"Devan mana?" tanya Vania dengan keadaan rambutnya yang masih acak-acakan dan baju yang masih sama. Entah kenapa yang ada dipikirannya adalah nama laki-laki itu. Dia mendaratkan punggungnya ikut bergabung dengan Arini dan Ristyanto di ruang tengah.
"Udah pulang dong, kamu tidur juga kenapa kayak mayat sih, Van? Dibangungin nggak mempan, lihat tuh jam berapa sekarang?" Arini menunjuk ke arah dinding.
Vania menoleh dan melihat sekarang sudah pukul setengah tujuh malam, matanya melotot. Teringat dia pergi dari apartemen Hani pukul 8 pagi, dan kemungkinan dia mulai terlelap sekitar pukul 9. Itu artinya dia tidur selama 9,5 jam. Buset, aku tidur atau simulasi mati?
"Tumben nanyain Devan, kenapa? udah mulai kangen ya?" tanya Ristyanto sambil menutup buku yang dibacanya sejak tadi.
"Plis, nggak usah ngayal deh, Pa." Jawab Vania asal sambil mengibaskan tangannya.
"Halah, coba kalau nggak ada Devan. Sudah jadi apa kamu tadi di apartemen temanmu itu." Kalimat yang keluar dari mulut Ristyanto mampu membuat tubuhnya mematung.
"Kamu itu harus banyak berterima kasih sama Devan. Mama sama Papa nggak bisa bayangin apa yang akan terjadi sama kamu kalau dia nggak ada di sana." Disaat seperti itu pun Arini masih memuja Devan sebagai penyelamat anaknya, hal itu berhasil membuat Vania muak.
"Ya udah sewajarnya kali, Ma. Kalau aku pergi sama Papa atau Mas Ardan, pasti juga yang nolongin aku antara Papa atau Mas Ardan juga."
"Kamu ini ya, dibilangin tuh didengerin bukannya malah melawan." Arini mencubit lengan Vania hingga membuatnya meringis.
"Lagian kenapa sih pakai bahas-bahas tuh orang, harusnya Mama sama Papa tuh tanyain kondisku gimana. Apakah aku baik-baik saja atau ketakutan, bukan malah memuja orang yang gak ada di sini." Selorohnya begitu saja membuat Ristyanto tertawa terbahak.
"Papa sama Mama tidak perlu khawatir, Vania. Karena dengan kamu mulai marah-marah, emosian, ngelawan orang tua, itu saja sudah memberikan bukti nyata kalau kamu itu amat sangat baik-baik saja." Ucap Ristyanto yang masih tertawa dan beberapa detik kemudiam terdiam.
"Dengarkan Mama, Vania. Saat Devan menceritakan yang terjadi, tentu Papa dan Mama terkejut dan khawatir." Ucapan Arini berhasil membuat hati Vania terenyuh.
"Oleh karena itu supaya hal ini tidak terjadi lagi, Papa dan Mama sudah memutuskan untuk mempercepat tanggal pernikahanmu dengan Devan." Timpal Ristyanto berhasil membuat Vania terkejut bukan main.
"Maksudnya?!" tanya Vania murka.
"Iya, Devan juga sudah setuju dengan keputusan Papa. Dan kamu, mau tidak mau, siap tidak siap. Harus sepakat dengan keputusan Papa." Ucap Ristyanto tegas tidak perlu penolakan.
"Papa jahat banget sih! Memaksakan kehidupanku gitu aja, Vania juga masih punya impian, Pa! Vania mau nikah sama orang yang bener-bener Vania cinta! Bukan kayak gini!" Ucap Vania meluapkan emosinya yang sudah memuncak.
"Vania dengerin Mama. Mbakmu Sarah kan juga sudah bilang kalau cinta bisa datang seiring dengan berjalannya waktu. Kalian akan terbiasa hidup bersama, saling mengenal satu sama lain lebih dekat, dan berbagi suka dan duka bersama." Arini melerai emosi Vania dengan mengelus kedua pundak putrinya itu.
"Bulshit, Ma. Cinta bisa tumbuh berjalannya waktu? Emang cinta itu kecambah? yang hanya dengan kapas aja bisa tumbuh? Ini masalah hati, Ma. Hati." Ucapnya sambil menepuk dada dramatis.
"Kamu itu kalau ngomong yang bener," Arini menoyor kepala Vania karena geram dengan tingkah putrinya yang kadang bisa dibilang konyol.
"Halah sudahlah, Vania. Kamu nurut saja dengan omongan orang tua, lagian Devan itu orang yang baik, bertanggungjawab, pendidikannya tidak kalah bagus dari kamu, apalagi pekerjaanya sangat serasi dengan kamu. Tidak mungkin kan orang tua menjodohkan anaknya dengan orang sembarangan." Sekarang giliran Ayahnya yang memuja laki-laki itu. Vania jengah dengan omongan semua orang yang memuja Devan bak dewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Love (Angkasa Kehidupan_Completed✔)
Romantik".....Vania ini orangnya ngeyel-super ngeyel, emosian, tengil, galak, keras kepala, padahal aslinya cengeng dan manja....." Vania membeliak mendengarkan penjelasan Devan, dapat dilihat dari raut wajah dan matanya bahwa laki-laki itu menyeringai somb...