. Dia mengesampingkan dulu suara gending Majapahit yang mengalun, mencari-cari suara Wak Timah yang biasa membangunkan Dewa Balakosa. Dia juga mencari suara dipan berderit karena gerakan malas tubuh Dewa Balakosa yang kemudian bangun berjalan sempoyongan ke arah kamar mandi, tetapi nihil. Hanya suara gending yang terdengar.
Pendamping menyadari pagi belum bertandang. Gending itu terasa menghentak, mengetuk-ngetuk sukmanya untuk terjaga. Sementara matanya laksana mati suri karena tak mampu terbuka bahkan dengan energi tenaga dalam yang berhasil dia salurkan.
Balakosa,
Putera Astula
terdampar di alam fana
Berkelana
mencari titian jalan pulang ke Surgaloka
Terlantun syair dari suara sinden. Jelas terdengar dekat di gendang telinga Pendamping, mendayu-dayu hingga syair terakhir. Lalu berganti dengan alunan outro yang dimainkan dengan nada lebih menghentak. Pukulan gong sebagai pertanda berakhirnya lagu benar-benar mampu meninggalkan gaung di rongga otak. Jantung Pendamping langsung terasa dipukul. Sungguh mengejutkan dan menimbulkan rasa nyeri sesaat di dada. Matanya terbuka bersamaan dengan menghilangnya suara irama gending tersebut.
Pendamping mengedarkan pandangan. Jam dinding di kamar Dewa Balakosa menunjukkan pukul 02:35 WIB, dini hari. Dia mendapati Dewa Balakosa masih mendengkur di atas dipan tak berkasur. Pendamping mendekap rapat-rapat kedua tangan untuk menutupi tubuh. Udara luar biasa dingin tiba-tiba menyerang. Sementara suasana berubah menjadi sangat hening. Pendamping menatap lagi jam dinding di kamar Dewa Balakosa. Dia terkejut mendapati jarum jam di dinding kamar tersebut berhenti berdetak. Padahal sore tadi Dewa Balakosa baru saja mengganti baterainya.
Dari sela-sela jam, perlahan-lahan cairan kental hitam mengalir. Bak oli yang tumpah, cairan itu meluruh jatuh mengikuti gravitasi hingga menyentuh lantai. Setibanya di lantai, cairan itu menguap serupa kabut, hitam dan pekat. Kabut itu terus membumbung teratur di pijakan cairan hitam dan membentuk sebuah wujud nyata. Sesosok makhluk yang memiliki wajah dengan mata dan mulut hanya berupa rongga terbentuk. Tanganya terdiri dari jari-jari runcing. Dia mengerang.
Ingatan Pendamping langsung merembet pada masa lalu berkaitan dengan erangan aneh dari makhluk kabut tersebut. Dia mengira makhluk itu sudah musnah bersama ledakan gaib yang terjadi pada saat persalinan Surti. Kini makhluk aneh tersebut kembali berkunjung ke gubuk mereka. Pendamping merasa agak gentar menyadari ilmu kanuragan miliknya berada jauh di bawah makhluk tersebut, sementara kekuatan gaib yang sempat menolongnya dulu tidak pernah dia pahami asal muasalnya.
Tidak ada manusia yang mampu melihatnya dengan mata telanjang. Namun, Pendamping bukanlah manusia, oleh karenanya Pendamping mampu melihat kedatangan makhluk kabut itu, begitupun sebaliknya. Mata mereka langsung beradu. Mata rongga makhluk kabut itu membuat Pendamping bergidik. Ternyata rasa dingin yang mengisi kamar Dewa Balakosa mengalir dari rongga tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balakosa [Telah Terbit]
FantasíaBALAKOSA telah terbit dan bisa dipesan melalui WA 081373581989. Pertualangan Balakosa sebagai dewa yang menitis dalam tubuh manusia mempertemukannya dengan banyak sosok menarik, di antaranya Hasna. Gadis melayu yang sangat mempunyai peran besar memb...