Rasa Ratih

27.8K 1.3K 21
                                    

Aku bukanlah bawang putih yang selalu menerima kepahitannya
Aku Ratih
~Ratih, Dua Cincin~

Bam!
Aku menutup pintu depan dengan keras. Mungkin lebih seperti sedang membanting daun pintu. Pikiranku tidak pernah tenang sejak kehadiran Ratna. Aku tidak peduli kalau orang-orang menilaiku sebagai wanita keras hati--tidak senang karena kehamilan Ratna--walau aku tahu keturunan suamiku sedang dalam kandungan si istri kedua itu.

Masih tercetak jelas diingatanku tingkah lakunya yang semakin menjengkelkanku. Semenjak hamil, Ratna terus membuatku merasa cemburu. Bukan karena mas Raka yang menyakiti perasaanku, tapi tingkahnya yang seakan menghinaku membuat aku jengkel.

"Hati-hati di rumah ya kak." ucapnya antusias dari jendela mobil. Raka menemaninya cek kehamilan hari ini.

Aku benci ketika Ratna harus bergelayut manja di lengan mas Raka. Mas Raka menolak? Tentu tidak. Bagaimana mungkin ia sanggup menolak permintaan wanita yang sedang mengandung anaknya?

Aku berjalan menuju dapur, mengambil air putih lalu meneguknya cepat. Suasana hati yang panas membuat aku merasa sangat haus.

"Apa aku bisa tahan dengan semua ini?" aku menghela nafasku sembari menghentakkan gelasku diatas meja granit itu.

Usia kehamilan Ratna baru menginjak umur 3 bulan. Namun segala tingkah lakunya yang seolah merebut mas Raka dariku sudah membuatku muak.

Kadang aku juga berpikir, dia bukan lagi seolah merebut mas, tapi memang sudah merebutnya. Tak bisa aku pungkiri, Ratna semakin cantik sejak sebulan terakhir. Wajahnya semakin cerah dan badannya semakin berisi. Hampir ditiap makan bersama, aku selalu mendapati mas Raka melirik Ratna. Entah itu hanya sekadar lirikan sesaat, atau bahkan memandangi Ratna, aku tahu itu.

Aku takut. Semua bayangan menakutkan menghampiriku. Cerai? Diacuhkan? Atau bahkan dicampakkan? Begitukah akhir cerita memuakkan ini?

Menikah lagi demi menyelamatkan nyawa wanita lain? Lalu, wanita itu perlahan mematikan wanita yang satunya, sungguh menggelikan.

"Habis semua mbak?" tanya bi Ranum tiba-tiba. Mengejutkanku yang sedang memikirkan rumitnya rumah tanggaku ini. Alhasil aku tersedak.

"Maaf mbak... Bibi cuma heran aja, air seteko bisa mbak habisin sendirian..." bi Ranum menepuk-nepuk punggungku pelan.

"Haus bi. Panas."

Bi Ranum mengernyitkan dahinya. Bingung? Tentu saja. Cuaca mendung, ruangan ber-AC, dan aku merasa panas.

"Hatinya bi, bukan suhunya." jawabku datar. Bi Ranum beralih mengusap-usap pundakku, seolah mengerti dan ingin menenangkan.

"Bibi paham mbak..." ucapnya lembut. Terlalu lembut hingga dapat menerobos air mataku yang dari tadi terbendung.

"Mbak Ratih boleh menangis, siapa tau bisa bikin hati lega." tawarnya lembut.

Aku meraih badan bi Ranum. Menenggelamkan diriku dalam pelukan wanita setengah baya ini. Seolah menganggap dia sebagai ibuku, ibu yang telah lama meninggalkanku.

"Yang sabar toh mbak. Yaa kehidupan memang seperti ini. Seringkali tidak sesuai dengan kerinduan..." tangannya kini membelai rambutku. Persis seperti belaian ibu semasa ia hidup.

"Aku capek bi..." kataku setengah jelas karena sesak di dada ini membuatku menangis sesenggukan.

"Aku mau cerai saja kalau begini..."

Bi Ranum tiba-tiba melepas pelukannya lalu menangkup kedua pipiku. Ia menatapku nanar, seolah turut merasakan pedih yang kini aku rasakan. Ia menggelengkan kepalanya pelan.

"Jangan mbak... Jangan cerai."

"Bibi harus tau... Dulu, sewaktu aku dan mas masih pacaran, aku selalu mengancam kami akan putus jika mas dekat dengan wanita lain... Dan saat ini, bahkan dia memiliki anak dengan wanita lain, apa salah kalau aku meminta perpisahan?" cecarku tak terkendali. Emosi ini sudah sampai di ubun-ubun. Harus aku luapkan.

Tangan renta yang semakin keriput itu menyeka air mataku. Lagi-lagi mencoba menenangkanku.

"Pernikahan beda dengan pacaran mbak. Tidak segampang itu..."

"Lalu aku harus seperti ini terus?!"

"Iya. Cobalah lebih sabar lagi mbak. Atau lakukan hal-hal yang membuat mbak jadi senang." sarannya penuh kelembutan.

Hatiku terenyuh. Aku membuang nafasku pelan. Lalu menghirup kembali udara dingin itu perlahan-lahan. Sejuk.

Drttt. Ponselku bergetar.

Arya

Aku menatap layar ponselku sambil mencerna saran bibi barusan. Kini seutas senyum mampu aku pasang dihadapan bi Ranum. Benar, aku harus melakukan hal yang menyenangkan hatiku.

"Benar bi. Akan aku coba."

💍💍💍

Baru bisa update, tugas kuliah menumpuk😅 Btw, baca juga yaah cerita baru aku. Judulnya PleinLune😁


Ini diaaaa🙏 makasih🙏

Dua Cincin (SEBAGIAN PART DIUNPUBLISH) Baca Ceritaku Yang On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang