Barangkali saja Utakata memang bercita- cita menjadi bunglon jika kelak dewasa nanti. Atau tupai yang pandai berkelit?
Karena paginya ketika Sasuke dan Naruto berjamaah mencarinya untuk mendapatkan kejelasan perihal 'dirinya' dan 'toilet', pemuda jangkung berambut cokelat itu terus saja melipir dan masuk ke dalam kerumunan siswa lainnya dan berlalu.
Belum lagi meminjam kaca mata Shino, atau merampas paksa jaket keramat Shuukaku dengan merk Pamu bergambar macan loncat yang lantas digunakan untuk menyamar. Sungguh sangat piawai sekali dalam mengelabuhi si pirang sampai - sampai gadis itu menggeleng prihatin dengan tingkat kecerdasan si kawan yang kadang meragukan.
Pikirnya Naruto itu bodoh atau bagaimana, bukannya mereka sebangku? Jelas mereka bisa bertemu ketika di kelas nanti. Dan lagi bukannya lebih baik masalah itu diselesaikan secepatnya dari pada ditunda- tunda?
Heran juga, bagaimana bisa si kerempeng itu seolah tahu jika dirinya tengah berencana menemui pemuda itu bersama Sasuke.
Bersama Sasuke?
Sayangnya iya. Meskipun si calon suami ganteng- nya itu tidak banyak membantu kemarin sore dan justru ber haha hehe di dalam hati, namun pria itu sepertinya merasa ikut andil dalam menjaga keharmonisan hubungan mereka. Intinya, Sasuke tidak ingin hubungannya dengan si calon bini mendadak rusak hanya karena mulut kawan si pirang yang tidak pakai No dr*p.
"Sasuke- kun~"
"Sasuke~"
Bukan. Itu bukan sapaan manis dari Naruto. Melainkan setan genit yang kebetulan lewat dan berniat menikung pemuda Uchiha untuk ke sekian kalinya. Berbakat sekali menjadi pelak*r di masa mendatang.
Naruto sih tidak ambil pusing. Terlampau biasa baginya mendengar panggilan mesra semacam itu yang dilayangkan untuk Sasuke. Ia sedang tidak bernafsu mengomeli pemuda itu yang kini malah melambai dengan senyum seterang neon perempatan.
"Teme, Utakata lenyap ditelan bumi," dengusnya seraya berhenti di sisi kantin. Menelisik ke seluruh penjuru tempat dengan pandangannya. Memindai sosok jangkung dengan bulu cokelat tua di belakang kepala yang ternyata kembali menghilang.
Sasuke menghela nafas panjang.
Heran saja kenapa perannya mengenaskan sekali di sini, hanya memburu Utakata saja rasanya seperti mengejar maling ayam. Hell, padahal ini cuma dilingkungan sekolah.
"Bagaimana kita menangkapnya?" tanya Naruto.
Lirikan menjadi balasan. Sasuke berpikir sejenak. Capek kaki mengejar ekor Naruto yang terus melarikan diri.
Pemuda itu kemudian bersandar pada tembok dan meraih ponsel dari saku celana.
"Mau apa?"
"Melacak keberadaan ekormu. Tentu saja. Caraku pasti berhasil. Lihat saja."
Heh?
Naruto mengerutkan kening. Mengerjap bingung.
Sasuke melayangkan flying kiss untuk si pirang karena tiba- tiba merasa gemas. Lantas kembali sibuk dengan ponselnya.
"Lima belas menit lagi bel masuk. Tapi karena satu jam ke depan semua kelas jam kosong yang artinya siswa masih bebas berkeliaran, jadi kecil kemungkinan kita akan segera menangkapnya. Kita akan cari di mana manusia itu berada," Sasuke berujar menjelaskan.
"...."
"Sebentar, aku akan minta nomer Hyuuga Neji dari Hinata, dia sedang ada di lantai dua. Aku akan minta dia mencari juga- oh, aku juga akan mengirim pesan pada Pain di lantai tiga, juga Toneri dari kelas junior-"
"Hoi, Utakata! Bilang padaku kau di mana sekarang! Atau kita putus detik ini juga sebagai BFF!! Dan tiket makan ramen gratis yang lima lembar itu tidak jadi kuberikan padamu- kelas? Diam di sana!"
Sasuke mendongak. Menoleh pada si pirang yang berseru pada ponselnya.
Eh?
"Tsk. Kenapa tidak dari tadi saja ku ancam lewat telepon," gumam Naruto seraya memasukkan ponsel kembali ke dalam saku rok seragam, kemudian melenggang pergi.
Meninggalkan sosok manusia kelam yang membeo.
Pikiran kepepet Naruto ternyata mampu mengalahkan kejeniusan Uchiha. Sasuke menduga pasti semua ini tak luput dari keberuntungan semata. Nasib mujur Naruto yang tidak suka berpikir berat dan kelewat sederhana.
Siapa suruh memikirkannya serumit itu. Kan kurang kerjaan si Sasuke memang.
"Ngomong- ngomong BFF apaan?"
"Best Friend Forever, Bodoh. Begitu saja tidak tahu," sahut Shuukaku yang tiba- tiba lewat dengan nada kesal. Dan berlalu.
..
..
..Utakata meringis sebal tatkala sentilan keji mendarat di keningnya yang semulus bokong bayi. Pemuda itu melirik tajam manusia pirang di sebelahnya yang memasang wajah murka.
"Bilang apa pada mamaku?"
Duh ya, to the point sekali.
"Bilang apa memang?" balas Utakata sok polos.
"Kau bilang aku dan Sasuke ke toilet bersama."
"Nah, itu tahu. Kenapa masih tanya padaku?" sahut si jangkung cepat.
Naruto memicingkan mata.
"Tahu tidak kau buat kekacauan di rumahku dan Sasuke kemarin sore. Mereka pikir kami sudah melakukan perbuatan tidak senonoh di sekolah. Malu aku. Mau ku taruh di mana mukaku!?" sentak Naruto kesal.
Decakan pelan terdengar. "Ya di kepala lah. Memang mau pindah ke pantat?"
"Aku bicara serius, Utakata!"
"Kau pikir aku tidak? Mamamu saja yang barangkali salah tangkap. Aku cuma bilang kau dan si Uchiha itu kenal saat kalian masuk di toilet yang sama."
"Kenapa tidak dijelaskan sekalian kalau saat itu aku salah masuk toilet!?"
"Memang kemarin kau belum bilang pada mamamu?" tanya Utakata.
"Sudah."
"Bilang kalau kalian tidak menjalin hubungan sedekat itu?"
"Sudah."
"Ya sudah. Masalah beres. Memang apalagi masalahnya?"
Utakata jadi ikut gemas deh. Cubit sedikit bole tida ya?
Naruto menautkan alis kesal. "Masalahnya kami jadi harus dijodohkan cepat- cepat begitu lulus sekolah, Sialan."
"Itu sih pinginnya mamamu," dengus Utakata.
"Memang."
"Lalu ngapain dari pagi bernafsu sekali mencariku?"
"Mencari pelampiasan untuk meluapkan amarah."
"Ah, brengsek."
. . .
KAMU SEDANG MEMBACA
Enemy, oh, my enemy
FanficNaruto tidak mengerti kenapa di jaman sekarang istilah perjodohan masih saja berlaku. Bagus sih kalau jodohnya ganteng lalu baik, berhati malaikat. Dan bukannya Ganteng tapi berperilaku setan bin nyebelin macam Sasuke. Ini cerita santai. Dengan penu...