"Gesrek!"
"Gespollllll!"
"Elaahhh sok sliping biuti lu ges"
Yang manggil gue itu abang gue, namanya gak lebih keren dari gue. Sering gue panggil 'Gersang' atau 'Gerandong' atau juga 'Germo'.
Sudi banget kalo harus manggil nama aslinya, secara nyebut nama gue yang jelita ini salah mulu.
"Eh malah ngerumpi dalam otak, bangun lu cepet. Bantuin gue" emang ya dasar orang-orang modelan si Germo ini gak bisa liat gue seneng dikit, ngerasa damai sesaat. Bisanya cuma rusuhin hari-hari gue yang indah ini. Ck!
Dengan malas akhirnya gue berusaha untuk buka mata yang rapet nya setengah mati, jangan salahkan begadang kalau tiada artinya. Justru sangat berarti buat gue yang notaben mahasiswi tingkat akhir di tahun ini.
Gue lagi libur dan artinya bebas mau tidur jam berapa aja. Kenapa? Mau bilang anak gadis kok pemalas? Gak usah julid, urusin aja jemuran masing-masing.
Dengan begitu berat akhirnya gue berhasil membuka setengah mata, terlihat muka minta di tampol dari abang gue ini, dengan ekspresi yang super memelas.
"Ada apa wahai kisanak?" Gumam gue dengan mata sistem buka tutup sambil mencoba untuk bangun.
"Tolongin gue, jemputin temen gue dong di bandara, gue gak bisa karena disuruh Mami anter Om Halim ke Cirebon"
Dengan posisi duduk dan wajah menunduk, gue mencoba untuk mencerna kalimat Abang gue.
Jemput-temen-di bandara-Cirebon?
"Heh Ges, bukan di bandara Cirebon ya, tapi di bandara Halim jemput Om Mami"
Ngaco!
Kebiasaan abang gue nih emang, menguji kesabaran.
"Jangan oon deh Bang. Abang tadi bilangnya kan 'jemputin temen di bandara', lo gabisa karena harus anter Om Halim ke Cirebon!"
"Nah tuh lo pinter! gue cuma ngetes aja kali. Jadi oke ya lo bisa bantuin gue" ceria Abang gue sambil loncat-loncat diatas tempat tidur.
"Roboh woyy kasur gue!" protes gue sambil ikutan berdiri dan loncat-loncat.
Dasar emang masa kecil kurang main.
"Gakan, kasur mahal ini, garansi seumur hidup" kata Abang gue santai.
"Jadi kapan gue harus jemput?"
"Tenang aja, gue gak dadakan kok minta lu jemput dia. Lagipula dia udah tahu kalo yang jemput dia itu adiknya abang"
Feeling udah mulai gak enak.
"Iya kapan Germo, gue butuh kepastian. Besok jam berapa di terminal berapa?"
"Kata siapa besok?"
"Lah terus?"
"Hari ini lah"
"Malem ya?"
"Gak, siang kok, jam 13.30 di terminal dua"
"Ohhh..ok" jawab gue santai. Kita berdua masih loncat-loncat.
Hening.
"Ges...."
"Heumm"
"Sekarang udah jam setengah satu"
Oh oke, setengah satu.
Eh apaaaa???!!!!
Gue rekfleks langsung loncat ke lantai, melotot maksimal ke arah objek nista maja utama di depan sana, yang tersenyum tanpa dosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVEN DAYS OF SILENCE
General FictionKisahku, bukan untuk kalian tangisi. Kisahku, bukan pula untuk kalian kasihani. Kisahku, adalah goresan sebuah tinta yang alurnya harus kujalani. Kisahku, adalah takdir Tuhan yang tak bisa kuhindari. . . . Etdaaahh serius banget bacanya, itu buk...