Delapan, Menggertak

297 35 8
                                    

Banyak hal yang terjadi sejak seminggu pasca kejadian sore itu. Semuanya tidak berjalan begitu baik. Roda cerita telah berputar ke arah berbeda. Benar-benar berbeda.

Vera dengan wajah kusutnya memasuki rumah setelah selesai dengan segala aktivitas melelahkan seharian itu. Ia mengambil duduk di sofa ruang tamu, sedang TV menyala menampilkan berbaris-baris tontonan semut berisik. Mukanya ia tangkup, lalu disapunya kebelakang menyingkap dahinya yang lebar seraya menghela letih.

Wanita itu kemudian berjalan gontai meninggalkan tas dan barang bawaannya menuju kamar di lantai atas. Ia rebahkan tubuh lelahnya itu sembari memandang langit-langit kamarnya kosong. Pikirannya melamunkan banyak hal. Termasuk kejadian-kejadian yang ia alami seminggu belakangan ini.

Bayangannya masih tetap terpaku pada sosok sahabatnya yang masih koma di rumah sakit. Adam dengan luka tusuk separah itu lalu mampu bertahan, merupakan suatu keniscayaan yang mustahil.

Ia teringat ketika dirinya melihat perjuangan dokter dan perawat membuat Adam tetap hidup, meskipun layar monitor ElektroKardiogram sudah menunjukkan garis lurus. Namun nyatanya, Tuhan berkehendak lain, Adam masih bisa diselamatkan walau keadaannya harus koma.

Ia juga masih ingat ketika dirinya berlari memeluk Adam dengan bibir penuh isak, telinganya masih mampu menangkap bisikan lirih dari Adam yang menyebut-nyebut nama Mala, sedang wanita yang disebut-sebut itu justru menghilang entah kemana. Seakan lenyap tanpa bekas, Mala benar-benar tidak ditemukan.

Meskipun beberapa unit tim kepolisian sudah dikerahkan untuk berpencar mencari keberadaan Mala, tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang menemukan wanita itu. Setitik petunjukpun menjawab nihil.

Berbagai spekulasi pun bermunculan. Ada yang mengatakan bahwa Mala kabur dan bersembunyi di suatu tempat yang tidak diketahui banyak orang. Atau mungkin saja Mala dibawa kabur oleh seseorang dan disembunyikan di suatu tempat. Atau bisa jadi Mala meminta bantuin jin untuk membuat dirinya tak kasat mata sehingga menyulitkan proses pencarian polisi. Namun tentu saja spekulasi terakhir adalah yang terkonyol.

Namun Vera mempunyai pandangan berbeda. Spekulasinya mengatakan bahwa Mala tidak mungkin kabur begitu saja atau disembunyikan oleh seseorang. Ada orang lain yang sepertinya sedang bermain di belakang Mala, membuat wanita itu seakan menghilang padahal aslinya tidak.

Entah darimana pikiran itu muncul, tapi yang pasti dia sangat yakin akan hal itu.

Vera kemudian bangkit dan membawa badannya menuju westafel kamar mandi. Memutar knop keran dan membasuh muka lumusnya perlahan. Ia lantas menatap pantulan wajahnya di cermin dan memandangi sosok pantulannya itu interogatif. Seakan segudang pertanyaan harus ia tanyakan pada pantulan dirinya sendiri.

Terdengar aneh dan terkesan jika Vera tengah dilanda stres akut. Dan memang benar adanya. Vera benar-benar stres. Ia butuh penyegaran. Ia butuh suasana rileks. Ia butuh sehari saja untuk mengistirahatkan otaknya yang mulai mengkerut. Ia butuh sehari saja untuk melupakan pekerjaannya.

Ia butuh sehari saja untuk melupakan Adam dan Mala.

*

"Bagaimana keadaannya, dok?"

Seorang petugas kepolisian jangkung dengan bahu lebar dan garis badan yang tegas tengah berdiri menanyai dokter. Dari caranya mereka berbicara tampak keseriusan dari kedua wajah mereka. Ekspresinya seakan memberitahu bahwa sesuatu tidak berjalan baik terhadap kondisi pasien yang mereka maksud.

Tak jauh dari mereka, seorang perawat terlihat berjalan memasuki salah satu ruangan inap dan menemui seorang pasien disana yang tengah tertidur cukup pulas. Benar-benar pulas hingga tak memberikan respon sedikitpun meski dirangsang nyeri hebat. Sedang di samping pasien itu, tengah duduk seorang remaja laki-laki usia 18 tahunan yang terlihat lelah. Terlihat dari kepalanya yang dibuat bersandar pada pinggiran bed, serta matanya memejam kesusahan.

Psychosis: The Terror Of The Screaming LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang