14. TRAGEDI GITAR

76 6 3
                                    

*Cerita ini memiliki hak cipta ©All Rights Reserved by zeriandrifin. So, don't you dare to plagiarize this story. Or, you will know the consequences.

*Picture of this part by Endah Savitri (Ig: endhsvtr)

Rencananya, aku mau ke kamar Zac untuk menemuinya. Aku mau menjelaskan kalau aku sama Jason gak pacaran! Tadi dia kesini hanya mampir saja karena rumahnya dekat. Jadi aku ingin Zac gak salah paham ke aku. Jason datang ke rumah juga bukan atas undanganku. Mungkin dengan penjelasaku itu bisa membuat Zac berpikir kalau memang bukan salahku atas kedatangan Jason kerumah tadi.

Tetapi saat ku memasuki kamar Zac, terlihat sepi. Kucari-cari Zac dan memanggil namanya tidak kunjung keluar juga. Nampaknya dia sedang tak ada di kamar. Ketika aku masuk kamarnya, aku jadi keingat kejadian waktu dia main gitar di hadapan jendela kamarnya. Aku pun meraih gitar yang dipakainya waktu itu dan mencoba memainkannya walaupun aku tidak begitu mahir. Kutarik gitar miliknya dan aku kaget ternyata gitar itu adalah gitar kidal. Kenapa aku tidak menyadarinya waktu itu kalau Zac memainkan gitar kidal? Aku langsung mengurungkan niatku untuk memainkan gitarnya karena ku tidak bisa menggunakan gitar kidal.

Saat gitarnya hendak kuletakkan kembali di atas meja asalnya tadi, tiba-tiba suara Zac mengejutkanku.

"HEI!!!! Apa yang kau lakukan, penyusup!" teriak Zac.

Teriakan Zac benar-benar mengagetkanku sehingga gitar yang tadinya mau kuletakkan di meja asalnya kemudian lepas begitu saja dari genggamanku. Tidak sengaja terbanting di lantai kamar Zac. BRAAAANGGGG!!! Bunyi suara gitar Zac jatuh ke lantai. Aku mendelik dengan mulut yang menganga. "Mampus aku!" pikirku dalam hati.

"GITARKU!!!" teriak Zac panik.

Aku gelagapan gak karuan. Aku berkata maaf, maaf, maaf terus begitu saja secara reflek dari mulutku karena aku memang tidak sengaja!

"DASAR CEWEK GAK TAU DIRI! KAMU TAU INI GITAR MAHAL! INI GITAR BERSEJARAH! INI GITAR KESAYANGANKU! DASAR PENGACAU!!" teriak Zac tepat di wajahku sambil mengoyak-ngoyak badanku.

Aku hanya terdiam membisu di hadapan Zac dengan mata yang berkaca-kaca. Aku bingung mau ngomong apa karena memang ini salahku. Tetapi kenapa Zac harus berteriak seperti itu!

"Kamu sudah beruntung dipungut di keluarga ini!! Tapi lihat dirimu! Malah mengacaukan semuanya! Pergi kamu! Jangan sampai menunjukkan wajahmu lagi dihadapanku!!" teriak Zac lagi.

Mendengar keributan ini, Mommy, Daddy, dan Lena kemudian datang menghampiri kamar Zac dan menanyakan apa yang terjadi.

Aku benar-benar menangis terisak-isak. Aku berlari menuju kamarku. Tanpa menoleh ke belakang sedikitpun. Suara Mommy memanggilku namun tak kuhiraukan.

Mommy berusaha mengetuk pintu kamarku tapi tak kurespon sama sekali karena aku sibuk dengan isakan tangisku. Karena tidak sabar menunggu responku, akhirnya Mommy masuk ke kamarku begitu saja dan menghampiriku yang benar-benar menangis terisak-isak di kamar.

"Maafkan aku Mom, Amanda merusakkan gitar Zac. Amanda selalu mengacaukan semuanya. Kedatangan Manda justru membawa keributan di keluarga ini." Ungkapku sambil menangis terisak-isak kepada Mommy.

"Gak Amanda, kamu tidak mengacaukan sama sekali. Zac memang seperti itu sejak dulu. Sebelum ada kamu juga dia sudah begitu." Tegas Mommy.

"Mom, Amanda mau pulang..." pintaku dengan tangisan yang semakin keras.

"Ini rumahmu, sayang. Kamu sudah pulang." Jawab Mommy.

"Amanda sudah mencoba segala cara untuk dekat dengan Zac tapi selalu gagal. Dia tetap sama. Dia tidak suka sama Amanda. Manda mau pulang, Mom..." pintaku terus menerus.

Mommy kewalahan denganku yang terus meminta pulang.

"Yasudah begini saja, sayang. Bagaimana kalau kamu menginap di rumah nenek dulu? Rumahnya di daerah San Marino sini juga. Kamu sepertinya butuh menenangkan diri dan jauh dari Zac dulu." Mommy memberikan pemecahan masalah padaku.

Aku pun berberes-beres mulai dari baju dan buku-buku sekolahku. Kutaruh beberapa pakaianku ke dalam koper Polo ku. Setelah semua siap. Aku bergegas ke lantai bawah menuju Mommy dan Daddy yang sudah bersiap mengantarkanku ke rumah Nenek.

"Sayang, Daddy yang akan mengantarkanmu." Ucap Mommy lirih.

Saat Mommy, Daddy, dan Lena mengantarkanku keluar rumah, ternyata Zac berjalan menuruni tangga menuju ke dapur dengan wajah yang masih sangat muram.

"Amanda malam ini bakal pergi dari sini, puas? Jangan kau cari dia lagi!" teriak Mommy ke arah Zac. Tapi Zac cuek saja dan tidak menghiraukan Mommy. Aku juga cuek begitu saja dengan Zac. Bahkan aku dengan sengaja tidak mau memandang ke arahnya.

Aku bergegas masuk ke dalam mobil dibantu Mommy yang memasukkan tasku ke dalam mobil. Aku duduk di kursi depan bersama Daddy. Aku pamit kepada Mommy dan Lena. Dengan segera mobil dilajukan oleh Daddy untuk menuju rumah nenek. Di perjalanan, Daddy tidak banyak mengeluarkan kata-kata. Daddy hanya memegang tanganku sembari menyetir dan terus menenangkan aku.

"Amanda jangan nangis, nanti cantiknya luntur kena air mata." Celetuk Daddy menghiburku.

Aku mencoba tersenyum di hadapan Daddy agar Daddy tidak khawatir. Selanjutnya aku hanya diam saja melihat pemandangan luar jendela sambil meratapi kejadian tadi yang benar-benar membuatku sedih.

***

Sesampai di rumah nenek, aku langsung masuk ke kamar yang ditunjukkan oleh nenek. Kudengar samar-samar suara Daddy sedang mengobrol dengan nenek di ruang tamu. Aku tak tertarik untuk mendengarnya. Aku lebih memilih mengambil ponselku dan dengan segera ku menelepon Clara. Karena sejak aku menginjakkan kaki di Amerika, aku belum pernah meneleponnya. Mungkin karena aku lagi banyak masalah, makanya jadi kangen Clara. Aku kangen curhat dengannya dan kangen mendengar kata-kata motivasinya yang menyejukkan hati.

"Halo... ini siapa?" tanya Clara polos dalam telepon.

"Clara... ini Amanda. Hai..." jawabku dengan nada sedih.

"Hai... kamu apa kabar? Lama gak ngabarin. Kamu kenapa? Kelihatannya sedih?" tanya Clara cemas.

Dari situ, aku menceritakan semua tentang masalahku. Mulai dari aku menginjakkan kaki di Amerika sampai kejadian gitar Zac tadi. Aku menceritakannya panjang lebar. Untung Clara sangat telaten dan sabar mendengar semua celotehanku.

"Aku kesal banget sama Zac. Maunya itu apa sih? Aku udah berusaha baik sama dia. Tapi kenapa dia selalu gitu ke aku." Ucapku kesal yang kulampiaskan ke Clara.

"Amanda... perlu kamu tahu ya. Dari denger cerita kamu, sepertinya Zac itu anak yang baik kok." Jelas Clara lembut.

"Baik???" tanyaku heran.

"Iya, baik. Kamu sih gak nyadar. Sadar gak sih kalau Zac itu punya cara tersendiri buat menunjukkan kebaikannya itu. Kayak pas dia ngasih kamu obat merah sama plester dan minjemi kamu jaket." Jelas Clara.

"Iya juga sih. Tapi dia banyak jahatnya deh." Celetukku.

"Eh, gak boleh gitu. Kita gak boleh asal judge orang gitu aja lho. Kamu kan belum kenal Zac secara mendalam, ya kan? Katamu Zac penutup. Ya siapa tahu aja Zac punya pengalaman hidup atau beban masalah yang gak kamu pahami." Lanjut Clara menceramahiku.

"Iya deh. Aku emang belum kenal banget sih sama Zac. Mau bagaimana pun dia udah jadi kakakku." Jawabku.

Setidaknya aku lumayan lega dengan bercerita pada Clara. Walaupun Clara terkesan memihak pada Zac, tapi tak apalah. Menurutku, sarannya juga cukup masuk akal. Sehingga membuatku tidak terlalu meratapi tragedi yang sudah terlanjur terjadi.

***

*Terima kasih sudah membaca. Silahkan baca bab selanjutnya. Dan jangan lupa beri masukan ya... :)

ADOPTED: Love Me, Then.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang